Daily News|Jakarta –Pengamat kebijakan publik Achmad Nur Hidayat MPP menulis opininya tentang penerbitan global bond dan kerjasama dengan Federal Reserve, Amerika Serikat.
Menurutnya, Sri Mulyani melakukan tindakan yang tidak populer ditengah wabah pandemik CV19 yaitu menerbitkan kembali surat utang.
“Semua menteri keuangan akan melakukan hal yang sama jika dihadapi situasi ekonomi yang minim pendapatan negara, ditengah tuntutan besar akan stimulus ekonomi akibat pandemik CV19 dan untuk menghindari jatuhnya korban jiwa lebih besar lagi.”
Tindakan SMI tersebut dapat difahami sebagai tindakan counter cyclical crises yang tidak populer dan dalam bingkai kebijakan publik, tindakan tersebut cukup beralasan. Harus ada pejabat tidak populer untuk menyelamatkan keuangan negara saat ini. Kali ini, adalah Sri Mulyani Menteri Keuangan periode ke dua Kabinet Presiden Jokowi, tulisnya.
“Kementerian Keuangan mengeluarkan obligasi global (global bond) 4,3 miliar USD atau Rp68,8 Triliun. Obligasi global tersebut diterbitkan dalam 3 bentuk Surat Berharga Negara (SBN) yaitu seri RI1030, RI 1050, dan RI0470. Ketiga seri tersebut memiliki tenor jangka panjang diatas 10 tahun. Hal ini adalah strategi yang bijak untuk memberikan ruang fiskal agak lebar di jangka pendek. Yield/kupon SBN ketiganya berkisar 3.9%-4.5% per tahun berdenominasi USD.”
Seri RI1030 memiliki tenor 10,5 tahun yang jatuh tempo pada 15 Oktober 2030 diterbitkan sebesar USD1,65 miliar dengan yield global sebesar 3,9%. Seri kedua yaitu RI1050 dengan tenor 30,5 tahun atau jatuh tempo 15 Oktober 2050. Nominal yang diterbitkan juga USD1,65 miliar dengan yield 4,25%. Seri ketiga adalah RI0470 dengan tenor 50 tahun, jatuh tempo 15 April tahun 2070 sebesar UDD1 miliar dengan tingkat yield 4,5%. Seri ketiga ini merupakan global bond pertama yang diterbitkan dengan tenor 50 tahun. SBN yang ketiga adalah series baru yang belum pernah diterbitkan sebelumnya. Jatuh tempo atau tenornya 50 tahun yaitu 15 April tahun 2070 sebesar USD1 miliar dengan tingkat yield 4,5%.
“Penerbitan dengan tenor 50 tahun tersebut juga merupakan tenor terpanjang yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Hal ini secara implisit menunjukkan kepercayaan investor jangka panjang terhadap track record kondisi ekonomi dan pengelolaan keuangan negara di masa depan.”
Indonesia juga merupakan negara pertama di Asia yang menerbitkan sovereign bond sejak pandemi COVID-19 terjadi. Dari bulan Februari sampai dengan Maret tidak ada satu negarapun di Asia yang masuk ke global bond karena mereka melihat situasi volatilitas dan gejolak keuangan yang sangat besar, catatnya.
“Tidak ada kemeriahan tepuk tangan dari prestasi tersebut sebab secara implisit Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap pembiayaan luar dalam mengatasi CV19. Ini seharusnya menjadi evaluasi terhadap ketahanan fiskal saat ini.”
Menkeu mengatakan, penerbitan ketiga seri SBN tersebut adalah penerbitan terbesar di dalam sejarah penerbitan US Dollar Bond oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Apa manfaat penerbitan US Dollar Bond dan kerjasama dengan Federal Reserve?
“Jelas bahwa manfaat penerbitan US Dollar Bond tersebut adalah Indonesia memiliki pendanaan sebesar hampir Rp70 Triliun untuk APBN 2020. Dengan dana tersebut negara bisa bernafas sedikit lega untuk memberikan stimulus ekonomi kepada individu dan perusahaan yang terdampak CV19.”
