MUSIBAH datang tanpa diperkirakan. Aku masih ingat kejadian hampir dua
tahun yang lalu. Ketika aku tidur sore di hari Minggu ini, isteriku berteriak:
“Ayah, tetangga depan rumah kebakaran, bangun.. bangun!”
Aku lompat dari tempat tidur, bercelana pendek bergegas ke luar rumah. Di
depan rumah penduduk sudah ramai berteriak-teriak menunjuk ke sebuah
rumah, di sebelah kiri rumah tetangga di depan rumahku.
“Telpon blomwir..,” jerit warga. Maksudnya ‘brandweer’ istilah Belanda untuk
pemadam kebakaran.
“Allahu Akbar..,” dan warga ada yang adzan. Yang lain kebingungan. Tidak tahu
mau buat apa. Sebagian kita pasrah, bersiap untuk memitigasi bencana. Tentu,
nyawa lebih diutamakan daripada harta benda.
Aku melihat asap membubung. Sepertinya dari arah rumah baru dibangun milik
etnis Tionghoa di depan rumah. Tetapi, ternyata dari sebelah kirinya. Api
menjilat-jilat. Tetanggaku panik. Kami juga sempat panik. Aku waspada, bersiap
memindahkan mobilku yang memang biasanya kuparkir di depan rumah.
Di jalan searah di depan rumahku didaerah Cikini itu memang kebanyakan
rumah milik etnis Tionghoa dan sebagian Arab. Rumah-rumah tetanggaku di
sekitarku memang didominasi etnis keturunan Tionghoa, sebagaimana tetangga
di depan rumahku dan rumah yang sedang terbakar. Rumah tetangga di depan
rumahku itu baru dibangun. Mereka waspada, dengan mudah api menjalar ke
rumah mereka. Warga di kampung membantu mereka. Mereka bergegas
mengangkat 2 tabung gas dari dapur dan dititipkan ke rumah.
Segera beberapa pemuda di kampung Cikini ini bergerak memasang mesin
pompa air dari sumur bor di bawah pohon lengkeng di depan rumah . Tidak
lama airpun memancar dan dihubungkan dengan selang sepanjang 50 meter.
Para pemuda kampung etnis Betawi ini —ada beberapa anggota
FPI—berinisiatif terjun memadamkan api. Tanpa masker. Heroik. Sebagian
pemuda Betawi berjaga-jaga, jangan sampai ada yang mencari kesempatan di
tengah kesempitan, seperti sering terjadi di lokasi kebakaran.
Kami warga hanya mampu menonton. Sebagian adzan dan berteriak Allahu
Akbar, memohon pertolongan Allah bagi warga etnis Tionghoa yang terancam
kebakaran. Tetangga Tionghoa mengizinkan para warga di kampung memasuki
rumah mereka untuk membantu pencegahan api meluas ke rumah-rumah di
sekitar sumber api.
Dulu kuingat Ketua RT pernah memintakan bantuan kami untuk membuat
sumur bor di depan rumah. Katanya, ada bantuan mesin dan selang panjang,
dari Kelurahan, tetapi tanpa dana untuk membuat sumur. Isteriku bilang, kita
siap urunan membiayai pembuatan sumur. Berapa saja dana terkumpul, nanti
kekurangannya dari kami. Akhirnya sumur bor itu dibuat.
Bukan hanya untuk kepentingan kami memperoleh bantuan pertama, sebelum
brandweer, pemadam kebakaran tiba. Tetapi unit pemadam kecil milik RT kami
ini cukup memadai bekerja dengan baik untuk meng-kover kawasan sekitar 50
meteran dari sumber air di depan rumahku. Jarak dari sumur untuk mencapai
api di bagian belakang rumah sekitar 50 meteran. Unit pemadam sederhana ini
untuk semua warga.
Warga semakin yakin, sumber air di sumur bor sumbangan warga itu penting. Di
pemukiman padat mobil pemadam sukar menembus memberi bantuan. Maka,
sumur bor warga menjadi life saver.
Memang tak lama kemudian datang Pemadam Kebakaran DKI. Turut membantu.
Dengan dua unit pemadam ini tak lama api-pun padam. Tak sempat menjalar ke
mana-mana, kecuali sedikit jilatan api menyentuh dinding rumah tetangga depan
rumahku ini.
Setelah api padam, di tengah terik matahari di sore hari itu petugas pemadam
menyemprotkan air ke arah warga. Semua bergembira, malapetaka telah
terhindar. Semburan air ini salvo menyatakan tugas accomplished. Rakyat
senang karena di musim kemarau ini api dengan mudah menjalar. Tak lama,
kulihat beberapa anggota Polri telah hadir.
Ada catatanku atas kejadian yang hampir menjadi malapetaka ini. Pertama,
inisiatif membangun sumur bor ini penting untuk menghindari terjadinya
kebarakan besar. Kebakaran yang menghanguskan puluhan rumah sering
terjadi dan diawali dari sebuah rumah saja. Api menjalar tak tercegah.
Kedua, solidaritas di masyarakat masih tinggi. Tidak ada sekat agama, etnis,
status sosial. Semua membaur untuk kepentingan kemanusiaan. Kerukunan ini
sempat rusak gara-gara hasutan di Pilkada DKI yang lalu.
Alhamdulillah, kejadian kemarin ini menyadarkan kita bahwa hidup harmonis
berdampingan damai kita masih kuat. Sia-sialah pihak-pihak yang ingin
memprovokasi atau mengawali disharmoni dengan tuduhan-tuduhan intoleran,
anti-kebhinekaan, anti-China dan sebagainya. Retorika di tingkat atas agar juga
mempertimbangkan kepentingan rakyat di akar rumput.
Hidup berdampingan antara etnis Tionghoa, Arab di lingkungan pemukiman
Betawi ini selalu berjalan harmonis. Pemuda-pemuda Betawi dan FPI yang
secara heroik memadamkan api menolong etnis Tionghoa tanpa perintah
struktural ini tulus dan genuine. Tidak ada transaksi untuk urusan kemanusiaan
dan kerukunan atau gotong-royong sesama warga.
Bila malapetaka terjadi, maka para tetangga lah yang menjadi handalan. Tanpa
perlu retorika atau upacara bertema kebhinekaan, kerukunan dan rasa saling
menghormati di antara para warga itu sudah memang hadir selama ini.
Mengapa harmoni begitu indah diinsinuasikan telah rusak dan warga DKI
distigmakan telah menjadi buas. Mengapa keindahan dan harmoni hidup
bertetangga yang selama ini berjalan baik di akar rumput dibakar-bakar menjadi
isu intoleransi dan disharmoni?
Mengapa isu-isu ini kini telah menjadi komoditas politik sehingga perlu
disayembarakan, dipamer-pamerkan atau dituduh-tuduhkan kepada pihak lain
yang distigmakan sebagai kelompok intoleran dan pembenci harmoni dalam
upacara kolosal boros biaya tanpa arah yang jelas apa maunya?
Jakarta, 6 September 2019
-HMP