Daily News|Jakarta –Belakangan ini marak penangkapan netizen karena posting yang dinilai hoax. Bahkan tokoh-tokoh KAMI juga ditangkap karena posting mereka di group WA yang dituduh melanggar UU ITE.
Bagaimana aparat keamanan dapat memindai pembicaraan di WA Group yang seyogianya tertutup dari bukan anggota dapat dipindai? Tentu dengan penggunaan program khusus yang dirancang untuk maksud penyadapan.
Seiring dengan penangkapan tokoh-tokoh dan netizen oleh polisi, kini sedang diperbincangkan pembahasan RUU tentang Penyadapan.
Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta agar pembahasan RUU ini kembali dilanjutkan. Dia mengimbau Komisi III DPR mengundang institusi penegak hukum untuk membahas RUU itu.
Salah satu yang menjadi isu adalah siapa yang berhak memberikan izin penyadapan. Dalam buku ‘Penyadapan vs Privasi’ yang ditulis Reda Mantovani, diceritakan detil proses penyadapan di AS, Inggris, Prancis dan Belanda.
Di Amerika Serikat (AS), penyadapan diatur dalam Title III of Ombnibus Crime and Safe Street Act 1968, Foreign Intelligence Surveillance Act 1978, The Pen Register and Trap and Trace Devices Chapter of Title 18 in 18 U.S.C 3121-3127.
“Tindakan penyadapan dalam Title III of Ombnibus Crime and Safe Street Act 1968 harus mendapatkan perintah pengadilan untuk pelaksanaannya,” kata Reda yang dikutip dari bukunya, Jumat (12/7/2019).
Begitu juga dengan aturan lain, semua penyadapan harus seizin pengadilan. Kualifikasi kejahatan yang bisa disadap yaitu dilakukan terhadap kejahatan berat, terhadap kejahatan yang mengancam keamanan negara (oleh intelijen) dan teroris.
Dalam permohonan penyadapan itu, penyadap harus mengajukan permohonan dengan menulis jelas siapa yang akan disadap dan apa tujuannya. Tapi, hal ini bisa saja disimpangi dengan alasan tertentu atau yang dikenal dengan roving taps, meski jumlahnya sedikit.
Namun izin dari pengadilan tetap ada pengecualian yaitu penyadapan bisa dilakukan tanpa menunggu perintah pengadilan.
“Penyadapan atas komunikasi dalam keadaan mendesak,” ucap Reda yang juga jaksa senior di Kejagung itu.
Keadaan mendesak tersebut adalah situasi mendesak yang membahayakan keselamatan jiwa orang lain, aktivitas konspirasi yang mengancam keamanan nasional dan karakteristik aktivitas konspirasi dari organisasi kejahatan. Aktivitas penyadapan ini dilaporkan secara berkala ke pengadilan dan parlemen.
Berbeda dengan AS, penyadapan di Inggris harus memerlukan izin dari The Secretary of State atau The Home Secretary, sebuah organisasi yang bertanggung jawab untuk hukum dan ketertiban Inggris.
Penyadapan ini ditujukan kepada kepentingan keamanan nasional yang bertujuan melindungi dari kejahatan serius, perekonomian nasional atau memberikan efek kepada ketentuan yang mengatur perjanjian bantuan hukum internasional.
“Informasi yang akan dicari tidak dapat didapatkan dengan cara yang lain,” tulis Reda dalam halaman 201.
Sama dengan AS, izin ini tetap bisa disimpangi asalkan dalam situasi tertentu seperti disetujui oleh pihak tersadap, contohnya di kasus penculikan. Semua tindakan ini harus dilaporkan ke pengadilan, legislatif dan masyarakat yang merasa dirugikan.
Bagaimana di Prancis? Penyadapan ini dilakukan dengan dua tujuan yaitu penindakan hukum dan menjaga keamanan nasional. Termasuk pula dalam kategori ini dalam upaya pencegahan terorisme dan kejahatan yang membahayakan warisan ilmu pengetahuan dan ekonomi.
Penyadapan untuk penegakan hukum hanya dibatasi untuk kejahatan yang ancaman hukumannya 2 tahun ke atas. Hal ini diatur dalam Pasal 100 KUHAP yang menyatakan penyidik dapat melakukan perekaman dan penyalinan hubungan korespondensi, termasuk di dalamnya teknik penyadapan telepon (les ecouter telephoniques).
