Oleh: Asruchin Mohamad*
Tanggal 27 Agustus 2009 merupakan hari penantian yang mendebarkan. Hari itu Komisi I DPR-RI melaksanakan ‘Fit and Proper Test’ atau Uji Kelayakan dan Kepatutan terhadap 22 Calon Duta Besar RI untuk negara-negara sahabat. Saya adalah salah satunya, dicalonkan sebagai Duta Besar LBBP untuk Uzbekistan, merangkap Kazakhstan, Kirgizstan dan Tajikistan.
Saat Ketua Komisi I saat itu, Theo Sambuaga membuka sidang dan mempersilahkan untuk menyampaikan Visi dan Misi, saya dapat menyampaikannya dengan mantap, namun ketiika dibuka Sesi Tanya-Jawab terasa sedikit grogi, khawatir ada pertanyaan di luar substansi. Kekhawatiran saya ternyata terbukti. Pertanyaan satu-satunya yang muncul adalah: ‘…meminta Pak Dubes untuk menemukan istri Guruh Sukarnoputra di Uzbekistan’.
Guruh memang tercatat pernah menikah tahun 2002 dengan seorang penari asal Uzbekistan bernama Sabina Guseynova. Namun pernikahan tidak berlangsung lama, Sabina kembali ke Tashkent untuk melanjutkan profesinya sebagai penari. Mengenai pertanyaan tentang Sabina, tidak lain ingin menyatakan bahwa Uzbekistan identik dengan wanita cantik.
Tidak salah memang, belum genap seminggu tiba di Tashkent, saya diatur untuk makan malam di ‘Bahor Restaurant’. Keistimewaan Resto Bahor serta beberapa restoran di Tashkent lainnya adalah menyuguhkan makanan serta pertunjukan tari-tarian.
Ketika menyaksikan berbagai jenis tarian Eropa dan Asia, saya teringat pesan anggota DPR untuk menemukan Sabina, tetapi sepertinya sulit karena postur fisiknya hampir sama: tinggi, langsing, berkulit putih, dan semuanya cantik. Masih ingat pemain voli cantik asal Kazakhstan bernama Sabina Altynbekova? Seperti itulah rerata kecantikan para penari di Uzbekistan.
Daya tarik yang lebih riil di Asia Tengah adalah posisinya sebagai ‘cross-road’ yang menghubungkan daratan Asia dan Eropa, sehingga menjadi incaran kekuatan-kekuatan besar untuk mengontrolnya baik sebagai jalur transit dan lintasan maupun wilayah taklukan. Sejak era kalender Sebelum Masehi wilayah tersebut telah menjadi jalur perlintasan perdagangan antara China dan Benua Eropa.
Pasukan-pasukan bersenjata seperti bangsa Turkic, tentara Iskandar Agung dari Macedonia, kafilah bangsa Arab, tentara Mongol, kekaisaran Tsar Rusia dan terakhir Tentara Merah Uni Soviet pernah datang dan menguasai daerah ini. Di akhir abad ke-20 wilayah Asia Tengah menjadi ‘gadis yang makin sexy’ ketika terdeteksi memiliki deposit minyak dan gas bumi yang sangat besar, bahkan melebihi deposit minyak di Timur Tengah, disamping kandungan sumber daya alam mineral yang berharga lainnya.
Oleh karena itulah negara-negara di Asia Tengah kini menjadi rebutan kekuatan-kekuatan besar China, Rusia, Eropa dan Amerika Serikat sebagai sumber energi serta mitra potensial untuk kerjasama ekonomi-bisnis dan investasi.
Sejarah kejayaan di masa lampau
Kawasan Asia Tengah dengan titik sentralnya wilayah Negara Uzbekistan (sekarang) merupakan jantung lintasan ‘Silk Road’ atau Jalur Sutera, dan ‘cross-road’ (persimpangan) penting penghubung Benua Asia dan Eropa. ‘Silk Road’ yang merupakan lintasan perdagangan antara Asia (Cina) ke Eropa (Roma) dan Timur Tengah sudah mulai terbentuk sejak Dinasti Han (202 SM – 220 M).
Saat itu kekaisaran di China ingin memperdagangkan produk sutera yang melimpah di wilayah kekuasaannya untuk dibarter dengan produk dari daratan Eropa seperti emas, perak, gading wol, obat-obatan, minyak wangi, batu mulia, kaca serta barang-barang dari logam. Makin populernya bahan sutera dengan berbagai macam kegunaannya yang kemudian memunculkan istilah Silk Road (Jalur Sutera) di sepanjang rute perjalanan Caravan pengangkut sutera.
