Daily News|Jakarta – Capim KPK Nawawi Pomolango menilai kinerja KPK selama 17 tahun berdiri tidak ada yang menonjol. Hal itu menjawab pertanyaan anggota fraksi PPP Komisi III Arsul Sani terkait alasan menjadi pimpinan KPK saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Gedung DPR RI.
Dia mengaku ingin menjadi pimpinan yang membuat KPK menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana diamanatkan undang-undang. Lantas dia menilai kinerja KPK selama ini hasilnya masih biasa-biasa saja.
“Kok lembaga super, kompetensi luar biasa tapi eh hasilnya hanya biasa-biasa,” kata Nawawi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2019).
Nawawi menganalogikan kerja KPK seperti orang yang lari di treadmill. Dari luar lari terlihat kencang, tapi malah lari di tempat. Lebih keras, Nawawi menyamakan kinerja KPK seperti orang mabuk pulang dugem. Berjalan sempoyongan ke kiri dan kanan.
“Kok kinerja kayak orang pulang dari dugem. Orang pulang tengah malam jalan sempoyongan kiri kanan, enggak sampai-sampai,” jelasnya.
Lantas, Nawawi mengutip indeks persepsi Indonesia. Selama kurang lebih 20 tahun, hanya meningkat dari 20 menjadi 38 pada 2018. Dia pun menyoroti umur KPK yang sudah 17 tahun. Seharusnya, kata Nawawi, bisa lebih tinggi indeks persepsi korupsi itu.
“Karena fokus penindakan bukan pencegahan. Baru kita bisa up (naik),” ucapnya.
Selain itu, Nawai juga mengkritik kegiatan operasi tangkap tangan atau OTT KPK yang kerap dilakukan oleh lembaga antikorupsi itu. OTT sendiri merupakan bagian dari penindakan KPK selama ini.
Menurutnya, KPK seharusnya mengedepankan proses pencegahan daripada penindakan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Meski OTT tidak ‘haram’, namun KPK kerap mendahului penindakan baru pencegahan.
“(OTT) bukan barang haram. Tapi ada peran salah bapak ibu dari UU KPK. Di Pasal 6 disebut koordinasi, supervisi, monitoring, tindakan, baru pencegahan. Jadinya, KPK bekerja seperti itu menindak dulu baru mencegah seperti yang bapak ibu susun dalam UU itu,” imbuhnya.
Dia mencontohkan dalam penindakan oknum hakim yang diduga melakukan tindak pidana korupsi atau suap. Menurutnya, KPK seharusnya bisa menghubungi Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, atau Badan Pengawas MA lebih dulu untuk meminta lembaga yudikatif terkait langkah tindakan terhadap oknum hakim itu.
Menurutnya, proses OTT yang dilakukan KPK terhadap oknum hakim di lingkungan MA telah menghancurkan citra MA yang baru mendapatkan apresiasi dari Presiden Joko Widodo.
“Jangan nanti diramein, kami MA sakit juga dengan model begitu. Ketika Presiden apresiasi MA, tiba-tiba dua hari kemudian OTT, sakitlah, jeblok citra MA,” tandas Capim KPK Nawawi Pomolango.