Oleh: Sampe L. Purba*
HITLER inaik takhta sebagai Kanselir Jerman pada 1933. Partai NAZI yang dipimpinnya mendapatkan dukungan penuh rakyat, karena dia berjanji merobek-robek perjanjian Versailles. Salah satu klausul dalam perjanjian yang mengakhiri perang dunia pertama itu adalah bahwa Kekaisaran Jerman bersama Austro Hongaria dan Kesultanan Utsmaniyah Turki harus bertanggung jawab (war guilt clause) terhadap meletusnya perang dunia pertama.
Konsekuensinya sebagian wilayah dan koloninya dilucuti, denda finansial plus pembatasan jumlah dan peralatan militer. Hitler mencampakkan perjanjian Versailles. Sesuai janji kampanyenya, dia membangun industri ekonomi, didukung oleh partai yang loyal dan tentara militan yang kuat.
Pada 1 September 1939, perang dunia kedua nulai meletus pecah di Eropa. Perang ini diawali dengan serangan kilat (blitzkrieg) pasukan NAZI Jerman Hitler ke Polandia. Serangan itu dilakukan, karena Polandia menolak ultimatum Hitler mengembalikan wilayah Danzig yang berbahasa dan berbangsa Jerman.
Jerman dan Soviet seminggu sebelumnya telah menandatangani pakta rahasia tidak saling serang. Sisi Timur Polandia pun diduduki oleh Uni Soviet. Inggeris dan Prancis segera menyatakan perang ke Jerman yang diikuti oleh sekutu masing-masing.
Italia, Spanyol dan Jepang adalah sekutu utama poros Jerman. Sebelumnya, Italia mendapat dukungan penuh Hitler menganeksasi Ethiopia (1935), mendukung Jenderal Francisco Franco Spanyol (1936), serta invasi Jepang ke Tiongkok (1937).
Kampanye perang Jerman ke sisi Barat, Selatan dan Skandinavia berjalan mulus. Jalur logistik dan material pendukung perang dikuasai. Belanda, Belgia, Denmark bertekuk lutut dalam hitungan bulan. Bahkan Jenderal Charles De Gaulle – jawara perang dunia pertama dari Prancis – lari terbirit-birit membentuk pemerintahan pengasingan di Inggeris.
Inggeris yang ketakutan meminta bala bantuan Amerika Serikat. Perdana Menteri Churchill menghadap Presiden Roesevelt (Atlantic Charter, Agustus 1941) namun tidak memperoleh hasil yang signifikan.
Hitler menjelma menjadi sosok diktator yang menakutkan. Jerman yang haus kekuasaan ternyata mengingkari janjinya ke Uni Soviet. Bersama sekutu poros termasuk Finlandia, menyerbu Uni Soviet (Operasi Barbarosa 1941). Ketamakan inilah awal mula kekalahan Hitler. Hitler berperang di dua front. Barat dan Timur.
Uni Soviet adalah Negara besar dengan luas hampir setengah lingkar bentang globe. Di Uni Soviet tidak pernah matahari tenggelam. Soviet – di bawah pimpinan Sekretaris Jenderal PKUS Joseph Stalin – bukanlah pemimpin kaleng-kaleng.
Diapun segera menjalin aliansi dengan blok Sekutu (bersama Inggeris dan Amerika Serikat). Tentara Jerman kewalahan menghadapi dua front sekaligus. Kiev (ibu kota Ukraina, yang waktu itu masuk Soviet) memang berhasil dimasuki tentara Nazi. Tetapi Leningrad dan Moskwa tidak berhasil direbut Hitler. Hampir 70% kekuatan Hitler dikerahkan dalam perang front timur yang berlarut larut selama hampir 3 tahun. Blitzkrieg tidak mempan.
Stalin mengkonsolidasikan tentaranya di Crimea (Laut Hitam) yang sewaktu-waktu akan dikerahkan pada serangan mematikan. Uni Soviet memanfaatkan luas wilayah dan musim dingin yang kejam untuk menghantam balik pasukan Nazi Jerman.
Berbeda dengan Hitler, Jepang yang terikat pakta perjanjian dengan Hitler menepati janjinya. Janji seorang Samurai. Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii diserang pada Desember 1941. Amerika Serikat dibuat sibuk di front Pasifik.
