Ahad, 12 September 2021 pukul 19.30 sd 22.00 WIB, PKAD mengundang saya untuk menjadi salah satu Nara Sumber diskusi dengan tema ‘Amandemen Konstitusi, Referendum Rakyatlah Yang Berdaulat’. Dalam diskusi tersebut, Mas Prihandoyo Kuswanto dari Rumah Pancasila menjadi Keynote Speakernya.
Sementara itu, Prof. Dr. Soffian Effendi, B.A., M.A., M.P.I.A., Ph.D., Prof. Daniel M. Rosyid Ph.D., Prof. Dr. Suteki M.Hum., Drs. HM. Hatta Taliwang, M.I.Kom., Ir. Bagus Taruno Legowo dan dr. Zulkifli S. Ekomei diundang juga sebagai pembicara. Rasanya, diskusi ini akan menjadi ajang nostalgia.
Sudah lama, saya tidak ketemu dengan Mas Pri, Prof Suteki, Prof Daniel, Bang Hatta. Dulu sebelum ada pandemi, saya rutin diundang teman-teman PKAD diskusi di Jawa Timur, dan bertemu dengan mereka.
Khusus Bang Hatta, pertemuan hanya terjadi sebatas rasa kopi Taliwang. Ya, Bang Hatta pernah mengirim kopi khas Taliwang, dan belum sempat ketemu langsung.
Maniak Catur yang satu ini, adalah aktivis Gaek yang sudah lama malang melintang di dunia percaturan. Eh maaf, dunia pergerakan maksudnya. Sudah pernah ngantor di Senayan juga dulu.
dr Zul, hehe aktif diskusi di GWA. Belum pernah ketemu, tapi konon menurut hikayat beliau ingin ketemu saya, begitu juga saya. Rasanya, saya sudah tidak tahan memendam rasa ini. Oh Tuhan, tolonglah…ah sudahlah.
Untuk Prof Sofian dan Ir Bagus, salam Ta’lim. Sepertinya, ini kali pertama saya akan diskusi dengan beliau.
Ingat Jawa Timur, terutama ingat Host kita Cak Slamet Sugianto, jadi ingat Durian Perlawanan. Rasanya, sudah terlalu lama kami tidak menikmati durian perlawanan di Jawa Timur.
Menurut Kabar yang sahih, sudah ada Tokoh Jatim yang siap menyembelih Kambing kalau saya berkunjung ke Jawa Timur. Namun sayang, saya masih ‘terbelenggu’ urusan dunia di Jakarta. Gugatan Presiden, Gugatan DPR, amanah sejumlah Klien, membuat saya belum bisa meluangkan waktu untuk datang ke Jawa Timur dan membuktikan kabar keberadaan masakan kambing di sana.
Sejenak membahas tema, memang terlalu lebai alasan amandemen oleh MPR dengan dalih adopsi PPHN. Tanpa PPHN, konstitusi yang dirancang oleh Founding Fathers kita telah lengkap memuat visi misi dan arah tujuan berbangsa. Keliru, pernyataan Bambang Soesatyo yang menyebut Indonesia belum punya visi misi, belum punya arah, belum punya Kompas untuk mengarahkan kapal yang bernama bangsa Indonesia.
Saya beri contoh sederhana, konstitusi telah memberikan visi pengelolaan SDA dan sumber energi. Dalam ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 disebutkan :
“Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”
Berdasarkan pasal ini, tidak ada tafsir lain selain negara harus mengelola SDA dan sumber energi, untuk kemaslahatan rakyat. Bukan diserahkan kepada swasta, apalagi asing dan aseng.
Tapi nyatanya, DPR justru mengeluarkan UU No 3/2020 yang merevisi UU No. 4/2009, yang dampaknya kekayaan alam dan tambang khususnya minerba menjadi dikuasai swasta, asing dan aseng.
Praktik seperti ini, bukan karena butuh kompas, butuh PPHN, butuh visi misi yang diadopsi melalui TAP MPR. Tetapi butuh ketaatan pejabat penyelenggara negara pada konstitusi. Soalnya, bukan pada kebutuhan amandemen tetapi kebutuhan ketaatan pada konstitusi.
Anggota MPR tempo dulu cukup tahu diri, ketika mengeluarkan TAP MPR No. IV/1983 Tentang Referendum. Mereka menginsyafi, UUD 1945 adalah karya agung Bapak Bangsa. Sehingga, MPR tidak berwenang melakukan amandemen tanpa melibatkan rakyat.
Entah apa yang melatarbelakangi pencabutan TAP MPR ini, sehingga amandemen dialihkan dari wewenang rakyat menjadi wewenang MPR dengan menggunakan norma pasal 37 UUD 1945. Padahal, siapa mereka yang duduk di MPR ? Apakah mereka lebih hebat dari Bapak Pendiri Bangsa sehingga sok pintar kutak katik konstitusi ? Apakah mereka lebih memiliki legitimasi ketimbang rakyat, sehingga merampas hak rakyat terkait amandemen dari mekanisme referendum ?
Saya tidak mau terlalu jauh, tapi jika mau amandemen, agar tidak ditumpangi misi tiga periode atau penambahan masa Bhakti presiden hingga 2027, sebaiknya amandemen diserahkan kepada Referendum Rakyat. Selain ide kembali ke UUD 1945 sebagaimana digaungkan oleh Mas Pri, Bang Hatta dan dr Zul, saya mohon izin untuk menawarkan Khilafah sebagai opsi dalam referendum. Selanjutnya, biarlah rakyat yang menentukan pilihannya