Jalur Sutera selain sebagai lintasan dagang juga sekaligus menjadi tempat bertemunya berbagai budaya, agama, adat-istiadat serta berkembangnya ide-ide besar menuju peradaban modern. Peran penting dalam peradaban dunia itulah, maka pada tahun 1987 UNESCO (UN Educational, Scientific and Cultural Organization) meresmikan pembentukan suatu proyek yang disebut ‘the Silk Road is a Road of Dialogue’.
Sebagai ‘Center of Civilization’ di Asia Tengah, Uzbekistan memiliki obyek-obyek wisata bersejarah berupa bangunan-bangunan kuno seperti museum, monumen, madrasah, masjid, benteng pertahanan dan komplek pemakaman. Dengan adanya kekayaan budaya yang tak ternilai di Uzbekistan, maka sejak tahun 1990-an UNESCO menetapkan 4 (empat) kota yaitu Samarkand, Bukhara, Khiva dan Syahrisabz sebagai World Heritage Sites.
Bumi Uzbekistan dan wilayah Asia Tengah pada umumnya merupakan tempat lahir dan berkembangnya para ilmuwan pengetahuan umum maupun ulama-ulama kaliber dunia. Mereka hidup pada rentang waktu mulai abad 8 sampai 13.
Tokoh-tokoh besar dunia di bidang agama adalah: Imam Bukhari, Imam Tirmidhi, Naqsahbandi, Zamakshari, Samarqandi, serta ilmuwan kaliber dunia seperti: Ibnu Sina (kedokteran dan pengobatan), Al-Khorazmi (geografi, matematik yang menemukan angka 0), Al-Farghani (aritmatik, geografi dan astronomi), Rayhan Beruni (geodesi dan astrologi). Para ilmuwan dan ulama besar tersebut diantaranya menggunakan nama tempat kelahirannya sebagai nama belakang, seperti Samarqandi, Bukhari, Tirmidhi, Khorazmi, Farghani, yang sampai sekarang masih menjadi nama-nama kota/tempat di Uzbekistan.
Seorang tokoh pemerintahan yang kini dijadikan pahlawan besar Uzbekistan bernama Amir Temur. Dia adalah pribadi luar biasa perpaduan antara panglima perang, negarawan, politisi, ekonom, budayawan dan sekaligus pembangun peradaban Islam khususnya di Asia Tengah dan wilayah taklukannya.
Bagi sejumlah sejarawan Barat, ia digambarkan sebagai penguasa bengis dan tiran/diktator, tapi bagi Uzbekistan Amir Temur dijadikan sebagai simbol kejayaan bangsanya yang dilambangkan dengan patung-patung besar serta museum mengenai perjalanan hidup dan kebesarannya. Amir Temur memulai karirnya sebagai tentara pasukan Mongol di Asia Tengah, kemudian memisahkan diri dan membangun kekaisarannya dari Afghanistan-Uzbekistan pada tahun 1370, dan secara bertahap meluaskan kekuasaannya dari wilayah Asia Tengah, Caucasus (Armenia, Azerbaijan dan Geogia), Iran, Irak, Suriah, Pakistan, India, Rusia dan puncaknya pada tahun 1402 mengalahkan Sultan Bayazid dari Dinasti Ottoman. Usaha terakhir untuk menaklukkan Kaisar Ming dari China terhenti bersama dengan kematiannya di tengah perjalanan ekspedisi pada awal tahun 1405.
Bubarnya Uni Soviet tahun 1991 segera diikuti oleh munculnya negara-negara baru termasuk yang berada di kawasan Asia Tengah, yaitu Kazakstan, Kirgizstan, Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan. Ke-lima negara ‘Stan’ memiliki kesamaan dalam segi agama (mayoritas Islam), suku bangsa (Turkic), budaya, sejarah, sistem pemerintahan otoriter warisan Uni Soviet, sumber energi melimpah, dan lokasi geografis strategis. Dua faktor terakhir yaitu sumber energi dan letak geografis telah menjadi medan magnit terbentuknya persaingan negara-negara Superpower ke dalam arena ‘New Great Game’.
Pada akhir abad ke-19 telah terjadi perebutan daerah strategis di Asia Tengah khususnya wilayah Afghanistan antara Imperium Inggris dan Tsar Rusia dalam upaya mengamankan daerah koloni yang telah dikuasainya, masing-masing jazirah India dan wilayah Asia Tengah. Pertentangan dua kekuatan besar kala itu dikenal dengan istilah ‘Great Game’.