Namun kesalahan Hitler yang berperang di dua front juga diikutinya oleh Jepang menghadapi Soviet di Front Sakhalin – Manchuria. Itu artinya Jepang melawan tiga raksasa sekaligus, yaitu Soviet, China dan Amerika Serikat. Maka tanda-tanda kekalahan Jepang semakin nyata.
Inggeris dan Amerika Serikat membujuk Uni Soviet untuk segera membantu mereka melawan poros Jerman. Stalin bersedia menjadi tuan rumah konferensi selama tiga kali bagi kedua Pemimpin Negara Sekutu tersebut.
Yang pertama di Kedubes Uni Soviet di Teheran Iran (1943), Sekutu meminta Stalin untuk mengintensifkan serangannya ke Jerman. Hal ini dipenuhi Stalin, yang membuka jalan bagi Amerika Serikat dan Inggeris melakukan pendaratan di pantai Prancis Normandia (1944) sekaligus mengembalikan De Gaulle dari pengungsiannya.
Konferensi kedua adalah di Yalta Crimea (Pebruari 1945). Tujuan konferensi ini adalah untuk mengatur tatanan dunia baru Eropa dan Jerman pasca kekalahan poros Hitler Jerman yang diperkirakan tinggal menghitung hari.
Yang ketiga adalah perjanjian Postdam (Juli – Agustus 1945). Postdam adalah wilayah Jerman yang telah dibebaskan oleh Uni Soviet. Dalam perjanjian ini disepakati bagaimana tatanan dunia baru bagi negara yang kalah perang dilakukan. Yang kalah dalam peperangan harus juga diperlakukan dengan baik dan terhormat. Kesalahan perjanjian Versailles 1919 tidak boleh diulang.
Tatanan pasca perang dunia kedua ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Presiden Amerika Serikat H.S Truman (pengganti Roosevelt) dan Perdana Menteri Clement Attlee (pengganti Winston Churchill) mengambil jalan keras terhadap Stalin. Mungkin karena kedua mitra baru Stalin ini adalah new kids on the block, namun chemistry-nya tidak cocok, atau keduanya ingin mengambil jalan berbeda dengan pendahulunya.
Permintaan Stalin agar pemerintah baru di Polandia harus dipastikan berada di tangan orang yang bersahabat dan tidak menggunakan negaranya sebagai pijakan untuk menyerang Uni Soviet tidak diterima. Soviet traumatis pada perang Napoleon dan perang Hitler yang masuk ke Rusia melalui Polandia.
Kemudian, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan. Prancis – yang negaranya diinvasi Jerman serta pemimpinnya mengungsi ke Inggeris didapuk sebagai salah satu anggota Dewan Keamanan.
Lalu, IMF dan Bank Dunia didirikan. Dolar Amerika Serikat ditetapkan sebagai mata uang dunia, sementara suku bunganya mengacu ke sistem perbankan di Inggeris yang disebut LIBOR. Uni Soviet menentang, tetapi tidak dapat berbuat banyak.
Pemulihan pembangunan ekonomi dan infrastruktur disponsori Amerika Serikat (Marshall plan) terutama di negara negara yang memihaknya. Ketegangan ekonomi, politik dan akhirnya eskalasi militer muncul.
Presiden Truman Cs pada tahun 1949 mendirikan NATO dengan sekutu utamanya Inggeris dan beberapa negara lain. Keanggotaan NATO berkembang sedemikian rupa, sejalan dengan doktrin perang dingin yang dicetuskan Presiden Truman.
Sebagai reaksi atas hal tersebut, Uni Soviet beserta sekutu Eropa Timurnya membentuk Pakta Warsawa tahun 1955. Praktis, pasca terbentuknya kedua blok ini, perang dingin dan perlombaan senjata serta pengucilan dan diskriminasi ekonomi kepada blok Soviet terjadi.
Sejarah tampaknya tidak berpihak kepada Soviet – aktor utama pemenang utama perang dunia kedua di blok timur.
Pada tahun 1990 Uni Soviet melemah. Satu per satu 15 republic di Uni merdeka dan melepaskan diri. Pakta Warsawa pun bubar. Negara-negara eks Pakta Warsawa dan pecahan Uni Soviet yang merdeka di sisi Eropa bergabung ke NATO dan ke Uni Eropa.
Rusia ditinggal, menyisakan Belarusia dan Ukraina dalam poros CIS. Walau menyakitkan, sampai titik ini Rusia masih merasa aman, karena negara terdekat di perbatasannya – Ukraina dan Belarusia – masih setia dalam CIS, masih berfungsi sebagai buffer zone (zona penyangga) terhadap penggerogotan NATO.
