Hawa Jakarta akhir-akhir ini terasa menyengat panas. Hujan belum juga turun. Siang hari, hawa panas begitu membakar. Dalam kemarau yang panas, berita tak mengenakkan silih berganti bergulir. Gelombang demonstrasi mahasiswa marak di mana-mana memprotes sejumlah RUU yang kontroversial. Protes meledak karena parlemen tuli mendengar. Sampai kemudian tragedi di Kendari terjadi. Dua mahasiswa Universitas Halu Oleo meninggal saat demonstrasi di kota itu. Satu tewas karena tertembak peluru. Satu lagi, meninggal karena luka parah di bagian kepala.
Berita lain yang tak enak didengar datang dari Lampung Utara pada hari Minggu, 6 Oktober 2019. Di tanggal itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mencokok kepala daerah lewat operasi tangkap tangan. Kali ini yang kena cokok adalah Bupati Lampung Utara. Penangkapan Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara dibenarkan Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif. Katanya, dalam OTT di Lampung Utara, KPK mengamankan empat orang.
“KPK mengamankan total 4 orang sejak sore hingga malam ini,” kata Laode di Jakarta, Minggu (6/10).
Hanya saja, Laode belum menjelaskan dalam kasus apa, Bupati Lampung Utara dicokok. Sebelumnya, pada hari Senin, 2 September hingga Selasa 3 September 2019, KPK melakukan OTT di beberapa tempat. Di Muara Enim, Sumatera Selatan, penyidik KPK mencokok Bupati Muara Enim Ahmad Yani. Bupati Muara Enim ditangkap karena diduga terlibat dalam kasus penerimaan suap proyek pembangunan jalan. Dalam OTT itu, KPK menyita barang bukti berupa 35 ribu dolar AS. Uang dolar tersebut diduga adalah fee dari pengusaha. Tidak hanya itu, dalam pemeriksaan awal setelah OTT, KPK mengungkapkan orang nomor satu di Muara Enim itu telah fee Rp 13,4 miliar diluar dari uang dolar yang disita dalam OTT.
Di hari berikutnya, KPK kembali menggelar OTT. Kali ini yang kena jerat OTT adalah Bupati Kabupaten Bengkayang Suryatman Gidot. Ikut ditangkap bersama sang bupati, empat orang lainnya. Dalam OTT di Bengkayang, penyidik KPK menyita uang ratusan juta rupiah yang diduga adalah fee yang terkait dengan proyek di kabupaten tersebut. Tidak hanya itu, bersamaan dengan penangkapan Bupati Muara Enim, KPK juga membongkar dugaan suap yang diterima Direktur PT Perkebunan Nusantara III, Dolly Pulungan dari pemilik PT Fajar Mulia Transindo, Pieko Nyoto Setiadi. Dolly diduga menerima uang suap sebesar 345 ribu dolar Singapura. Diduga uang suap itu terkait dengan kontrak distribusi gula antara PTPN III dan PT Fajar Mulia Transindo.
Pada 4 Oktober 2018, Setiyono, sang Wali Kota Pasuruan terpaksa harus ke Jakarta. Dia ke Jakarta, bukan untuk menghadiri rapat bertemu Presiden atau Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Tapi, Wali Koa Pasuruan terpaksa harus ke Jakarta, karena di bawa penyidik KPK setelah sebelumnya terjaring operasi tangkap tangan. Setiyono dicokok KPK karena diduga menerima gratifikasi dari kontraktor yang mengerjakan proyek di kota tersebut.
Di Rasuna Said, nasib orang nomor satu di Pasuruan itu pun makin jelas. Ia harus mengenakan rompi oranye. Rompi tahanan komisi anti rasuah. Tidak hanya itu, Setiyono juga terpaksa pertama kalinya merasakan dinginnya ruang tahanan. Ia ditahan KPK.
Belum juga berita dari Pasuruan reda, hanya selang beberapa hari setelah OTT Wali Kota Pasuruan, tepatnya pada 11 Oktober 2018, kembali KPK melansir berita tak mengenakkan lainnya. Pada tanggal itu, komisi anti rasuah menetapkan Bupati Malang Rendra Kresna sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek-proyek di Pemkab Malang.
Setelah diperiksa, sang bupati harus mengenakan rompi tahanan. Kasus Bupati Malang hanya menambah panjang daftar kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Bahkan, ditahannya Bupati Malang kian melengkapi daftar kepala daerah se-Malang Raya yang terlilit kasus.
Sebab sebelumnya, Wali Kota Batu tu Eddy Rumpoko juga harus berurusan dengan KPK. Sebelumnya lagi, Wali Kota Malang Moch. Anton. Bahkan untuk kasus di Kota Malang, tidak hanya Wali Kota yang digelandang ke tahanan. Namun nyaris semua anggota DPRD di kota tersebut juga terpaksa harus boyongan ke Rasuna Said, karena kasus kongkalikong perencanaan APBD.
