Oleh: Irawan Santoso Shiddiq*
POLITIK menghancurkan taqwa, kata Ian Dallas.
Apa politik dimata Maximilien de Robespierre? Dia bernafsu dengan ambisi politik. Itulah jalan merdeka. Merdeka di mata Robepierre adalah lepas dari kekuasaan Gereja Roma. Karena Eropa berada dalam sebuah liga, Imperium Romanum Socrum. Ini liga dengan aqidah bahwa ‘vox Rei vox Dei’ (Suara Raja Suara Tuhan). Bak mahzab jabariyya.
Tentu Robespierre berambisi membawa Kerajaan Perancis keluar dari liga itu. Menyusul Inggris yang telah lebih dulu. Eropa springs masa itu, membawa pada pertarungan dua aqidah besar: ikut pada jabariyya atau merujuk pada qadariyya. Qadariyya ini baju yang digunakan kaum renaissance. Mereka percaya bahwa “segala sesuatunya perbuatan manusia.” Bukan ‘perbuatan Tuhan.’ Kehendak, dianggap berasal dari manusia.
Jean Jacques Rosseou, panutan utama Robespierre. Kitab Rosseau kerap berada di samping tidurnya. Rosseau menggiring manusia untuk percaya bahwa kehendak, itu domain manusia. Bukan Tuhan. Pengikut Gereja Roma, terdoktrin bahwa penafsir tunggal perihal ‘Kehendak Tuhan” adalah otoritas Gereja.
Tapi filosof dan pendobrak aqidah, Luthern sampai Calvin, membongkar itu. Alhasil terjadi koalisi. Ditambah dibalik layar, ordo bankir memberi donasi. Jadilah perang Eropa berada dalam dua sisi tadi.
Politik menjadi acuan. Ini jalan lain dalam melihat kekuasaan. Karena sebelumnya, kekuasaan itu dianggap sebagai turunan. Raja, dianggap wakil Tuhan. Tentu dengan titah dan petunjuk dari otoritas agama tunggal. Kegagalan barat dalam crusaders, membuat krisis kepercayaan pada otoritas agama.
Rene Descartes mendobrak. Dia memberi ajaran, “cogito ergo sum”. Yang dianggap ‘Kebenaran’ itu buah rasio manusia. Bukan bersumber dari Wahyu. Descartes mengenakan filsafat. Mengutip dari kaum mu’tazilah, masa kala filsafat di-Islam-kan. Renaissance itu ajang filsafat di-Kristen-kan. Hanya berganti baju. Dari mu’tazilah menuju renaissance.
Ghirah mengulas perihal kekuasaan tentu bagian dari filsafat. Karena skolastik hanya mengulas filsafat seputar kosmosentris. Machiavelli memulai. Dia mulai mengkritisi defenisi ‘penguasa’. “Il Principe” berteori, penguasa itu bukan turun temurun, tapi sosok yang mampu merebut dan mempertahankan kekuasaan. Dari Machiavelli, keluar kalimat baru: “lo stato”. Stabil. Dia mengambil dari Bahasa Latin: statum. Lo stato ini dalam English disebut “state”, Belanda/Jerman menuliskan “staat”.
Raja-raja di bawah Imperium Romanum Socrum tentu jengah. Tragedi Massacre de Paris, 1517, makin mewabah protes terhadap otoritas Gereja Roma. Karena Tuhan dianggap “keji” jika mengkehendaki pembunuhan. Massacre de Paris, ribuan pengikut Luthern dan Calvin dihukum bunuh. Karena dianggap pelaku bid’ah. Masa itu, Utsmaniyya dan kesultanan Islam dalam masa jaya. Mercusuar dunia. Dunia barat dalam masa perang saudara.
Dari sana, ghirah membahas “politique” membahana. Muncul lagi doktrin “trias politica”. Montesquei memberi teori baru. Kekuasaan harus dalam checks and balances system. Tak bisa raja tanpa pengendali. Makanya perlu legislative. Dan hadir pula yudikatif, sebagai pengawas hukum. Ini, menurut rasionya, dianggap sebagai idealnya tatanan kekuasaan. Dia mengkritik pola kerajaan monarkhi yang berada di bawah Imperium tadi. Intinya bahwa kekuasaan sepenuhnya ‘kehendak manusia’. Bukan dibawah ‘kehendak Tuhan.’
