Daily News|Jakarta – Kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100 persen hanya untuk kelas 1 dan kelas 2. Sedangkan kelas 3, kenaikannya 65 persen. Demikian penegasan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
“Itu (kenaikan 100 persen) hanya berlaku untuk Kelas 1 dan Kelas 2. Untuk kelas 3, tidak sebesar itu. Untuk Kelas 3, usulan kenaikannya adalah dari Rp25,5 ribu menjadi Rp42 ribu, atau naik 65 persen,” ungkap Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (Kepala Biro KLI) Kemenkeu Nufransa Wira Sakti, Senin (9/9).
Nufransa menjelaskan, kenaikan peserta mandiri kelas 3 sebesar Rp42 ribu itu sama dengan iuran bagi orang miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayar oleh Pemerintah. Lebih lanjut, bagi peserta mandiri Kelas 3 yang benar-benar tidak mampu dapat dimasukkan ke dalam Basis Data Terpadu Kementerian. Dengan begitu, berhak untuk masuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah.
Besaran iuran BPJS Kesehatan Kelas 1 dan 2 yang diusulkan pemerintah akan berlaku mulai Januari 2020 adalah: a. Kelas 1 jadi Rp160.000 per bulan (sebelumnya Rp80 ribu), dan kelas 2 menjadi Rp110 ribu per bulan (sebelumnya Rp51.000).
Nufransa menegaskan, pemerintah mempertimbangkan 3 hal utama yaitu kemampuan peserta dalam membayar iuran (ability to pay), upaya memperbaiki keseluruhan sistem JKN sehingga terjadi efisiensi, serta gotong royong dengan peserta pada segmen lain.
“Pemerintah sangat memperhitungkan agar kenaikan iuran tidak sampai memberatkan masyarakat dengan berlebihan,” ucap Nufransa.
Apabila ada peserta yang memang merasa keberatan membayar, bisa saja melakukan penurunan kelas. Misalnya dari semula Kelas 1 menjadi Kelas 2 atau Kelas 3; atau dari Kelas 2 turun ke Kelas 3. Kenaikan iuran BPJS ini akan diiringi dengan perbaikan sistem JKN secara keseluruhan.
Hal itu sebagaimana rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), baik terkait kepesertaan dan manajemen iuran, sistem layanan dan manajemen klaim, serta strategic purchasing. Rencana kenaikan iuran ini juga adalah hasil pembahasan bersama oleh unit-unit terkait.
Mulai dari Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), (Kemenkes), dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang nantinya akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres)
Nufransa juga mengklarifikasi alasan pemerintah menaikkan iuran BPJS. Nufransa mengatakan, diantara penyebab utama defisit program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sudah terjadi sejak awal pelaksanaannya adalah besaran iuran yang underpriced dan adverse selection pada peserta mandiri.
Banyak peserta mandiri yang hanya mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal, dan setelah sembuh, peserta berhenti membayar iuran atau tidak disiplin membayar iuran. Pada akhir tahun anggaran 2018, tingkat keaktifan peserta mandiri hanya 53,7 persen.
Artinya, 46,3 persen dari peserta mandiri tidak disiplin membayar iuran alias menunggak. Sejak 2016 – 2018, besar tunggakan peserta mandiri ini mencapai sekitar Rp15 triliun. “Pemerintah menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional dan usulan untuk mendisiplinkan peserta yang menunggak iurannya, khususnya peserta mandiri,” kata Nufransa.
Sepanjang 2018, total iuran dari peserta mandiri adalah Rp8,9 triliun, namun total klaimnya mencapai Rp27,9 triliun. Dengan kata lain, claim rasio dari peserta mandiri ini mencapai 313 persen. Dengan demikian, seharusnya kenaikan iuran peserta mandiri lebih dari 300 persen.