Daily News|Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu terkait penanganan virus corona menjadi undang-undang seiring dengan berakhirnya Masa Sidang III DPR.
“Iya [disahkan] besok [Selasa] jam 14.00, diparipurnakan,” kata Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah kepada wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau, Senin (11/05).
Terkait pengesahan tersebut, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) akan kembali mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 27 yang disebut memberikan imunitas atau kekebalan hukum luar biasa kepada aparat pemerintah dalam menggunakan uang negara.
Pemerintah membantah penafsiran tersebut dan mengatakan setiap aparat pemerintah yang melanggar hukum dapat dituntut secara hukum, serta memastikan bahwa anggaran yang digunakan masuk dalam APBN sehingga dapat diaudit oleh BPK, dipertanggungjawabkan ke DPR dan menjadi objek pengawasan penegak hukum.
Senada, Komisi Pemberantasan Korupsi juga menilai bahwa Pasal 27 tidak menyebabkan penyelenggara pemerintahan terbebas dari hukum jika melanggar aturan.
Dalam Perppu itu, pemerintah melakukan penambahan anggaran Rp405,1 triliun yang dialokasikan untuk kesehatan, peningkatan kapasitas rumah sakit, jaminan sosial, intensif pajak dan program pemulihan ekonomi nasional.
Pasal 27 bentuk ‘imunitas absolut penguasa’
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyebut Pasal 27 dalam Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) merupakan bentuk dari imunitas absolut penguasa.
“Presiden saja bisa digulingkan atau dimakzulkan kok kalau melanggar. Masa pejabat keuangan dalam Perppu ini menjadi sangat kebal? Istilah saya bukan hanya sangat kebal, tapi kebal absolut,” kata Boyamin.
Untuk itu, jika Perppu ini disahkan menjadi UU, ia akan mencabut gugatan uji materil Perppu sebelumnya ke Mahkamah Konstitusi, dan mengajukan gugatan kembali terhadap UU.
“Setelah disahkan DPR, maka akan dibawa ke presiden untuk diberi nomor UU. Kalau kemarin ‘lawan’nya hanya pemerintah, besok akan berhadapan dengan pemerintah dan DPR dalam gugatan ke MK,” katanya.
- Pasal 27 ayat 1 berbunyi ‘biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara’.
- Ayat 2 berbunyi ‘anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan’.
- Ayat 3 berbunyi ‘segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara’.
Boyamin menyebut pasal tersebut dapat dianggap berbahaya karena “melegitimasi” bahwa aparat pemerintah yang menggunakan uang negara terkait penanganan Covid-19 tidak bisa digugat secara pidana, perdata, maupun di pengadilan tata usaha negara (PTUN).
“Berarti jika biaya boros, diselewengkan, salah perencanaan, fiktif, tetap dianggap biaya dan bukan kerugian negara? Kalau begitu ayat 2 tidak berdampak karena tidak bisa dipidana dan diperdata karena tidak ada kerugian negara. Ditambah lagi, tidak boleh digugat ke PTUN untuk menguji keputusannya benar atau salah,” katanya.
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, membantah penafsiran tersebut.
“Yang dijamin dalam Perpu ini adalah kebijakan yang diambil itu bukan kerugian negara. Tapi kalau ada moral hazard, ada niat buruk, jahat, itu jelas mau delik tipikor dan akan diproses penegak hukum.
“Tidak perlu khawatir karena hal yang sama juga muncul di UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, dan juga di UU Pengampunan Pajak,” katanya.
Selain itu, kata Yustinus, pengawasan terhadap anggaran yang digunakan juga berlapis karena masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Seluruh belanja dalam skema Perpu ini akan masuk dalam APBN. Jadi tidak boleh liar seperti dulu Bank Indonesia bisa menerbitkan BLBI sehingga tidak dipertanggungjawabkan dalam APBN.
“Nah ini semua [pengeluaran] di APBN sehingga diaudit oleh BPK, dipertanggungjawabkan oleh DPR melalui LKPP [laporan keuangan pemerintah pusat] dan menjadi objek pengawasan KPK atau alat penegak hukum lain,” tambah Yustinus.
Senada dengan itu, Komisi Pemberantasan Korupsi memaknai bahwa Pasal 27 tidak membuat penyelenggara negara menjadi kebal hukum.
“Tertulis bahwa apabila melaksanakan dengan itikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan maka tidak bisa dituntut. Jadi maknanya adalah jika kemudian ternyata ada itikad buruk dan tidak sesuai peraturan tentunya dapat dipidana. Jadi tidak ada kekebalan secara absolut atau mutlak bahwa kemudian tidak bisa dipidana,” kata juru bicara KPK, Ali Fikri.
‘Pasal 27 tidak diperlukan’
Pakar hukum dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai keberadaan Pasal 27 tidak diperlukan jika penegakan hukum mampu memberikan keadilan dan kepastian.
“Tanpa Pasal 27 sekali pun, seseorang tidak bisa dipidana jika tidak ada iktikad buruk dan melanggar peraturan, jadi apa gunanya pasal itu?” kata Agustinus.
Solusi yang ditawarkan oleh Agustinus adalah dibuatnya peraturan oleh Mahkamah Agung yang memberikan petunjuk bagi hakim-hakim dalam rangka mengadili kasus terkait penanganan virus corona.
“Jalan tengahnya MA bikin peraturan petunjuk ke para hakim dalam menerapkan doktrin ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi negatif. Artinya, dalam kaitan dengan pidana korupsi, aturan itu berisi pedoman negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, dan terdakwa tidak mengambil untung,”katanya.
Mengapa Perppu penting?
Dalam Perppu tersebut, pemerintah menambah anggaran hingga Rp405,1 triliun yang “sangat penting” bagi perekonomian negara, kehidupan masyarakat dan juga penanganan kesehatan akibat Covid-19.
“Jika tidak ada Perppu, maka akan terbelenggu defisit 3% yang diatur UU Keuangan Negara, artinya pemerintah dipastikan melanggar UU.
“Lalu Perppu ini juga memungkinkan pemerintah mengambil langkah cepat untuk memfokuskan kembali dan realokasi anggaran, memanfaatkan dana abadi, mendorong pemda melakukan efisiensi, dan akhirnya membuka ruang untuk hibah dan utang karena tidak ada sumber lain menutup defisit yang diprediksi sebesar 5,07%,” kata Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo.
Dari total penambahan anggaran tersebut, sebesar Rp75 triliun dialokasikan untuk anggaran kesehatan seperti membeli alat-alat pelindung diri, alat kesehatan, ventilator, serta meningkatkan kapasitas 132 rumah sakit rujukan yang menangani pasien Covid-19.
Kemudian, Rp110 triliun digunakan untuk peningkatan jaminan sosial masyarakat. Dunia usaha pun mendapatkan intensif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat sebesar Rp70 triliun.
Alokasi terbesar digunakan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp150 triliun. (DJP)
Discussion about this post