Para penuduh harus membuktikan dengan data dan fakta bahwa Anies memprioritaskan kepentingan kelompok agama tertentu setelah terpilih jadi gubernur.
HARIAN Kompas, edisi 23 Desember 2021, menurunkan laporan tentang meningkatnya elektabilitas Anies Baswedan sebagai presiden pilihan publik. Di bawah judul “Meneropong Elektabilitas Anies Baswedan Di Tahun 2020”, Kompas menyatakan, sesuai survei-survei yang dilakukan litbangnya, sepanjang Januari hingga Oktober 2021, elektabilitas Anies cenderung stagnan di angka 9-10 persen.
Memang diakui, hasil survei litbang koran itu pada 2019 dan 2020 elektabilitas Anies hanya 8,5 persen. Artinya, ada peningkatan elektabilitas Gubernur DKI itu pada 2021 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi peningkatan itu tidak signifikan. Penyebabnya, Anies terlanjur dipersepsikan sebagai tokoh yang mengusung politik identitas sejak pemilihan gubernur tahun 2017. Apakah peluang Anies dalam meluaskan dukungan pada 2022 terbuka lebar?
Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Kompas bahwa sebenarnya survei terakhirnya menunjukkan indikasi ke arah pilihan inklusivitas. Sebelumnya, konsentrasi pendukung Anies yang terbatas pada karakteristik sosio demografi atau latar belakang politik yang khas, kini hal itu meluruh.
Dulu, pendukung Anies terkonsentrasi di luar Pulau Jawa, seperti Aceh, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan sebagian Jawa Barat. Kini perimbangan dukungan itu mulai mendekati proporsi nasional.
Dukungan terbesar berada di Jawa Barat. Terkait identitas sosial, seperti keagamaan, sebelumnya pendukung Anies terkonsentrasi pada kalangan Islam. Pendukung dari kalangan non-Islam terbilang minim. Namun, Kompas melanjutkan, hasil survei terakhirnya menunjukkan terjadi penambahan dukungan kepada Anies dari kalangan yang bukan beragama Islam.
Terkait orientasi politik, sebelumnya barisan pendukung Anies cenderung oposan terhadap pemerintahan Joko Widodo, kini agak meluruh.
Saya kira meluasnya dukungan kepada Anies belakangan ini, yang menjangkau berbagai identitas sosial dan orientasi politik, menunjuk pada meluruhnya identitas palsu yang disematkan oleh para pembenci Anies pada diri gubernur DKI itu. Orang tidak membaca Anies dari pemikiran-pemikiran dan kebijakan-kebijakannya selama memimpin Jakarta.
Semua pemikiran dan kebijakannya tak satu pun menunjukkan ia diskriminatif terhadap golongan-golongan sosial tertentu dan orientasi politik mereka. Hanya di masa Anies jadi gubernur DKI, Natal dirayakan secara meriah dan aman di ruang publik. Komunitas agama lain pun, seperti Hindu, Budha, dan Khonghucu, pun bebas — bahkan dibantu Pemprov DKI — merayakan hari-hari besar dan aktivitas keagamaan mereka. Dan kaum Muslim Jakarta tidak mendapat privilese melebihi komunitas agama lain.
Memang dalam kampanye Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2017, Anies mengunjungi markas Front Pembela Islam (FPI) di mana beliau bertemu dengan Habib Rizieq Shihab. Saat itu kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kandidat petahana, sedang mendidih. Habib Rizieq berkali-kali memimpin tabligh akbar bela Islam di kawasan Monas yang berhasil memobilisasi jutaan umat Islam.
Anies tak pernah ikut serta dalam aksi bela Islam itu. Juga tak mengeluarkan satu kata pun selama kampanye maupun debat calon gubernur yang menyudutkan Ahok terkait isu itu. Kalau Anies meminta dukungan umat Islam dalam kontestasi itu sungguh masuk akal secara politik, sebagaimana ia juga meminta dukungan umat agama lain dengan bertandang ke markas-markas mereka.
Praktik-praktik politik yang demikian selama masa kampanye politik elektoral sungguh sesuatu yang normal, yang terjadi di seluruh dunia, bahkan di negara-negara yang paling sekuler sekalipun. Anies akan nampak sangat dungu kalau pada masa kampanye ia tidak berusaha meraih dukungan suara dari warga Jakarta terlepas dari identitas sosial mereka.
Para penuduh harus membuktikan dengan data dan fakta bahwa Anies memprioritaskan kepentingan kelompok agama tertentu setelah terpilih jadi gubernur.
Tentu saja mereka tak dapat membuktikannya. Sebenarnya kemarahan mereka pada Anies lebih disebabkan jagoan mereka, yaitu Ahok, kalah dalam kontestasi yang sengit itu. Pembelaan mereka pada Ahok lebih terkait dengan upaya mempromosikan pandangan keagamaan mereka. Sebagaimana diketahui, sebagian kaum Muslim masih berpegang pada pemahaman mereka bahwa non-Muslim tak boleh menjadi pemimpin kaum Muslim. Pemahaman ini yang hendak mereka hancurkan karena tidak sesuai dengan negara modern berdasarkan Pancasila.