Tindakan penyadapan di Prancis diatur ketat dan harus benar-benar seizin pengadilan. Penyadapan ini diawasi oleh sebuah komisi independen. Anggota komisi ini ditunjuk oleh Presiden Prancis atas usulan Wapres untuk masa jabatan 6 tahun.
“Namun, penyadapan di Prancis ini dinilai rawan dipengaruhi oleh partai politik yang berkuasa,” kata mantan Kejari Jakbar itu.
Di Belanda, telepon mulai dikenal sejak tahun 1880. Pada awalnya, penyadapan dilarang dalam bentuk apa pun. Polisi setempat baru boleh menyadap pada tahun 1971 dengan syarat tertentu. Belanda baru membuat aturan penyadapan terhadap seluruh saluran komunikasi sejak tahun 1993.
Perubahan selanjutnya yaitu munculnya peraturan penyadapan pada tahun 2000, termasuk untuk bugging a keyboard.
Penyadapan ini ditujukan untuk kejahatan serius seperti yang ancaman pidananya di atas 4 tahun penjara, kepentingan intelijen, keamanan nasional dan pertahanan negara. Dalam melakukan penyadapan, penyidik harus mendapatkan surat perintah yang dikeluarkan hakim.
Lalu bagaimana di Indonesia? Aturan penyadapan tersebar dalam 16 UU seperti UU KPK, UU Narkotika, UU Komisi Yudisial (KY), UU Intelijen, UU Telekomunikasi, UU Advokat, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang hingga UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Karena banyaknya aturan tersebut mengatur perihal yang sama, maka menurut Reda perlu dibuat aturan sendiri tentang penyadapan.
Polemik yang mengemuka saat ini adalah ketika penyidik harus meminta izin ke pengadilan yang diatur dalam revisi UU KPK. Dengan banyaknya hakim yang tertangkap KPK karena terlibat korupsi, publik menjadi ganjil dengan usulan RUU tersebut yaitu menyadap harus izin ke pengadilan. RUU Penyadapan diminta Ketua DPR Bambang Soesatyo kembali dibahas oleh Komisi III DPR. RUU itu mengatur apa saja yang bisa disadap, termasuk kepada siapa penyidik harus meminta izin penyadapan.
Dalam RUU Penyadapan, penyadapan dilakukan untuk dibatasi dalam menyidik kasus-kasus sebagai berikut: (1) Korupsi yang menjadi kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia; (2) Perampasan kemerdekaan/penculikan; (3) Perdagangan orang; (4) Penyelundupan; (5) Pencucian dan/atau pemalsuan uang; (6) Psikotropika dan/atau narkotika; (7) Penambangan tanpa izin; (8) Penangkapan ikan tanpa izin; (9) Kepabeanan; dan (10) Perusakan hutan.
“Pelaksanaan Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diajukan secara tertulis oleh Pejabat kepada kepala kejaksaan sesuai wilayah hukum terjadinya tindak pidana. Ketentuan pelaksanaan Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pelaksanaan Penyadapan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh komisi pemberantasan tindak pidana korupsi,” demikian bunyi Pasal 6 ayat 3.
Dalam hal pelaksanaan penyadapan dilakukan terhadap pimpinan instansi penegak hukum pejabat yang memiliki kewenangan terkait dengan materi penyadapan dalam undang-undang ini, permohonan pelaksanaan penyadapan diajukan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Pengajuan permohonan pelaksanaan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis oleh pejabat kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
“Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menyetujui atau menolak permohonan pelaksanaan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan mengeluarkan penetapan atau surat penolakan paling lama 1×24 jam,” ujarnya.
Setelah menerima permohonan dari penyidik, kemudian kajari meneruskan permohonan penyadapan kepada ketua pengadilan negeri. Pengadilan negeri wajib mengeluarkan penetapan penyadapan atas permohonan penetapan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 3×24 jam terhitung sejak permohonan penetapan penyadapan diterima.
“Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyadapan wajib dihentikan dan semua hasil Penyadapan wajib dimusnahkan,” demikian bunyi pasal 12 ayat 3.
Sebelumnya, Komnas HAM meminta DPR mencermati kembali Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyadapan yang masih dalam pembahasan itu. Mereka meminta DPR menganalisis betul, khususnya soal perspektif HAM.
“Sehingga pada prinsipnya pengaturan penyadapan secara lebih komprehensif dan kemudian terfokus pada prinsip dasar berkaitan dengan hak asasi itu menjadi penting ditetapkan. Tentu dalam konteks implementasi sekali lagi, selalu bersinggungan dengan prinsip HAM,” ujar Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Internal Hairansyah. (DJP)
Discussion about this post