Daily News | Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencium adanya berbagai potensi pelanggaran, kecurangan, penyalahgunaan kewenangan dalam pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden pada 14 Februari 2024 mendatang.
Dalam catatan kritisnya yang diluncurkan, Rabu (15/11/2023), potensi pelanggaran tersebut bisa terjadi dari berbagai manuver politik penguasa untuk berpihak pada calon tertentu. Akibatnya, mampu mencoreng nilai ideal dari demokrasi yang bebas dan bersih.
“Kita sama-sama tahu betul terdapat sejumlah langkah atau manuver politik, bahkan kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah berpotensi mencoreng netralitas dan imparsialitas dalam penyelenggaraan pemilu,” kata Deputi Koordinator Kontras Andi Muhammad Rezaldy dalam peluncuran catatan kritis, Rabu (15/11/2023).
Pemilu 2024 berjalan secara netral dan imparsial karena adanya beragam langkah yang dilakukan penguasa sejak jauh hari. Setidaknya, terdapat sekitar 7 langkah dan manuver Presiden Jokowi yang menunjukkan keberpihakannya kepada calon tertentu, mulai dari endorsement politik, mengaku akan cawe-cawe, dan menyatakan hanya akan ada dua calon presiden yang berkontestasi di Pilpres 2024.
KontraS juga mendokumentasikan 12 tindakan dari orang-orang di lingkaran Presiden Jokowi, termasuk para menteri dan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN). Potensi ketidaknetralan ini pun dipertegas dengan 6 hal, termasuk penunjukan Pj Kepala Daerah yang jauh dari akuntabilitas publik, terlibatnya TNI-Polri, mobilisasi ASN, hingga tidak netralnya Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jika kami lakukan pemantauan dan pendalaman, setidaknya ada sekitar 6 hal yang perlu diperhatikan dan punya dampak sangat serius terhadap netralitas penyelenggaraan Pemilu 2024,” tuturnya.
Berkaitan dengan pengisian Pj kepala daerah, KontraS dan berbagai lembaga masyarakat sipil mendapati adanya proses pengangkatan yang jauh dari transparansi dan akuntabel. Pihaknya bersama beberapa kelompok masyarakat sipil pun sempat mengajukan pengaduan ke Ombudsman RI terkait masalah ini.
Ombudsman RI telah menyatakan adanya maladministrasi dalam penunjukan beberapa Pj kepala daerah. Ketidaknetralan ini juga terlihat ketika pemilihan dan penunjukan Panglima TNI yang baru menggantikan Yudo Margono.
Calon panglima TNI yang menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) oleh DPR RI, Agus Subiyanto dipilih kilat, karena belum lama ditunjuk menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
“Kita tahu sama-sama calon panglima itu tidak terlalu lama ditunjuk menjadi KSAD, kemudian diminta oleh presiden untuk dipilih komisi I DPR RI menjadi panglima TNI yang baru. Dari isu aparat keamanan timbul spekulasi salah satunya terkait Geng Solo,” ungkap Andi.
Tak hanya itu, Presiden Jokowi sempat menyatakan memiliki data arah politik para partai politik. Hal ini membuktikan adanya penyalahgunaan Badan Intelijen Nasional (BIN) untuk kepentingan politik.
Begitu pula dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara 00/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden, yang membuka jalan bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, berkontestasi di Pilpres 2024. Meski saat ini, ipar presiden Jokowi, Anwar Usman, dicopot sebagai ketua MK akibat prahara tersebut, namun ia masih menjabat sebagai hakim konstitusi.
“Tidak netralnya MK dengan putusan MK nomor 90 yang kemudian kami berkesimpulan ketidaknetralan dikhawatirkan berlanjut saat sengketa hasil Pemilu di MK nanti,” jelas Andi. (HMP)
Discussion about this post