Daily News|Jakarta – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengomentari tuntutan penjara 4 tahun untuk mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan di Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari, terkait kasus suap, pencucian uang dan pemufakatan jahat. ICW menilai Kejaksaan Agung (Kejakgung) tak serius dalam kasus skandal Djoko Tjandra.
“ICW tidak lagi kaget mendengar kabar bahwa Jaksa Pinangki Sirna Malasari dituntut 4 tahun penjara. Sebab, sejak awal Kejaksaan Agung tidak serius dalam menangani perkara ini,” ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada Republika.co.id, Selasa (12/1).
Menurut ICW, tuntutan 4 tahun penjara untuk tiga dakwaan yang menjerat Pinangki sangatlah ringan. Terlebih, Pinangki diketahui didakwa menerima suap dari Djoko Tjandra, melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan pemufakatan jahat dengan berencana menyuap mantan Ketua MA Hatta Ali dan Jaksa Agung ST Burhanuddin.
“Tuntutan yang dibacakan oleh jaksa terhadap Pinangki sangat ringan, tidak objektif, dan melukai rasa keadilan,” katanya.
Kurnia membeberkan beberapa alasan yang mendasari kesimpulan tersebut. Pertama, saat melakukan tindakan korupsi, Pinangki berstatus sebagai penegak hukum. Terlebih ia merupakan bagian dari Kejaksaan Agung yang notabene menangani langsung perkara Djoko Tjandra. Namun, alih-alih membantu Kejaksaan Agung, Pinangki malah bersekongkol dengan seorang buronan perkara korupsi.
Kedua, uang yang diterima oleh Pinangki direncanakan untuk mempengaruhi proses hukum terhadap Djoko TJandra. Sebagaimana diketahui, kala itu Pinangki berupaya agar Djoko Tjandra tidak dapat dieksekusi dengan cara membantu mengurus fatwa di Mahkamah Agung.
Ketiga, tindakan Pinangki telah meruntuhkan dan mencoreng citra Kejaksaan Agung di mata publik. Betapa tidak, sejak awal kabar pertemuan Djoko Tjandra mencuat ke media, tingkat kepercayaan publik menurun drastis pada Korps Adhyaksa tersebut.
Keempat, perkara Pinangki merupakan kombinasi tiga kejahatan sekaligus, yakni tindak pidana suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang. Logika hukumnya, ketika ada beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang semestinya ada pemberatan, namun penuntut umum sepertinya tidak mempertimbangkan hal itu.
Kelima, keterangan Pinangki selama persidangan justru bertolakbelakang dengan fakta yang diyakini oleh penuntut umum. Pada beberapa tahapan, salah satunya eksepsi, Pinangki membantah menerima uang sebesar 500 ribu dollar AS dari Djoko Tjandra. Dengan pengakuan seperti ini, seharusnya Jaksa tidak lagi menuntut ringan Pinangki.
Bahkan dalam beberapa persidangan, Majelis Hakim seringkali mengingatkan Pinangki untuk tidak mengubah keterangannya. Hal tersebut lantaran terdapat beberapa perbedaan keterangan yang disampaikan Pinangki di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saat penyidikan dan keterangan di persidangan.
ICW pun berpandangan semestinya tuntutan yang layak kepada Pinangki adalah hukuman pemidanaan maksimal, yakni 20 tahun penjara. Untuk itu, ICW mendesak agar Majelis Hakim dapat mengabaikan tuntutan Jaksa lalu menjatuhkan hukuman berat terhadap Pinangki Sirna Malasari.
“Selain itu, putusan hakim nantinya juga akan menggambarkan sejauh mana institusi kekuasaan kehakiman berpihak pada pemberantasan korupsi,” tegas Kurnia.
Dalam menjatuhkan tuntutan Jaksa memiliki beberapa pertimbangan. Sayangnya, untuk hal yang memberatkan, Jaksa hanya mempertimbangkan status Pinangki sebagai aparat penegak hukum yang tak mendukung program pemerintah dalam rangka memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dalam perkara suap terkait pengurusan fatwa MA terhadap Djoko Tjandra, satu terdakwa Tommy Sumardi telah divonis 2 tahun pidana penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan. Majelis Hakim menyatakan Tommy terbukti bersalah telah menjadi perantara suap dari terpidana perkara korupsi cessie Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra kepada Irjen Napoleon Bonaparte selaku Kadiv Hubinter Polri dan Brigjen Prasetijo Utomo selaku Kabiro Kordinasi dan Pengawasan PPNS Polri.
Dalam putusannya, Tommy terbukti menjadi perantara suap Djoko Tjandra dengan memberikan sejumlah uang kepada Irjen Napoleon Bonaparte sebesar 200 ribu dollar Singapura dan 370 ribu dollar AS serta kepada Brigjen Prasetijo Utomo sebesar 100 ribu dollar AS. Uang tersebut diberikan Djoko Tjandra untuk pengurusan penghapusan nama Joko Tjandra dalam daftar red notice Interpol Polri.
Kemudian, perantara suap lainnya, Andi Irfan Jaya dituntut 2,5 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum. Pada Rabu (13/1), Andi Irfan akan menjalani sidang putusannya di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) Allan Fatchan Gani menilai, pemberantasan korupsi tidak akan pernah maju jika Penuntut Umum dan Majelis Hakim masih memandang biasa-biasa ihwal perkara korupsi tersebut. Seharusnya, kata Allan, Jaksa Penuntut Umum mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan ketika menuntut seseorang, terlebih dalam kasus Djoko Tjandra faktanya hukum tidak dapat ditegakkan dengan baik.
“Tuntutan yang ringan terhadap kejahatan yang sistematis adalah bukti tidak pekanya aparat terhadap penegakan hukum yg transparan dan berkeadilan, ” kata Allan
Allan mengatakan, ketika semua tuntutan tiba-tiba menjadi ringan, maka menjadi tugas hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan. Karena, kata Allan, korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan upaya-upaya untuk menanganinya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa pula.
“Penuntut dan hakim harus sama-sama lebih peka dalam menangani kasus korupsi yang sudah akut di Indonesia. Komitmen penegak hukum harus berorientasi tidak hanya menegakkan hukum saja, tapi juga keadilan, ” tegasnya.
Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman mengatakan, tuntutan dan vonis ringan terhadap para terdakwa di perkara suap Djoko Tjandra menunjukan tidak ada keseriusan para aparat penegak hukum memberantas korupsi di Indonesia. Padahal, kasus suap Djoko Tjandra telah menarik perhatian publik seharusnya benar-benar diproses secara profesional.
“Seharusnya aparat penegak hukum mengoptimalkan ancaman pidana yang diatur dalam pasal yang didakwakan, JPU juga harusnya menuntut dengan ancaman paling maksimal, majelis hakim pun seharusnya memutus dengan pidana maksimal,” tegasnya.
Zaenur menilai dengan kisaran vonis dua tahun yang diberikan oleh Majelis Hakim menunjukan rendahnya keseriusan aparat penegak hukum dalam menangani perkara mafia hukum Djoko Tjandra.
“Kasus ini sangat serius ya, dimana aparat penegak hukum menggunakan kewenangannya dan membantu seorang buronan negara sehingga menurut saya , kasus ini memiliki dimensi yang sangat merusak sistem hukum dan kewibawaan aparat serta penegak hukum, dan ini bisa menurunkan kepercayaan masyarakat, ” tuturnya. (DJP)
Discussion about this post