Pada tahun 2014, satu daerah di perbatasan Timur Ukraina (Donbask – Lubhanks – Crimea) yang penduduknya adalah mayoritas etnis Rusia menuntut otonomi yang luas dari Ukraina. Protes ini – dikenal dengan Revolution of Dignity – mendapat dukungan dari Rusia.
Protes dan kekerasan di mana-mana, termasuk di ibukota Kiev – Ukraina. Hal ini berujung kepada pemakzulan Presiden Viktor Yanukovych yang dianggap militer Ukraina yang dianggap berpihak pada Rusia.
Rusia menganggap pemakzulan Yanukovych tidak konstitusional serta menuduh ada campur tangan dari negara-negara NATO. Rusia menduduki semenanjung Crimea, sementara Donbask dan Lubhank mengalami pergolakan internal, menentang pemerintah pusat Ukraina di Kiyev.
Bulan Mei tahun 2019, Volodymyr Zelensky terpilih menjadi Presiden Ukraina. Zelensky sebelumnya adalah aktor populer di serial televisi servant of the people (pelayan rakyat) yang memerankan tokoh Presiden.
Pria berusia 41 tahun berdarah Jahudi ini segera menarik perhatian dunia. Dalam pidato perdananya di Parlemen, dia memaparkan programnya untuk mendekat Ukraina ke Eropa dan NATO, termasuk mengembalikan Donbas dan Crimea.
Dia menyatakan petinggi pemerintahan sebelumnya menjadi juru bicara Rusia. Untuk itu, dia meminta agar Kepala Keamanan Nasional, Jaksa Agung dan Menteri Pertahanan Ukraina segera dipecat.
Keinginan Zelensky bergabung ke NATO mengusik mbawa gusar Rusia, berdasarkan pengaoam dua perang sebelumnya di wilayah timur menghadapi pemerintah pusat Ukraina. Rusia sadar , apabila negara yang berbatasan tidak kuat dan tidak bersahabat, maka bisa merupakan ancaman serius kepada keamanan dan kepentingan nasionalnya.
Berbagai peringatan diutarakan oleh Rusia dalam berbagai pertemuan, mengirim pesan kepada para pembesar NATO dan Uni Eropa agar mau bersama-sama menata keamanan bersama Eropa. Dari sejak berakhirnya Perang Dingin Rusia telah mengajak barat namun permintaan itu disepelekan barat, terutama oleh Amerika Serikat.
Bukankah pada akhir perang dunia kedua, Soviet, Inggeris dan Amerika Serikat bahu-membahu? Tuntutan Rusia malah diremehkan. Malah, AS mengeluarkan peringatan keras bahwa adalah hak setiap negara mau bergabung ke aliansi mana yang sesuai dengan kepentingan nasionalnya.
Ancaman kedua: apabila Rusia menyerang Ukraina, maka akan menghadapi konsekuensi serius. dari AS.
Pada 24 Pebruari 2022 – Presiden Rusia, Vladimir Putin melancarkan Operasi Militer Khusus dengan mengirim pasukan menyerang jantung pertahanan Kiyev, menjawab AS.
Dalam pidato resminya, Presiden Putin mengatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Rusia beberapa hari sebelumnya mengakui Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk. Selanjutnya Rusia memfokuskan operasi militernya di Donetsk dan Luhansk, atas dalih bahwa rakyat Donetsk dan Luhansk yang meminta bantuan Rusia. Putin mengutip piagam PBB Pasal 51 yang membenarkan membela diri.
Amerika Serikat dan Uni Eropa bereaksi. Berbagai sanksi ekonomi diterapkan. Namun karena Rusia adalah negara kuat, tampaknya sanksi ekonomi tersebut tidak efektif.
Rusia adalah pemasok utama gas ke Eropa, demikian juga dengan gandum dan pupuk yang diperlukan dunia.
Sebaliknya sanksi ekonomi yang diterapkan barat counter-productive, berbalik memukul ekonomi Uni Eropa. Inflasi dan pengangguran meningkat, demikian juga tanggungan beban pengungsi dari Ukraina mulai menimbulkan letupan dan keresahan sosial di negeri-negeri Eropa barat.
Berbagai demonstrasi besar-besaran di kota-kota utama seperti London dan Brussels digelar rakyat yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintahnya.
