Daily News|Jakarta – Ekonom menilai usulan pembentukan dewan moneter dalam revisi UU Nomor 23 Tahun 1999 soal Bank Indonesia (BI) membuat sistem moneter Indonesia primitif.
Direktur Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyebut usulan dewan moneter tersebut mengembalikan sistem moneter seperti pada periode orde lama, yaitu berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan UU Pokok BI.
“Kita jadi primitif lagi. Ini akan menghancurkan sistem moneter Indonesia, karena kebijakan moneter itu dipegang bukan ahli moneter,” ujarnya dalam diskusi revisi UU BI secara daring, Jumat (11/9).
“Ahli moneter pun dalam dewan gubernur sekarang ini terdiri dari sekian orang, (dalam revisi UU BI) ini terdiri dari beberapa orang saja dan nanti yang memutuskan menteri keuangan,” katanya melanjutkan.
Dalam revisi UU BI yang disampaikan oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR, Dewan Moneter terdiri dari menteri keuangan, satu orang menteri yang membidangi perekonomian, gubernur BI, deputi gubernur senior BI, dan ketua dewan komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Susunan anggota tersebut serupa dengan dewan moneter pada zaman orde lama dan orde baru. Namun, Anthony mengungkapkan keberadaan dewan moneter tersebut justru memperburuk kondisi ekonomi saat itu.
Kondisi ini ditunjukkan dengan tingkat inflasi tinggi, yakni 31 persen pada 1973, 40 persen pada 1974, 20 persen pada 1976, dan 19 persen pada 1975. Tren inflasi tinggi terus berlangsung hingga mencapai 58 persen pada 1998 saat krisis moneter terjadi. Tak hanya itu, nilai tukar rupiah anjlok dari kisaran Rp2.400 menjadi Rp16 ribu per dolar AS.
“Struktur dewan moneter sudah hilang di 1999, berarti BI sudah menjadi profesional sejajar dengan bank sentral lainnya dan menurut best practice bank sentral harus seperti ini. Kemudian covid-19 datang fiskal bangkrut tapi yang diutak-atik adalah moneter dibentuk lagi dewan moneter, ini kita kembali jadi primitif lagi,” terang dia.
Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai revisi UU BI tidak sesuai dengan aspirasi publik lantaran tidak mengubah hal yang perlu diperbarui.
“Yang dituntut kepada BI dan yang masih menjadi PR adalah bukan persoalan independensi karena soal independensi antara bank sentral ini, BI masuk 10 besar terbaik dunia kalau untuk urusan indepensi,” ucapnya.
Menurutnya, terdapat tiga hal yang sebetulnya menjadi masalah kinerja BI secara umum, namun tidak tersentuh meliputi, akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas. “Artinya, kalau sekarang justru yang mau diutak-atik yang tidak masalah, yang masalah justru dibiarkan,” ucapnya.
Dalam revisi UU BI, fungsi dewan moneter ditetapkan untuk membantu pemerintah dan BI dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter. Nantinya, dewan moneter akan memimpin, mengkoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Secara teknis, dewan moneter bersidang sekurang-kurangnya dua kali dalam sebulan atau sesuai dengan keutuhan yang mendesak.
Kemudian, keputusan dewan moneter diambil dengan musyawarah untuk mufakat. Apabila gubernur BI tidak menyetujui hasil musyawarah dewan moneter, maka gubernur BI dapat mengajukan pendapatnya kepada pemerintah. (DJP)
Discussion about this post