Daily News|Jakarta – Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham Freddy Harris menduga ada permainan politik di balik isu rangkap jabatan Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro. Freddy meminta semua pihak tenang dan objektif memandang persoalan tentang PP Statuta UI.
Dirjen Harris seakan-akan tidak sadar ada konteks persoalan etika yang seyogianya dijunjung tinggi oleh universitas sebesar UI. Pertama, membiarkan persoalan rangkap-jabatan berlarut-larut sampai terbongkar sendiri dalam kasus “King of Lip Service. Kedua, membiarkan Presiden terjerumus terpaksa membela diri sang rektor yang mengirim pesan jabatan rector itu penting tetapi lebih penting jabatan komisaris dengan gaji lukratif.
“Tanpa etika, perguruan tinggi akan menjadi bangunan fisik belaka, dan tanpa nilai universitas bahkan bangsa akan mengalami moral hazards dengan kerusakan parah bangsa dalam jangka panjang,” ujar netizen di media sosial.
Dirjen hanya tertairik untuk membela rekannya, kurang memahami kemarahan para guru besar se Indonesia.
“Ya kalau Rektor punya persoalan ya kita ini rektornya, ya. Saya kenal Ari. Jadi ini objektif gitu. Sayela sebelumnya juga bilang, awalnya Rektor suruh mundur dari komisaris, ujung-ujungnya pasti Rektor suruh mundur jadi Rektor, eh bener, politik, kan,” ujar Freddy dalam diskusi daring Ikatan Alumni (Iluni) UI, Sabtu (24/7/2021).
Parahnya, Dirjen malah menduga ada pihak di dalam UI yang menginginkan Ari lengser dari kursi Rektor UI. Sekadar perebutan kekuasaan.
“Siapa yang main di dalam? Saya nggak takut untuk hal kayak gini, biasa saja buat saya. Yang main di dalam siapa yang mau jadi rektor, nih? Atau karena ada persoalan-persoalan?” lanjut Freddy.
Freddy mengatakan setiap aturan itu bisa berkembang dan berubah-ubah. Dia juga menyebut Menkumham Yasonna Laoly juga mempersilakan orang mengajukan judicial review (JR) jika keberatan atas PP 75/2021 terkait poin rektor boleh rangkap jabatan.
“Jadi aturan itu memang bisa berkembang. Saya sudah bicara sama Pak Menteri, ‘Pak Menteri, saya boleh ngomong nggak?’ Saya izin sama Pak Menteri, (katanya) ‘boleh, bilang aja kalau ada (keberatan) rangkapnya kalau memang ini judicial review’. Jadi Pak Menteri pun fair. Nggak apa judicial review,” katanya.
Namun, Freddy menyebut, dia keberatan jika aturan tentang guru besar di PP 75/2021 dilakukan judicial review. Menurutnya, aturan tentang guru besar UI sudah baik.
“Tapi judicial review yang mana. Saya keberatan kalau persoalan orang ingin menjadi guru besar disuruh cabut lagi. Saya akan masuk intervensi. Bukan soal rektornya ya, tapi guru besar, karena adik-adik saya banyak harus jadi guru besar nggak bisa jadi guru besar, kakak-kakak saya juga begitu,” jelasnya.
Lebih lanjut Freddy menilai revisi PP 77/2021 tentang Guru Besar saat ini sudah baik. Sebab, mempermudah orang untuk menjadi guru besar di UI.
“Harapan PP yang saya baca kemarin lebih membuka peluang, mudah-mudahan lebih banyak guru besar-guru besar UI yang baru. Jadi kalau PP sekarang buat guru besar, bagus,” katanya.
Sementara itu, komisioner KPPU Kurnia Toha, yang juga hadir dalam diskusi, berharap PP 75/2021 lebih mudah menaikkan pangkat dosen dan profesor. Dia juga keberatan PP ini dicabut hanya karena poin rektor boleh rangkap jabatan.
“Harapan saya dengan salah satu poin di PP baru, harapan saya dengan mekanisme yang transparan, banyak libatkan stakeholderdi SA itu insyaallah kenaikan pangkat dosen jadi rektor kepala, profesor, bisa lebih cepat. Dan ini satu hal yang menjanjikan dengan adanya PP baru. Jadi jangan gara-gara rangkap jabatan lalu ini diusulkan dicabut,” tutur Toha. (DJP)
Discussion about this post