Potensi masa kini dan mendatang
Tidak ada yang kebetulan apabila para ‘pemuda gagah berotot’ mulai mengerubuti ‘gadis nan sexy’. Mereka adalah Amerika Serikat, Rusia, China, Uni Eropa, India, Iran, Pakistan dan Turki. Sejalan dengan isi buku Zbigniew Brzezinski ‘The Grand Chessboard’ yang menyebutkan bahwa “control of Eurasian landmass is the key to global domination and control of Central Asia is the key to control of Eurasian landmass….”, maka pentas New Great Game yang sengit terjadi terutama antara 3 (tiga) Superpower AS-Rusia-China di Asia Tengah tidak terlepas dari upaya mereka dalam memetakan geostrategis baru dunia sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Di pihak lain, lima negara ‘Stan’ ini dengan kekayaan alamnya terutama kandungan minyak dan gas serta tambang mineral lainnya ditambah dengan posisi strategis-historisnya dapat berperan penting dalam ikut menentukan Tata Dunia Baru, terutama di wilayah sekitar Asia Tengah.
Pada November 2010, Prof Stephen Blank dari Army War College AS merinci tujuan dari 3 (tiga) negara Adi Kuasa tersebut masing-masing adalah: AS bertujuan untuk memenangkan ‘war on terror’ terutama di Afghanistan, mencegah dominasi kekuasaan Rusia maupun China, mencegah munculnya kekuatan Islam fundamentalis, akses ke sumber energi, dan mencari peluang menjajakan sistem demokrasi.
Berikutnya tujuan Rusia adalah: perlunya menjaga stabilitas dari ancaman terorisme, mempertahankan status-quo kekuasaan wilayah bekas unitarinya, mengusakan tetap berlangsungnya sistem pemerintahan otoriter, dan melakukan pengaturan ketat terkait pemasaran energi.
Sementara kepentingan China adalah: dicegahnya saling pengaruh antara kelompok Asia Tengah dan China (Xinjiang-Uighur), diciptakannya zona yang stabil dan damai sekitar China, prihatin terhadap potensi kemanan oleh fundamentalis Islam, meningkatkan pengaruh politik dan ekonomi, serta menggantikan peran Rusia dalam peran ekonominya di Asia Tengah.
Ada satu persamaan kepentingan ketiga Superpower tersebut, yaitu terciptanya stabilitas, memerangi ancaman terorisme serta penyelundukan senjata dan obat bius yang kesemuanya diantisipasi datang dari wilayah Afghanistan. Adapun perbedaan atau bahkan pertentangan kepentingan mereka jauh lebih dominan.
Jika diperhatikan tingkat kemajuan ekonomi serta sosial-politik dan kepentingan nasional masing-masing, lima negara Asia Tengah ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan yang lebih makmur dan maju, serta kelompok lainnya adalah Kirgizstan dan Tajikistan yang lebih miskin dan oleh karenanya relatif kurang maju.
AS yang kehadirannya di Asia Tengah selain untuk mencegah kelompok radikal, juga secara terselubung ingin menggeser pengaruh Rusia dan China di wilayah tersebut. Sebaliknya Rusia dan China dapat mengesampingkan untuk sementara perbedannya dalam menghadapi AS.
Perhatian utama Rusia di Asia Tengah adalah masalah keamanan serta mencegah hegemoni AS dan Barat, terlebih dengan adanya perluasan NATO dan EU (European Union) di sana. Dalam menghadapinya, Rusia membentuk aliansi militer CSTO (Collective Security Treaty Organization), dan di sektor ekonomi mendirikan EAEU (Eurasian Economnic Union).
Kedua organisasi ini selanjutnya dikerjasamakan dengan SCO (Shanghai Cooperation Organization) yang dimotori oleh Rusia dan China dengan anggotanya negara-negara Asia Tengah, sebelum kemudian berkembang dengan menambah anggota dari negara-negara kawasan lainnya. Sementara China menggunakan strategi ‘Soft Power’ kerjasama di bidang ekonomi dan investasi melalui program BRI (Belt and Road Initiative). China merupakan salah satu sumber utama dalam mengalirnya FDI (Foreign Direct Investment) maupun pembangunan infrastruktur di wilayah Asia Tengah.
Bulan Oktober 2013 Presiden China Xi Jinping berkunjung ke Kazakhstan sambil meluncurkan SREB (Silk Road Economic Belt), yaitu program jaringan konektivitas BRI (Belt Road Initiative) jalur darat sebagai tandem dari MSR (21st Maritime Silk Road) yang merupakan BRI jalur laut.
Dalam pelaksanaan program SREB, China menggelontorkan dana awal sebesar US$ 40 milyar untuk pembiayaan pembangunan rel kereta, jalan raya, pelabuhan serta jaringan pipa gas yang membentang dari Laut Kaspia ke Xinjiang-Uighur. China juga menyiapkan sumber pendanaan tambahan yang dibutuhkan melalui pendirian AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank) dan BRICS New Development Bank yang berpusat di Shanghai.