Perdana Menteri Inggeris Boris Johnson, yang merupakan penyokong utama Amerika Serikat dalam menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Rusia, akhirnya mengundurkan diri pada awal Juli yang lalu.
Skandal dan tekanan ekonomi yang dihadapi Johnson membuat rakyat tidak puas. Perdana Menteri Italia Mario Dragh juga menyusul mundur tiga minggu kemudian. Kita tidak tahu, apa masih ada negeri yang akan menyusul.
Bagaimana dengan Amerika Serikat? Amerika Serikat kelihatannya sangat all-out dalam membantu Ukraina.
Perang Ukraina telah menjadi proxy perang NATO di bawah pimpinan Amerika Serikat melawan Rusia di teater Ukraina.
Maka, dengan sigap Amerika Serikat mengirim gas dan LNG ke Eropa. Tercatat dalam beberapa bulan terakhir ini, angka penjualan gas Amerika Serikat ke Eropa meningkat dua kali lipat. Namun tetap saja hal tersebut tidak dapat mengatasi kekurangan energi di Eropa.
Selain langka dan mahal, ketidak pastian merebak di Eropa. Jerman telah mulai meransum dan menjatah gas ke rumah tangga, pada hal ini sedang masuk musim dingin. Tampaknya Rusia, mengulangi strategi Stalin perang lawan Nazi, memanfaatkan kejamnya musim dingin.
Amerika Serikat dan NATO secara terang-terangan membantu dengan mengirim persenjataan canggih dan kebutuhan militer ke Ukraina. Hingga bulan Juli 2022 nilai persenjataan yang dikirim (baca dijual) Amerika Serikat kepada Ukraina telah bernilai hampir 7 milyar dolar.
Senjata-senjata tersebut meliputi antara lain artileri, sistem senjata anti pesawat udara, sistem senjata anti tank, drone, helikopter, senapan, amunisi dan pelindung tubuh. Namun NATO sangat hati-hati, tidak mau mengirim sistem persenjataan yang dapat menjangkau kota-kota di Rusia.
Amerika Serikat dan NATO sepertinya menguji sistem persenjataannya dengan meminjam pasukan Zelensky. Nabok nyilih tangan, istilahnya.
Sejauh ini, tidak terlihat efektivitas persenjataan tersebut. Bahkan ditengarai sebagian jatuh di pasar gelap, yang rawan digunakan teroris. Perang telah berjalan hingga bulan keenam, daerah Donbansk dan Lubhansk hingga akses ke laut Azov telah sepenuhnya di bawah kendali Rusia.
Garis pantai tersebut menyatu hingga Krimea yang sebelumnya telah diduduki Rusia. Apabila pasukan Rusia ini sukses bergerak maju ke Barat hingga menguasai pelabuhan Odessa di bagian Selatan Ukraina, maka akses Ukraina ke Laut Hitam akan tertutup. Ukraina akan menjadi negara land-locked. Hal ini akan sangat memperlemah sistem logistik, baik untuk keperluan militer, dagang atau keamanan.
Pergerakan pasukan Rusia ke laut Hitam sesungguhnya juga menguatirkan negara-negara lain di kawasan, terutama Turki. Sejarah Turki masuk menjadi anggota NATO di masa lalu (1952) adalah bagian dari strategi menghempang pergerakan (komunis) Uni Soviet yang merangkul Romania dan Bulgaria di pinggiran perbatasan laut hitam masuk ke Pakta Warsawa.
Turki bermain dua kaki. Di satu sisi bersama NATO, namun berkeberatan terhadap masuknya Finlandia dan Swedia. Pada sisi lain menjadi deal maker antara Rusia dan Ukraina.
Presiden Erdogan mengoptimalkan posisi geo-strategisnya sebagai jembatan penghubung Asia ke Eropa Tengah Selatan. Belum lama ini, Turki bersama dengan Iran dan Rusia menjajagi aliansi ekonomi dan strategis.
Rusia dan Iran adalah raksasa energi yang mendapat sanksi dari Amerika Serikat. Sedangkan Turki adalah Negara minus energi. Sebesar 75% kebutuhan energi Turki adalah dari impor. Aliansi Turki, Iran dan Rusia akan membuka akses Rusia ke Eropa Selatan dan Afrika Utara.
Hal ini juga sekaligus akan menempatkan Erdogan sebagai salah satu tokoh jangkar dunia, sebagaimana nostalgia zaman keemasan Kekhalifan Ottoman zaman dahulu. Pengalamannya yang berhasil memediasi keamanan di Afganistan pasca mundurnya Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu merupakan credit point tersendiri.