Setali tiga uang. Jean Bodin juga muncul. Menteorikan tentang soverighnty. Kedaulatan. Raja dianggap harus berdaulat penuh. Tak perlu bergantung pada ‘Kehendak Tuhan.’ Karena manusia memiliki kehendak bebas. Free will. Jadi dari Machiavelli, Montesquei, Bodin sampai Rosseau, mereka ikut pada mahzab ‘kehendak bebas’. Free will. Inilah jalan politik.
Thomas Hobbes pun serupa. Dia membuat anatomi sifat manusia seolah hanya bak “homo homini lupus”. Serigala yang saling memangsa. Karena Hobbes termakan doktrin Artistoteles, manusia sebagai binatang rasional.
Tentu ini doktrin filsafat. Hanya merujuk pada nalar semata. Seolah itulah jalan ‘Kebenaran.’ Hobbes tak membaca Kimiyya al Sa’adah-nya Imam Ghazali. Dia hanya terkagum pada Al Farabi, tokoh mu’tazilah.
Imam Ghazali dengan apik menjelaskan anatomi batin manusia. Karena manusia memiliki tiga sifat: sifat hewan, sifat setan dan sifat Malaikat. Hobbes hanya berteori bahwa “homo homini lupus” itu mutlak. Padahal bukan. Karena manusia bisa juga menggapai sifat Malaikat.
Jika tekun pada ibadah, sebagaimana perintah Wahyu. “Homo homini lupus”, itu terjadi karena cenderung manusia menggunakan nafsu. Disitulah akan berwujud menjadi sifat hewan. Yang saling memangsa satu sama lain. Bak serigala. Hobbes tak utuh.
Begitulah rasio. Tak akan pernah utuh dalam menemukan “Kebenaran.” Martin Heidegger telah memberikan jawaban. “Filsafat mencerabut Kebenaran dari akarnya.” Dia benar. Sebagaimana dulu telah diwanti Imam al Ghazali. Tahafut al Falasifah.
John Locke memang sempat memberi keseimbangan. “Wahyu diperlukan karena akal cenderung bisa salah,” katanya. Sayang teori Locke banyak disimpangkan. Locke masih meyakini tentang ‘Kebenaran Wahyu’. Tapi mahzab “politique” memang diminati.
Padahal masa itu, muncul juga mahzab lain, yang juga penentang Gereja Roma. Mahzab “Monarchomach”. Mereka anti monarkhi. Monarkhi yang bersifat “the king can do no wrong.” Raja seolah tak bisa salah. Karena dianggap ‘Vox Rei Vox Dei’ tadi.
Alhasil banyak raja-raja melampiaskan kesewenangannya, tapi berlindung pada Kebenaran Tuhan. Ini juga ditentang kaum monarchomachen. Bukan sekedar pengikut “politique” tadi.
Theodore Beza, murid John Calvin berada di garis depan pengusungnya. Dia menganggap, kekuasaan tetap berada dalam domain “Kehendak Tuhan.” Tapi polarisasi Imperum Romanum Socrum itu yang harus dievaluasi. Bukan disingkirkan.
Kemudian, pasca tragedy “Massacre de Paris (1517)” tadi, Dupllesis Mornay juga membuat gempar Eropa. Dia pengusung ‘monarchomach’ juga. Bukan pengikut ‘politique’. Mornay menyatakan kekuasaan tetap ranah ‘Kehendak Tuhan.” Bukan kehendak manusia. Karena manusia tak memiliki ‘kehendak bebas’. Sebagaimana doktrin kaum ‘politique.’
Tapi aroma Eropa memang berubah. Krisis pada otoritas agama makin menjadi. Alhasil filsafat makin digilai. Descartes menjadi bak ‘nabi’. Teorinya diikuti. Kebenaran harus mutlak pada rasio. Tak ada “Kebenaran” yang bukan datang dari rasio manusia. Teori ini yang mewabah. Inilah awal modernisme. Dari sanalah ajang pemisahan “negara dan agama” makin menjadi. Itulah yang digemboskan kaum “politique”.
Makanya politik tak membenarkan agama berada dalam lingkaran penentu kekuasaan. Karena sepenunya percaya “kehendak bebas” tadi.
Goethe telah mengingatkan. Tentang bahayanya berpikir “kehendak bebas”. Karena Goethe meyakini, segala sesuatunya berasal dari Tuhan. Goethe bilang, tumbuhan, baik ranting, daun, akar, cabang, maka itu disebut sebagai tumbuhan. Bukan terpisah dari induknya. “Free will” menganggap, Gerakan jari berbeda dengan jari.