Ahok sebagai simbol adalah pintu masuk untuk menjungkirbalikkan pemahaman yang dianggap tidak lagi relevan pada zaman ini. Apalagi, sebagian intelektual Muslim pun mendukung pandangan mereka. Alhasil, kaum Muslim terpecah terkait kasus itu. Sayangnya, Ahok kalah melawan Anies, bahkan dipenjarakan terkait isu itu. Hal ini memperbesar kekecewaan mereka dan harus ada scapegoat untuk mengobati sakit hati mereka. Maka Anies dipilih jadi scapegoat.
Sebenarnya, terkait pandangan keagamaan mereka, seharusnya Ma’ruf Amin yang menjadi fokus mereka. Fatwa Ahok menodai agama Islam dikeluarkan oleh MUI yang saat itu dipimpin oleh Ma’ruf Amin, yang kini mendampingi Jokowi sebagai wakil presiden. Presiden yang mereka terima tanpa reserve.
Tanpa fatwa MUI di mana Ma’ruf Amin adalah tokoh kuncinya tak mungkin Habib Rizieq dan tokoh-tokoh ormas lain dapat memobilisasi jutaan umat dalam menyampaikan protes mereka terhadap Ahok. Kesalahan Anies adalah ia terlalu hebat dalam menafsirkan atmosfir politik ketika itu.
Yang mengherankan, para pembenci Anies ini tidak menuduh Jokowi memainkan politik identitas ketika ia memilih Ma’ruf Amin sebagai capresnya dalam Pilpres 2019. Padahal jelas pilihan pada Ma’ruf bertujuan meraih suara kaum Muslim, terutama kaum Muslim yang menentang Ahok.
Dalam konteks politik elektoral, yang dilakukan Anies dengan bertemu Habib Rizieq sebenarnya sama dengan pendekatan Jokowi terhadap Ma’ruf Amin. Bedanya, kalau Jokowi harus menerima sebagian agenda Ma’ruf Amin, Anies tidak mengadopsi satu pun agenda FPI. Anies berpegang pada spirit Pancasila dan amanah konstitusi bahwa semua warga Indonesia — lepas dari etnis, agama, suku, golongan sosial, ideologi, orientasi politik — harus diperlakukan secara manusiawi dan adil tanpa kecuali.
Kecenderungan meningkatnya elektabilitas dan meluasnya akseptabilitas Anies belakangan ini, berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, menunjukkan meningkatnya kesadaran publik Indonesia terhadap pemikiran, sikap, dan kebijakan-kebijakan Anies selama memimpin Jakarta, yang tentu saja jauh dari sikap dan pandangan sektarian seperti yang dituduhkan para pembencinya. Saking bencinya sampai-sampai mereka mengedarkan video-video anti-Anies yang berbau rasisme.
Pokoknya, semua cara dihalalkan demi mencegah kemungkinan Anies menjadi Presiden 2024. Pemimpin PSI malah baru-baru ini, dalam acara partai yang dihadiri Presiden Jokowi, berpidato berbusa-busa dalam mengutuk Anies. Gubernur DKI itu dituduh pembohong, pengusung politik identitas, dan dipecat dari kedudukannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaannya. Sayang, pidato penuh semangat itu jatuh ke dalam kekosongan isi, kecuali sumpah serapah yang menyedihkan, yang membuat malaikat menangis.
Saya heran kalau Anda tidak heran bahwa ketua partai yang mengklaim diri mewakili kaum milenial ini tidak menunjukkan secuil pun bobot intelektualnya, apalagi membawa aspirasi kaum milenial yang berpandangan kosmopolitan dan membebaskan diri dari sekat-sekat primordial. Dia mengira menyanyi di panggung sama dengan pidato politik.
Akhirnya, hasil survei Litbang Kompas menunjukkan pikiran dan jiwa yang besar tak dapat dikerdilkan dengan kebohongan. Anies harus dilawan dengan pikiran dan jiwa yang sama besarnya dengan dia. Pasalnya, pikiran dan prestasi Anies dapat dibaca, disaksikan, dan dirasakan di mana-mana. Tidak mungkin realitas ini dapat dinafikan.
Anies hanya dapat ditolak oleh ilmu pengetahuan yang argumentatif, rasional, dan objektif, bukan dari pikiran orang yang marah tanpa alasan jelas. Dan Anies akan senang menghadapi tantangan seorang intelektual yang fair. Toh, ia telah berulang-ulang mengatakan bahwa lawannya adalah teman dalam debat. Memang tanpa debat atau adu pikiran tidak akan ada perkembangan ilmu pengetahuan, juga tidak ada koreksi dalam kebijakan.
Tapi berharap para pembenci mengubah sikap dengan memperlakukan Anies secara adil sama artinya dengan berharap ayam tumbuh gigi. Hati dan pikiran mereka telah tertutup. Sayang memang mereka membuang kesempatan beradu pikiran dengan Anies secara fair demi Indonesia yang lebih baik. Saya khawatir pada dasarnya mereka memang tidak mampu.
Tangsel, 27 Desember 2021
(Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education/IDe)
Discussion about this post