Dandhy Dwi Laksono, Jurnalis dan Pendiri Watchdoc ditetapkan sebagai tersangka. Dandhy jadi tersangka dengan tuduhan melanggar Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45 A ayat (2) UU ITE atau Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP karena menulis di media sosial Twitter soal situasi Papua.
” Penangkapan Dandhy Dwi Laksono atas dugaan penyebaran kebencian berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah tidak tepat,” kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara, di Jakarta, Jumat (27/9).
Menurut Anggara, proses hukum terhadap perbuatan penyampaian informasi kepada publik dan kritik atas kebijakan penegakkan hukum dan pemerintahan dapat dipandang sebagai salah satu bentuk try out Rancangan KUHP. Dandhy sendiri ditangkap pada Kamis malam 26 September 2019 oleh personel Polda Metro Jaya. Dandhy ditangkap karena cuitannya soal Papua.
“Diduga oleh polisi cuitannya menimbulkan rasa kebencian, permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA),” ujarnya.
Anggara pun mengingatkan bahwa proses penegakkan hukum khususnya upaya paksa seperti penangkapan mesti dilakukan sebagai upaya terakhir. Penangkapan pada malam hari dan dilanjutkan dengan pemeriksaan di malam hari sama sekali tidak tepat. ” Karena itu kami, ICJR meminta agar proses penegakkan hukum dalam kasus apapun dilakukan secara hati-hati dan pelaksanaan upaya paksa harus benar -benar mempertimbangkan sebagai kondisi yang terakhir dan bukan yang terutama harus dilakukan,” katanya.
Dalam konteks cuitan Dandhy, Anggara juga mengingatkan bahwa tindakan yang dilakukan mantan wartawan itu adalah bentuk penyampaian informasi kepada publik. Pun kritiknya terhadap kebijakan pemerintah dan kondisi penegakkan hukum di Indonesia, terutama menghadapi gejolak politik, baik yang terjadi di Papua dan di daerah lainnya.
“Pernyataan – pernyataan Dandhy adalah bentuk ekspresi yang sah yang dijamin dalam UUD 1945. Karena itu kami meminta agar penetapan status tersangka terhadap Dandhy Dwi Laksono untuk segera dibatalkan,” katanya.
Sementara terkait dengan pembahasan Rancangan KUHP, Anggara juga mengingatkan bahwa betapa tipisnya perbedaan antara kritik dengan propaganda kebencian dan tuduhan pasal penyebaran kabar bohong. Karena itu, penangkapan Dandhy juga bisa dipandang sebagai salah satu try out dari Rancangan KUHP.
“Dalam Rancangan KUHP, ujaran kebencian diatur dalam ketentuan Pasal 262 sementara penyebaran kabar bohong diatur dalam Pasal 242. ICJR kembali mengingatkan, perumusan norma pidana dalam Rancangan KUHP harus dilakukan dengan penuh kehati – hatian untuk tidak mencederai berbagai ekspresi politik yang sah seperti kritik terhadap kebijakan pemerintahan dan kebijakan penegakkan hukum,” kata Anggara.