Imam Ghazali telah membantah ini. Air dipanaskan oleh api muncul uap, ini tetap ‘Kehendak Tuhan.’ Kaum rasionalis, menganggap lahirnya “uap” sebagai buah dari “kehendak bebas”. Salah kaprah.
Disitulah Robespierre kena batunya. Massacre de Paris (1789) terjadi lagi. Kali ini kaum pengikut ‘kehendak bebas’ membantai kaum ‘Kehendak Tuhan.’ Genosida terjadi. Pengikut Gereja dan Raja dibantai.
Disitulah yang disebut ‘liberte, egalite, fraternite.’ Liberte, artinya merdeka dari ‘Kehendak Tuhan’. Manusia merasa memiliki ‘kebebasan’ dalam mengatur alam dunia ini. Termasuk menentukan ‘penguasa’. Maka dilakukannya election (pemilihan). Ini bagian dari ‘kehendak bebas’ tadi.
Sekilas, Robespierre merasa menang. Karena berhasil menggantung symbol ‘pengikut Tuhan’. Raja Louis XVI digantung. Dianggap ‘Tuhan tak hadir’. Pertanda ‘kehendak Tuhan’ tak ada. Tapi Tuhan berbicara dengan cara lain. Robespierre dikudeta oleh Napoleon Bonaperte. Itu tak disangkanya. Itu diluar ‘kehendaknya’. Karena Napoleon didukung kaum bankir. Inilah penguasa liga baru.
Setelah raja-raja dikudeta, lepas dari otoritas agama, kaum bankir ini yang mengambil alih. Makanya ‘politique’ tampak kegagalannya.
Kudeta terhadap Robespierre ini membuatnya merana. Pun demikian terjadi pada Napoeloen juga. Telah mengabdi pada kaum bankir setengah mati, dia ujungnya mati di Pulau Elba. Naas. Karena hukum –berlandas nalar bisa dibuat sesuka hati. Tergantu siapa penguasa, yang berdasar kehendak manusia tadi.
Hillaire Belloc berkata, penguasa adalah sesiapa yang mengendalikan harta. Selepas mahzab “politique” Berjaya, maka kaum bankir inilah yang menjadi penguasa. Mereka mengendalikan uang, disetiap negara-negara. “Kalian boleh menjadi presiden, raja-nya, tapi aku yang mengatur uangnya,” kata Rotschild.
Bukankah terlihat bagaimana lemahnya ‘kehendak manusia’? Karena nalar bisa disalahgunakan. Seperti pesan Locke tadi.
Disinilah Robespierre salah total. Dia memaknai “freedom” sebagai jalan keluar dari agama. Pemisahan agama dan pemerintahan. Agama dianggapnya tak layak mengatur kekuasaan. Lantas kekuasaan diatur kaum rasional.
Tak sampai tiga abad, teori-nya terbantah sendiri. Karena dia digulingkan sedemikian gampang. Penguasa –berlandas free will bukan yang perlu memiliki rasio. Tapi yang mengabdi pada ‘kaum bankir’. Dan itulah Hasrat yang berkuasa, will to power, sebagaimana kata Nietszche. Hasrat itu dipenuhi oleh nafsu syahwati. Dan itulah wajah homo homini lupus sepenuhnya. Jika manusia tunduk pada ‘nalar’ semata.
Dengan eliminasi Kehendak Tuhan, manusia terjerambab bak hewan. Saling berebutan. Padahal kaum bankir yang otoritas berkuasa. Mereka yang mengatur uang, mengendalikan kekayaan suatu negara.
Adam Smith mengatakan, negara yang sehat, dilihat dari kekayaannya. Lihatlah modern state kini. Tak ada satupun negara yang sehat. Karena kekayaan hanya diutangi oleh kaum bankir. Ini fakta kegagalan ‘politique’.
Karena modern state bekerja untuk bankir. Bukan untuk rakyatnya. Rakyat, hanya bagian dari sapi perah, untuk membayar utang pada bankir. Napoleon, telah membuktikan itu. Kala dia melawan, dia langsung dibuang. Itulah “politik” yang sejati.
Maka, Kehendak Tuhan, mutlak inilah jalan kembali. Seperti kata Ian Dallas tadi, “politik mengancurkan taqwa.” Karena politik, memisahkan negara dan agama. Inilah kesalahan rasio manusia.
* Irawan Santoso Shiddiq SH, Direktur Eksekutif Mahkamah Institute