Daily News|Jakarta – Pasukan siber atau cyber troops menjadi alat bagi para elite politik dan elite ekonomi di Indonesia sebagai alat untuk memanipulasi opini publik di media sosial (medsos) guna melancarkan pelbagai kepentingan mereka masing-masing.
Temuan itu merupakan riset kolaborasi yang dilakukan LP3ES, Universitas Diponegoro, KITLV Leiden, Universitas Amsterdam, Universitas Islam Indonesia dan Drone Emprit. Riset ini dilakukan dengan mewawancarai 78 orang ‘buzzer’ atau pendengung selama dua tahun belakangan ini.
“Ada semacam elite politik dan elite ekonomi dan juga seorang dari circle pemerintah yang menggunakan cyber troop. Dan itu bisa muncul dari pemerintah dari parpol. Jadi macam-macam orang yang menggunakan cyber troop untuk membela kepentingan mereka,” kata peneliti KITLV, Ward Berenschot saat memaparkan hasil risetnya, Senin (1/11).
Ward menegaskan bahwa pasukan siber di medsos merupakan ancaman bagi demokrasi di Indonesia. Ia menilai elite politik kerap menggunakan pasukan siber untuk menangkal kritik dan meningkatkan penerimaan publik terhadap kepentingannya.
Sementara itu, kata dia, para elite ekonomi menggunakannya untuk meraih dukungan publik terhadap kebijakan pemerintah yang pro terhadap mereka di media sosial. Seperti upaya revisi UU Cipta Kerja dan revisi UU KPK yang ramai belakangan ini.
“Cyber troops melemahkan debat publik di Indonesia. Mereka menyebarkan info yang tak baik dan berhasil meraih simpati publik yang tak penting, seperti isu KPK dan Taliban,” ucapnya.
Lebih lanjut, Ward menjelaskan cara kerja pasukan siber di Indonesia. Awalnya, tim dan individu yang memiliki kepentingan menjalin kerjasama dengan pasukan siber. Pasukan siber sendiri, kata dia, terdiri dari koordinator, jaringan buzzer, influencer dan pembuat konten.
Koordinator, kata dia, bertugas untuk membentuk pasukan siber. Mereka yang akan memberikan instruksi ke para buzzer apa saja konten yang harus di posting ke media sosial.
Sementara buzzer, lanjut dia, bertugas menyebarkan konten sebanyak mungkin di media sosial untuk membentuk trending topik di media sosial. Bahkan, buzzer bertugas menyerang pihak yang menyuarakan pendapat yang bertentangan dengan tujuan kliennya.
Lalu, pembuat konten bertugas menyiapkan konten, meme, dan tanda pagar (tagar) untuk disebarluaskan oleh buzzer di medsos.
“Kalau influencer ini sosok yang sangat terkenal, aktif di Twitter dan banyak followers. Mereka biasanya bukan anggota cyber troop secara resmi atau terorganisir. Kadang mereka anggota siber troops juga. Mereka biasanya influencer mandiri. Bahwa influencer sering dapat uang dari cyber troop untuk dukung satu calon atau dukung pemerintah,” kata dia.
Ward turut menjelaskan ciri umum pasukan siber di Indonesia tidak terorganisasi. Mereka bekerja secara fleksibel dan dipertemukan hanya sementara untuk tujuan tertentu.
Ia juga menjelaskan bahwa biaya untuk menggerakkan pasukan siber tak murah. Karenanya, ia menilai hanya kelompok tertentu yang memiliki modal finansial mumpuni yang bisa menggunakan jasa mereka.
“Cyber troop ini telah melebarkan ketidaksetaraan politik di Indonesia. Itu menjadi tantangan besar di Indonesia. Karena orang kaya, biasanya elite politik sudah jadi orang kaya. Ditambah dengan cyber troop ini inequality lebih parah lagi,” kata Ward. (HMP)
Discussion about this post