“ Manfaat lain adalah cadangan devisa BI bertambah 4.3 miliar USD. Bulan Maret lalu cadev telah berkurang 9.4 miliar USD ke level 120.97 miliar USD (Bulan Februari sebelumnya cadev 130.3 miliar USD). Peningkatan cadev diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pasar terhadap Indonesia. Dampak kepercayaan tersebut akhirnya dapat menguatkan nilai tukar rupiah.
“Dalam situasi yang demikian, nilai tukar diprediksi dapat menguat ke level 15.000 di akhir tahun 2020. Saat ini rupiah di level Rp 16.112 masih diatas dari nilai fundamental rupiah yang sebenarnya.”
Penguatan rupiah terjadi juga karena sentimen positif kerjasama repurchase aggrement (repo) 60 miliar USD antara Bank Indonesia (BI) dengan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve manakala terjadi penurunan cadangan devisa. Kerjasama tersebut merupakan tambahan capital buffer untuk Bank Indonesia.
Sebelumnya BI telah memiliki kerjasama currency swap dengan China (30 miliar USD), dengan Jepang (22.7 miliar USD) dan dengan Singapura (10 miliar USD), Tambahan kerjasama repo dengan the FED AS sebesar (60 miliar USD) akan menambah ketahanan keuangan Indonesia melalui cadangan devisa.
Ekonomi Indonesia selama Maret 2020 sangat mengkhawatirkan sekali. Rupiah anjlok 15% (mtm) karena investor distrust kepada Indonesia, Yield SBN 10 tahun jatuh 4 basis poin ke level 8.16% dan defisit transaksi berjalan melebar ke level 2.88% PDB. Situasi tersebut sangat merugikan ekonomi Indonesia.
“Dalam bingkai kebijakan publik, alasan untuk memperbaiki situasi ekonomi Maret 2020 tersebut melalui kerjasama repo BI-FED 60 miliar USD dan penerbitkan global bond 4.3 miliar USD adalah tindakan berani dan beralasan meskipun dilihat dari sisi cost of fund, kerjasama tersebut terbilang mahal, tulis Ahmad Nur Hidayat.
“Bila otoritas cukup pintar, maka seharusnya mencari pembiayaan global bond berdenominasi dalam EURO karena yield bond-nya lebih rendah di level 1.9-3.0% daripada yield berdenominasi USD di level 3.9-4.5% dengan tenor yang kurang lebih sama. Jumlah selisih yield tersebut sangat signifikan bila nilai tukar rupiah anjlok seperti Maret 2020 sebesar 15%.”
Selisihnya pembayaran menggunakan EURO dapat lebih murah 30%-93% daripada menggunakan USD. Bila rupiah anjloknya lebih dari 50% maka Indonesia membayar kupon global bond double (2x) lebih mahal dengan USD daripada dengan EURO.
Meski demikian, bila Kemenkeu menerbitkannya dalam EURO, bisa jadi Bank Indonesia tidak dapat privillege untuk melakukan kerjasama repo 60 miliar USD dengan Federal Reserve (FED), Bank sentral AS.
Tidak banyak negara berkembang yang mendapatkan fasilitas dari FED. Biar bagaimanapun mendapatkan fasilitas dengan FED adalah keuntungan besar bagi reputasi rupiah di masa depan karena secara de facto, FED tidak pernah memiliki kesulitan likuditas dolarnya. Patut diingat FED adalah satu-satunya bank sentral yang memiliki kewenangan mencetak mata uang dolar AS sebagai mata uang yang paling dicari pasar dunia.
Memiliki kerjasama dengan FED seolah-olah Rupiah dibackup oleh otoritas keuangan AS sehingga rupiah akan stabil di masa depan. Sebuah strategi yang brilian sekaligus menunjukkan kedekatan ekonomi Indonesia yang lebih intim dengan ekonomi Amerika.
Sayang pada pemberitaan media kemudian menyebutkan keluhan Menkeu bahwa penjualan Bond itu tidak mendapat respons memadai, alias kurang laku. (HMP)
Discussion about this post