Sanksi ekonomi yang dijatuhkan Uni Eropa dan Amerika Serikat tampaknya tidak efektif menekan Rusia. Di sisi lain, Rusia erat menjalin kerja sama dengan Negara-negara raksasa ekonomi seperti RRC dan India.
RRC dan India memanfaatkan sanksi ekonomi Eropa dan Amerika Serikat dengan menampung serta menyalurkan minyak, energi dan komoditas Rusia. Rusia bersama India, RRC, Brazil dan Afrika Selatan yang tergabung dalam BRICS, bulan Juni yang lalu mengadakan konferensi tahunan ke 14 di Beijing.
Alih-alih memberikan sanksi ke Rusia, dari 75 butir komunike BRICS tidak satupun yang mengutuk Rusia. Malah forum tersebut dimanfaatkan untuk mendorong peran lebih negara BRICS di PBB.
Amerika Serikat dan sekutu Eropanya tidak senang dengan komunike BRICS di Beijing. Presiden Joe Biden menganggap bahwa ketidak-mauan negara-negara bekerja sama menerapkan sanksi ekonomi ke Rusia adalah seperti memberi amunisi tambahan kepada Rusia dalam perangnya.
Joe Biden pun tidak menutup sanksi dan konsekuensi militer kepada negara-negara yang terang-terangan membantu Rusia di luar kesepakatan bersama.
Amerika Serikat – yang selama ini juga bersaing dengan RRC di Indo Pacific—memberikan ancaman, termasuk opsi meningkatkan eskalasi militer. Amerika Serikat menggunakan Taiwan sebagai pijakannya. RRC dalam konstitusinya mencantumkan bahwa Taiwan adalah provinsinya yang memberontak.
Pengakuan, penguatan dan peningkatan kehadiran secara militer negara lain kepada Taiwan, adalah merupakan permusuhan langsung kepada RRC.
Belum lama ini, Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi mengumumkan akan mengadakan tur di bulan Agustus ke Asia. Pelosi – urutan kekuatan politikketiga dalam konstitusi Amerika Serikat – kemungkinan akan mengunjungi Taiwan.
Hal ini ditentang habis-habisan oleh Presiden RRC Xi Jin Ping. Ini adalah kunjungan politis, bernilai penting sebagai bargaining position di dalam negeri, bagi Pelosi.
Militer Amerika Serikat dan pemerintahnya tidak menghendaki avonturisme AS ke Taiwan namun secara teoretis tidak dapat menghalanginya.
Untuk menjamin keamanannya, seluruh sistem persenjataan yang diperlukan akan dikerahkan ke sekitar Taiwan. Alasan yang sekaligus bagus dan bersimbiosis mutualis dengan kebijakan Presiden Joe Biden. Hal ini tentu akan memantik dan memancing amarah Presiden RRC, Xi Jin Ping.
Xi Jin Ping – yang akan menghadapi Kongres Rakyat dalam beberapa waktu ke depan, ingin menunjukkan bahwa dirinya pantas menjadi presiden seumur hidup di RRC. Di mata militer, para tetua Politbiro dan sekutunya dia perlu tunjukkan sebagai Pemimpin yang taat konstitusi dan tidak akan segan-segan menghadapi persenjataan Amerika Serikat di pelataran depannya di Taiwan. RRC adalah super power ekonomi dan militer di kawasan.
Apabila ini terjadi, maka Joe Biden akan berperang di dua front sekaligus. Front Barat di palagan Ukraina berhadapan dengan Rusia, dan Front Timur di Selat Taiwan – berhadapan dengan RRC.
Walaupun perang Eropa menempatkan Ukraina menjadi proxy, namun tidak menutup kemungkinan bagi militer Amerika Serikat untuk turun tangan langsung di lapangan, sebagaimana pernah dilakukan AS di Vietnam atau di Afganistan di masa lalu.
Akankah kutukan pil pahit yang menenggelamkan Hitler berperang di dua front teater dan kalah akan terulang? Meminjam istilah Dahlan Iskan dalam Disway, Duh Gusti Jagat Bethara Dewa, semoga perang tidak terjadi.
Biarlah damai melingkupi bumi. Tata tentrem kerta raharja.
* Sampe L. Purba, Alumni Universitas Pertahanan