Daily News|Jakarta – Nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan seringkali masuk nominasi unggulan di beberapa lembaga survei belakangan ini. Bahkan, acapkali di posisi teratas atau tiga besar bakal calon kandidat Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) mendatang.
Survei terbaru, yang dilakukan Lembaga Charta Politika pada 12 hingga 20 Juli 2021, Anies Baswedan berada di peringkat kedua kandidat calon presiden (Capres) dengan 17,8 persen. Dalam survei itu, elektabilitas Anies Baswedan disebut kuat di DKI Jakarta, Banten, Sumatera, Kalimantan, Papua dan Maluku.
Survei memiliki kecenderungan atau favoritisme, apalagi jika perusahaan survey itu memiliki kontrak komersial tertentu dengan kandidat-kandidat tertentu. Netralitas perusahaan survey is a thing of the past, kata pengamat.
Pengamat politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting Arif Nurul Imam menilai ada dua syarat yang dibutuhkan Anies Baswedan ketika mencari bakal calon wakil presiden (Cawapres) pendamping. “Pertama, yang dapat menambah ceruk pemilih sehingga memperbesar potensi menang,” ujar Arif Nurul Imam kepada SINDOnews, Jumat (13/8/2021).
Kedua, kata dia, Cawapres itu secara kapasitas harus dapat memperkuat Anies Baswedan jika terpilih. “Misalnya soal pertahanan keamanan, ekonomi atau lainnya. Ini tentu perlu dilihat lagi kebutuhan Anies dari sisi memperkuat kinerja,” pungkasnya.
Sekadar diketahui sebelumnya, hasil survei lembaga Indostrategic beberapa waktu lalu menyebut elektabilitas duet Anies-AHY berada di posisi teratas sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Adapun duet Anies-AHY disebut memperoleh 20,25 persen responden dalam survei yang dilakukan pada 23 Maret-1 Juni 2021 dengan total responden 2.400 di 34 provinsi itu.
Calon PKS
Elektabilitas Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di berbagai survei belakangan ini seringkali teratas. Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan salah satu partai yang dekat dengan Anies Baswedan belakangan ini mendorong Ketua Majelis Syuro Salim Segaf Al-Jufri tampil di level kepemimpinan nasional.
Nah, melihat elektabilitas Anies yang acapkali di papan atas, mungkinkah akhirnya PKS mengusung Anies di Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), kemudian mendorong Salim Segaf untuk kursi DKI-1?
Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan dukungan partai politik itu sangat dinamis. “Artinya soal dukungan partai itu semua kemungkinan bisa saja terjadi, bisa mengusung Anies dan bisa juga PKS mengusung yang kader sendiri,” ujar Pangi kepada SINDOnews, Jumat (13/8/2021).
Menurut Pangi, biasanya partai politik itu tetap realistis, yakni mengusung dan mendukung calon yang berpotensi besar menang. “Kan enggak mungkin juga partai mengusung Capres yang kalah, semua partai ingin memenangkan pertarungan dan mengambil alih kekuasaan,” tuturnya.
Sepengetahuan Pangi, tidak ada partai politik yang hanya meramaikan kontestasi, menjadi peserta penggembira atau calon hore. “Ceritanya partai tetap ingin memenangkan kontestasi elektoral dalam pilpres,” ujarnya.
Pangi meyakini PKS tidak mau lagi jagoannya kalah. “Kan capek juga 10 tahun menjadi partai oposisi, partai kering dan puasa. Harus berkuasa tentu harus pintar-pintar memainkan desain strategi,” ungkapnya.
Kemudian, kata dia, untuk bisa berkuasa harus mengusung dan mendukung Capres yang memiliki kans besar untuk menang. Nah, untuk mengukurnya, kata dia, bisa dengan melihat tren hasil survei. “Dalam konteks politik biasanya disebut bandwagon effect, gerombolan perilaku pemilih akan memilih capres yang bakal menang, ngapain memilih calon yang ternyata pada akhirnya nanti kalah,” imbuhnya.
Dia memprediksi PKS tidak memikirkan menang atau kalah, asalkan mengusung kader sendiri. Sebab, PKS dinilai akan mendapatkan coat-tail effect atau efek ekor jas akibat konsekuensi Pemilu serentak pilpres dan pileg. “Otomatis partai yang mengusung kadernya mendapatkan berkah elektoral durian runtuh, kira-kira begitu,” ungkapnya.
Namun, Pangi mengatakan umumnya sebuah partai politik akan memutuskan siapa jagoannya di pilpres dan mengenai koalisi di menit terakhir. “Atau last minute memutuskan calon presiden, ini biasanya juga strategi mengulur agar langkah politik tidak mudah dibaca tim lawan politik, agar tak mudah dipintas desain arsitektur kemenangan sama lawan tanding,” pungkasnya. (DJP)
Discussion about this post