Jakarta| DNI – Koalisi Save KPK yang merupakan gabungan dari beberapa organisasi masyarakat sipil seperti Indonesia Corruption Watch, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan dan Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas mendesak Presiden Jokowi segera keluarkan Perppu. Menurut Koalisi Save KPK ada beberapa alasan kenapa Presiden Jokowi harus segera keluarkan Perppu.
Menurut Kurnia Ramadhana perwakilan Indonesia Corruption Watch (ICW) di Koalisi Save KPK, dari awal pembahasan hingga disahkannya, UU KPK banyak masalah. Setidaknya, ada tiga poin kritik terhadap langkah DPR dan pemerintah yang sepakat mengesahkan UU KPK. Pertama, bermasalah secara formil. Sebab, UU KPK hasil revisi pada dasarnya tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2019. Selain itu, dalam proses pembahasannya tidak melaksanakan tahapan penyebarluasan dokumen terkait. Termasuk draft RUU yang merupakan amanat dari Pasal 88 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
” Hal penting lainnya adalah proses pembentukan yang menihilkan partisipasi masyarakat yang diamantkan Pasal 96 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011,” kata Kurnia di Jakarta, Rabu (9/10).
Tidak hanya itu, kata dia, pada saat Rapat Paripurna DPR yang mengagendakan pengesahan pun diyakini tidak memenuhi quorum peserta. Oleh karena itu, pengesahan UU KPK dilakukan secara dipaksakan. Karena aspek formilnya yang bermasalah.
” Kedua, bermasalah secara substansi,” ujarnya.
Kata Kurnia, penting untuk diketahui publik bahwa hampir keseluruhan Pasal yang telah disepakati telah dirancang jauh-jauh hari oleh pembentuk UU. Dalam catatan ICW setidaknya isu revisi UU KPK telah mulai bergulir sejak 2010. Namun, karena terjadi penolakan oleh masyarakat sehingga isu ini pun redup dengan sendirinya.
“Anomali pun terjadi, di saat penolakan terhadap UU KPK semakin meluas justru DPR dan pemerintah bersikukuh untuk mengesahkan pasal-pasal bermasalah. Mulai dari pembentukan Dewan Pengawas, pemberian izin pro justicia pada Dewan Pengawas, kewenangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sampai pqda mencabut status penyidik dan penuntut pada pimpinan KPK,” tuturnya.
Ketiga, kata Kurnia, KPK secara institusi tidak dilibatkan dalam proses pembahasan. Harusnya ini dipahami oleh DPR dan pemerintah. Komisi antirasuah adalah lembaga yang menjalankan UU tersebut di masa mendatang. Jadi pertanyaan ketika KPK tidak dilibatkan. Sehingga narasi penguatan yang selama ini digaungkan oleh DPR dan pemerintah runtuh begitu saja. Karena KPK tidak pernah diberikan ruang untuk terlibat lebih jauh dalam pembahasan.
Sementara itu M Isnur wakil dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di koalisi mengatakan, penting untuk ditegaskan bahwa Perppu pada dasarnya merupakan kewenangan konstitusional dari Presiden. Hal itu diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 yang menegaskan bahwa, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Jadi, seharusnya tidak ada pihak-pihak yang menyebutkan bahwa penerbitan Perpu melanggar hukum.
” Apalagi disertai dengan ancaman untuk memakzulkan Presiden,” katanya.
Ditambahkannya, penerbitan Perppu untuk mengatasi permasalahan hukum pasca disahkannya UU Revisi UU KPK telah memenui syarat obyektif yang diatur dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Putusan itu menyebutkan bahwa ada tiga syarat, yaitu pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada. Sehingga terjadi kekosongan hukum. Kalaupun undang-undang tersebut ada, itu dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu cukup lama.
“Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin,” ujarnya.
Dengan begitu kata Isnur, poin syarat penerbitan Perppu sudah terpenuhi. Sebab jika UU KPK yang baru dibiarkan maka dengan sendirinya Presiden akan membiarkan kejahatan korupsi semakin massif terjadi di Indonesia. Ini saatnya Presiden membuktikan janji yang sempat diucapkan dan dituangkan dalam “NawaCita” dan saat berkampanye beberapa waktu lalu.
” Joko Widodo kala itu berjanji jika kelak terpilih menjadi Presiden akan memperkuat KPK dan menegaskan keberpihakan pada isu anti korupsi. Namun, melihat perkembangan situasi seperti ini rasanya janji itu jauh dari realisasi,” katanya.
Maka dari itu, Koalisi Save KPK kata Isnur menuntut beberapa hal. Pertama, jajaran pemerintah mesti mendukung langkah Presiden untuk menerbitkan Perppu yang membatalkan UU KPK dan kembali memberlakukan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Kedua, Presiden segera menerbitkan Perpu tersebut,” ujarnya. (Supriyatna/Daily News Indonesia)
Discussion about this post