Daily News|Jakarta – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Hidayat Nur Wahid menyebut masalah dalam rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja tak hanya dalam kluster ketenagakerjaan yang ditunda pembahasannya oleh Presiden Jokowi dan DPR.
“Itu pun setelah mendapat tekanan dari gerakan buruh dan oposisi,” katanya, dikutip dari Antara, Rabu (29/4)
“Ada banyak lagi hal yang berpotensi bermasalah dan kontroversi di luar klaster ketenagakerjaan yang oleh Pemerintah sudah diminta untuk ditunda pembahasannya,” ia menambahkan.
Ia mencontohkannya dengan Pasal 170 RUU Ciptaker yang tak masuk dalam kluster ketenagakerjaan. Namun, pasal itu berpotensi menabrak prinsip negara hukum yang diatur dalam UUD 1945. Pasal itu mengatur bahwa Peraturan Pemerintah (PP) bisa membatalkan UU.
“Padahal secara hierarkis, PP yang dibuat oleh Pemerintah posisinya berada di bawah UU yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR. Secara hukum PP hadir bukan untuk mengubah UU, melainkan untuk menjalankan UU, sesuai ketentuan UUD 1945 Pasal 5 ayat (2),” kata Hidayat memberikan kuliah yang juga anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS ini.
Menurut dia, Pemerintah pernah menyinggung soal kesalahan ketik terkait Pasal 170 itu. Namun, kata dia, sejak diserahkan ke DPR hingga saat ini tidak ada koreksi ataupun pengusuran soal pelakunya sama sekali.
“Itu hanya salah satu contoh [masalah Omnibus Law], tetapi sangat prinsipil,” imbuh dia.
Terpisah, mantan Menteri Sekretaris Negara era Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Bambang Kesowo, menyebut Omnibus Law Cipta Kerja ini memiliki tiga masalah, yakni dalam hal aspek formal atau prosedur, substansi atau isi, serta dimensi politik.
“Saya melihat tiga titik yaitu formal, substansi, dan dimensi politiknya,” kata Bambang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Kerja (Panja) RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Rabu (29/4).
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto menyatakan pembuatan regulasi dengan teknik sapu jagat ala RUU Omnibus Law Cipta bukan sesuatu yang baru di Indonesia.
Hal itu diketahui lewat sejarah perundang-undangan di era Hindia-Belanda sampai 1949 yang mencapai sekitar 7 ribu peraturan.
Sementara, daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun BPHN sejak 1990 sampai 1992 terdapat kurang lebih 400 peraturan perundang-undangan Hindia Belanda.
“Pertanyaannya, dari 7 ribu jadi 400 itu melalui metode apa? Apakah satu peraturan kolonial diganti satu peraturan nasional? Ini yang saya maksud waktu itu juga dipergunakan sistem omnibus,” tuturnya.
“Walaupun dalam penelitian atau khazanah hukum kita istilah omnibus belum dipergunakan, tapi metodenya digunakan. Jadi ini bukan hal yang baru,” tandas Satya. (DJP)
Discussion about this post