Daily News|Jakarta – Lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) telah menyerahkan pendapat hukum pihak yang merasa berkepentingan dalam perkara penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan atau amicus curiae ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
“Kemarin ICW menyerahkan Amicus Curiae untuk persidangan dua terdakwa penyerangan terhadap Novel Baswedan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara,” ucap Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Jumat (5/6).
Dalam dokumen tersebut, kata Kurnia, ada tujuh poin argumentasi yang disampaikan pihaknya. Pertama, dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap dua terdakwa mengenyampingkan perbuatan menghalangi proses hukum.
ICW menyatakan jeratan Pasal 355 KUHP dan Pasal 351 KUHP tentang tindak pidana penganiayaan dari jaksa itu bertolak belakang dengan kesimpulan penyelidikan yang sebelumnya dilakukan Tim Gabungan bentukan Polri.
Kala itu Kapolri masih Tito Karnavian, sementara Kapolri saat ini, Jenderal Pol Idham Azis, masih menjabat Kabareskrim
Kurnia mengatakan hasil tim gabungan bentukan Polri kala itu secara terang menegaskan ada keterkaitan antara serangan terhadap Novel dengan perkara-perkara yang sedang ia tangani.
Semestinya, kata Kurnia, jaksa menjerat kedua terdakwa dengan Pasal 21 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang perintangan penyidikan (Obstruction of Justice).
“Dengan Jaksa hanya mendakwa dengan Pasal terkait penganiayaan maka perkara ini akan berpotensi digiring hanya pada ranah pribadi Novel tanpa mengaitkan rekam jejak perkara yang sedang atau pernah Novel tangani,” ujarnya.
Poin kedua, ICW turut memasukkan potensi permasalahan dalam penyelidikan dan penyidikan dalam Amicus. Kurnia mengatakan penanganan perkara yang dilakukan Kepolisian sarat menuai persoalan sebagaimana temuan Komnas HAM.
Temuan itu antara lain: observasi oleh Tim Polda tidak cukup memetakan saksi kunci dan barang bukti penting; Tim Polda belum pernah memeriksa Kapolda Metro Jaya saat itu yang diduga mengetahui mengenai serangan kepada Novel Baswedan sebelum 11 April 2017 sehingga dapat dikategorikan sebagai saksi kunci; serta terbatas dan minimnya penyelidikan atas keberadaan ‘orang-orang asing’.
Kemudian, terbatas atau minimnya pemeriksaan dan tidak ada penyitaan atas gawai milik ‘orang-orang asing’ yang ada di sekitar TKP pada hari-hari sebelum dan saat kejadian; Tim Polda dalam proses penyidikan telah mendapatkan Complete Data Record dari BTS terdekat, namun tidak berhasil mengungkap nomor-nomor telepon dan materi komunikasi yang patut dicurigai; dan Tim Polda tidak meminta bantuan ahli Puslabfor untuk menelaah seluruh rekaman video yang dikumpulkan kecuali rekaman video pengawas (CCTV) di rumah Novel Baswedan.
“Temuan-temuan ini harusnya dapat dijadikan konstruksi awal dari majelis hakim ketika bersidang,” ujar Kurnia.
Poin ketiga, dakwaan jaksa mengaburkan fakta serangan yang dapat mengancam nyawa. Kemudian, sketsa Polri berbeda dengan wajah dua terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis.
“Tentu ini akan menjadi pertanyaan bagi masyarakat, apakah memang dua orang oknum Polri ini yang menjadi pelaku sebenarnya? Lalu bagaimana metode pembuatan sketsa yang dilakukan oleh Polri? Siapa saksi yang diambil keterangannya?”kata Kurnia.
Kurnia menuturkan poin kelima adalah tidak dihadirkannya tiga barang bukti penting ke muka persidangan. Bukti penting itu, kata dia, botol yang digunakan untuk membawa air keras, baju gamis milik Novel, dan CCTV di sekitar rumah Novel. Keenam, keanehan motif penyerangan yang disebut terdakwa sebagai dendam pribadi.
Lalu poin ketujuh adalah dugaan konflik kepentingan pendampingan hukum. Pasalnya, dalam menjalani sidang, dua terdakwa penyiraman air keras mendapat bantuan hukum dari institusi Polri.
Menurut ICW, institusi Polri tidak diwajibkan memberikan pendampingan hukum terhadap anggota Polri yang sedang menghadapi proses hukum sepanjang yang bersangkutan tidak sedang dalam menjalankan tugas.
Hal itu termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Maka dari itu, didasari dengan argumentasi di atas ICW berharap agar Amicus Curiae ini dapat dipertimbangkan oleh majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan terhadap dua terdakwa penyiram air keras ke Novel Baswedan,” tandas Kurnia.
Penyiraman air keras kepada Novel Baswedan terjadi pada 11 April 2017 lalu. Sejak saat itu, polisi melakukan penyelidikan dalam jangka waktu lama. Polisi membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) kasus Novel Baswedan yang terdiri dari sejumlah elemen dari aktivis, tokoh masyarakat, hingga anggota Polri sendiri.
TGPF menduga ada 6 kasus high profile yang ditangani Novel, diduga berkaitan dengan penyerangan ini.
Penyelidikan TGPF gagal mengungkap pelaku penyerangan. Setelah itu Polri membentuk tim teknis kasus Novel Baswedan yang dipimpin Kabareskrim yang saat itu dipimpin Idham Aziz–saat ini Kapolri.
Dan, pada 27 Desember 2019, Polri yang sudah dipimpin Idham pun mengumumkan telah mengamankan dua penyerang Novel yang kini menjadi terdakwa: Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. (DJP)
Discussion about this post