Bersinergi dengan organisasi SCO (Shanghai Cooperation Organization), China nampaknya paling agresif dalam melancarkan gerak diplomasi melalui kerjasama ekonomi dan investasi untuk memenangkan persaingan di Asia Tengah. Menlu China Wang Yi ketika me-review 3 (tiga) dekade interaksi China-Asia Tengah telah menggambarkan makin dekatnya hubungan kedua pihak dengan istilah “saling membantu dalam menghadapi berat dan ringannya (tantangan)”.
Negara-negara Asia Tengah menganggap China sebagai alternatif potensial dalam mencari suntikan investasi untuk pembangunan infrastruktur serta pengolahan sumber alamnya. Di pihak lain China yang melihat Asia Tengah sebagai tetangga dekat yang potensial dapat dimanfaatkan untuk secara bersama menciptakan situasi keamanan yang kondusif sebagai prasyarat bagi wilayah ‘Stan’ serta China sendiri untuk melakukan ekspansi kerjasama bisnis dan investasi serta selanjutnya menanamkan pengaruh politik dan diplomatiknya di wilayah tersebut dan dunia internasional pada umumnya.
Untuk itulah China menerapkan kebijakan khusus terhadap masing-masing negara sesuai dengan kondisinya. Terhadap Tajikistan yang paling minus sumber daya alam, China memberikan ‘grants’ atau hibah, terhadap Kirgizstan dan Uzbekistan ditawarkan investasi dalam bentuk ‘loans’ atau bantuan lunak, sedangkan kepada Kazakstan dan Turkmenistan yang kaya sumber alam dan lebih makmur diterapkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan.
Menghadapi ofensif diplomasi ‘Soft power’ China tersebut, terdapat 3 (tiga) kategori derajat hubungan negara-negara ‘Stan’ dengan China.
Kategori pertama ditempati oleh Uzbekistan dan Kazakhstan yang menerapkan hubungan baik dan seimbang dengan kekuatan Superpower China, Rusia serta Barat khususnya Amerika Serikat. Kategori berikutnya dihadapi oleh Kirgizstan yang lebih mementingkan hubungan luar negerinya dengan China karena terikat hutangnya sebesar US$ 5 milyar, 40 persen diantaranya dari Bank Expor-Impor China guna membiayai proyek-proyek infrastruktur.
Adapun Tajikistan dan Turkmenistan merasakan mereka sangat tergantung dengan China dalam kerjasama ekonomi dan investasi pembangunan infrastruktur. Sekitar 80% ekspor Kirgizstan, Tajikistan dan Turkmenistan dibawa ke China, sementara 90% total ekspor gas Turkmenistan ditujukan ke China yang menjadi investor utama pembangunan tiga pipa gas dari Asghabat (ibukota Turkmenistan) menuju Khorgos, kota di wilayah Xinjiang yang berbatasan dengan Kazakhstan.
Bagaimanapun juga paket investasi China 3-M ‘money, men, material’ atau ‘modal, manusia/pekerja, material’ telah menjadi bomerang upaya ‘Soft Power’ China untuk dapat memenangkan ‘heart and mind’ (hati dan pikiran) rakyat dari lima negara ‘Stan’.
Jajak pendapat oleh ‘Central Asia Barometer’ tahun 2020 menyuguhkan data mengenai berkembangnya kecurigaan rakyat di Asia Tengah terkait dengan terus meningkatnya kehadiran orang-orang China dan mulai mempertanyakan motif China di balik investasi ke negara mereka. Tingginya perbuatan korupsi di negara-negara Stan juga telah memantik tumbuhnya ‘anti China’ dari rakyat di wilayah tersebut.
Rakyat Tajikistan menuduh bantuan besar China ke negaranya telah menjadikan Presiden Emomali Rahmon makin otoriter. Kantor ‘Risks Management Group’ di Nur-Sultan menilai bahwa para pengusaha China cenderung mengadaptasi dengan praktek korupsi yang mendorong merebaknya sentimen anti China di Kazakhstan. Di Kirgizstan telah terjadi 3 kali ‘Revolusi Rakyat’ menggulingkan penguasa yang terlibat korupsi praktek KKN. Terkait hal ini, Uzbekistan dan Kazakstan bersama Kirgizstan telah membuka pintu seluas-luasnya dalam menarik investasi asing terutama dari AS dan negara-negara Eropa.
* Asruchin Mohamad, Dubes RI untuk Uzbekistan, merangkap Kazakhstan, Kirgizstan dan Tajikistan, 2010-2014
Discussion about this post