Masih di tengah panasnya kemarau, KPK juga bikin geger. Masih di bulan Oktober 2018, Komisi anti rasuah kembali melakukan operasi tangkap tangan. Kali ini yang kena jerat adalah Bupati Bekasi, Neneng Hassanah Yasin. Ibu Bupati yang baru terpilih ini kena jerat KPK karena diduga terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi. Kasus itu juga menyeret Billy Sindoro bos Lippo Group yang merupakan pengembang proyek Meikarta.
Via aplikasi WhatsApp, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengungkapkan keprihatinannya dengan terus maraknya kepala daerah yang kena jerat KPK. Ia tak habis pikir, banyaknya kasus serupa tak dijadikan pelajaran berharga bagi kepala daerah lainnya. Padahal, KPK sudah pula turun tangan. Bahkan, sebelum pemilihan kepala daerah digelar, komisi anti rasuah sampai harus menatar para calon tentang area rawan korupsi yang harus dihindari. Tapi ternyata masih saja ada yang terjerat. Yang menyedihkan, beberapa yang terjerat adalah mereka yang baru saja menang dalam pemilihan. ” Sebagai Mendagri saya merasa prihatin dan sedih,” kata Tjahjo.
Terkait ditahannya Bupati Malang, kata Tjahjo, kementeriannya telah mengambil langkah menunjuk pelaksana tugas. Wakil Bupati Malang yang ditunjuk jadi Plt. Bahkan surat keputusan penunjukan Plt telah diserahkan ke Gubernur Jawa Timur, Soekarwo.
” SK- nya diserahkan ke Gubernur Jatim,” kata dia.
Tjahjo mengaku kaget, ketika KPK kembali menyeret Bupati Bekasi Neneng Hasanah. Kasus Bupati Bekasi hanya menambah panjang daftar kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Sejak KPK berdiri, menurut Tjahjo mungkin sudah tiga ratusan kepala daerah yang harus berurusan dengan lembaga pemberantas korupsi. Dan menjadi pesakitan.
” Untuk Bupati Bekasi sudah disiapkan pagi ini keputusan (penunjukan Plt). Ya kalau Bupati Bekasi langsung ditahan, tentu akan ada Plt. Tapi kita tunggu proses pemeriksaan KPK , kalau ditahan bisa hari ini Plt-nya ditetapkan dan diserahkan oleh Gubernur Jabar,” katanya
Prinsipnya langkah penunjukan Plt, kata Tjahjo berdasarkan amanat UU, dimana jangan sampai penyelenggaraan pemerintahan terganggu karena kepala daerah kena kasus. Status kepala daerah yang kena kasus, apakah akan diberhentikan permanen, tentunya harus menunggu dulu proses hukum yang berjalan. Jika sudah ada keputusan hukum tetap, kepala daerah bersangkutan bakal diberhentikan tetap.
” Ini agar pemerintahan di daerah tetap berjalan, ada yang tanggung jawab sampai berkekuatan hukum tetap. Saya yakin dan percaya para bupati akan kooperatif dalam pemeriksaan oleh KPK,” ujarnya.
Kepada seluruh kepala daerah yang terjerat kasus, Tjahjo minta semuanya untuk terbuka dalam proses pemeriksaan sampai ke persidangan nanti. Sementara bagi para kepala daerah yang belum kena kasus hukum, mantan Sekjen PDIP itu meminta untuk menjadikan kasus para bupati yang kena OTT sebagai pelajaran berharga. Kepala daerah yang belum kena kasus hukum diingatkan untuk menjauhi area rawan korupsi. Bekerja dan bertindak sesuai aturan yang berlaku. Dan, jangan coba kongkalikong.
“Area rawan korupsi, jual beli jabatan dan main proyek itu yang selalu Kemendagri tekankan, termasuk menekankan pada diri saya, pada jajaran eselon I dan eselon II di Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri),” ujarnya.
Intinya, kata dia, hati-hati dalam bertindak. Taati aturan perundang-undangan yang berlaku. Jangan coba -coba melenceng dari aturan. Apalagi berniat korup. Karena serapi apapun tindak kejahatan itu ditutupi, akhirnya akan terendus juga juga. Apalagi KPK saat ini sangat ketat mengawasi pemerintah daerah.
” Seharusnya jadi kepala daerah itu, semua regulasi, semua aturan, dia harusnya tahu mana yang melanggar, mana yang tidak,” ujar Tjahjo. (Supriyatna/Daily News Indonesia)
Discussion about this post