Daily News|Jakarta –Persepsi Korupsi Indonesia di tahun 2019 menunjukkan perbaikan ke angka 40 atau meningkat dua poin, sejajar dengan Kuwait, Lesotho, serta Trinidad dan Tobago.
Namun, Indonesia masih berada di bawah beberapa negara Asean lainnya, yakni Singapura (85), Brunei Darussalam (60), dan Malaysia (53).
Indeks itu ditentukan berdasarkan penelitian terhadap 180 negara, dengan nilai 0 berarti paling korup dan 100 berarti paling bebas korupsi.
Sebelumnya, pada 2015, KPK menargetkan indeks korupsi Indonesia di angka 50.
Meski ada kemajuan, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan indeks itu dibuat sebelum UU KPK baru disahkan.
“Karena survei itu dilakukan sebelum revisi UU KPK, maka penilaian publik terhadap revisi UU KPK tidak terekam dalam indek persepsi korupsi,” ujar Donal.
Ia melihat KPK menghadapi ganjalan hukum dan politik dalam 100 hari pertama pemerintahan presiden.
“Parahnya presiden tidak melakukan apapun dan merespon kondisi KPK yang lemah… Kebijakan anti korupsi nyaris tidak terlihat,” ujarnya.
Namun, tudingan itu dibantah oleh Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono.
“Revisi UU KPK kemarin itu dimaksudkan untuk memperkuat KPK. Penambahan Dewan Pengawas dalam KPK justru dimaksudkan untuk menjaga KPK agar tetap berada di jalur yang semestinya,” ujar Dini dalam keterangan tertulis.
“Presiden juga sudah memperingatkan Kapolri dan Jaksa Agung untuk menjaga jajaran agar jangan lagi ada pemerasan-pemerasan kepada pengusaha atau kepala daerah, sebagai salah satu langkah menciptakan iklim berusaha yang kondusif,” tambahnya.
Ia mengatakan masa pemerintahan baru mencapai 100 hari dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan dan diselesaikan pemerintah.
Kekhawatiran terkait Omnibus Law
Salah satu arah kebijakan pemerintah di bidang ekonomi adalah investasi yang didorong tinggi, ujar Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, dalam keterangan tertulis.
Hal itu, ujarnya, dilakukan dengan penyederhanaan prosedur investasi melalui Omnibus Law, investasi di sektor manufaktur, dan investasi di kawasan industri atau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Merespons soal Omnibus Law, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Dadang Sasongko, menyatakan khawatir aturan itu hanya bertujuan mendatangkan modal sebanyak mungkin, tanpa memperhatikan level integritas perusahaan.
Sejauh ini, Dadang mengatakan, ia belum menemukan peraturan spesifik mengenai pencegahan anti korupsi dalam rancangan Omnibus Law.
“Jika itu terjadi, yang berani investasi di negara korup hanya perusahaan yang level integritasnya rendah sehingga lebih suka menyuap pejabat publik,” ujarnya.
Di sisi lain, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencatat rancangan UU itu telah mendapat resistensi sekelompok masyarakat, khususnya pekerja.
Salah satu yang diperdebatkan, kata peneliti INDEF Esa Suryaningrum, adalah rencana mengenai pesangon pekerja dan peningkatan upah.
“Omnibus Law ini yang disebut undang-undang ‘sapu jagat’, mungkin belum akan efektif jika tidak mempertimbangkan tenaga kerja dan hanya mempertimbangkan pengusaha saja,” ujarnya.
Resistensi masyarakat, ujar Esa, berpotensi membuat peraturan itu tidak efektif.
Untuk menarik investasi besar, Esa menyarankan pemerintah untuk fokus saja dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (HMP).
Discussion about this post