Oleh: Ustadz Fahmi Salim
HARI Santri Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober merupakan momentum untuk meneguhkan kembali peran besar kaum santri di negeri ini.
Kalau dahulu, pekik Takbir kaum santri untuk mengusir penjajah Belanda, yang ingin merebut kemerdekaan saat agresi militer kedua, kini semangat itu sejatinya tetap menggelora di dada setiap santri, untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.
Resolusi Jihad yang digaungkan oleh Hadratusyekh Hasyim Asy’ari, yang ditetapkan sebagai Hari Santri, telah memberi pesan semangat perjuangan, keyakinan dan keikhlasan yang tetap abadi hingga saat ini.
Sejak dahulu, bahkan sebelum Indonesia merdeka, kaum santri telah menunjukan komitmennya terhadap bangsa ini, karena mampu menyatukan keislaman dan kebangsaan dalam setiap gerak perjuangannya.
Beberapa tokoh ulama yang merupakan mahasantri, seperti KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH. Hasyim Asyari (pendiri Nahdhatul Ulama), Ustadz A. Hassan (pendiri Persis), KH. Ahmad Sanusi & KH. Abdul Halim (pendiri PUI) dan masih banyak ulama lainnya, sama-sama tergerak untuk meraih kemerdekaan dan kedaulatan bangsa, meskipun saat ini belum seutuhnya kita raih.
Perjuangan untuk untuk meraih cita-cita kemerdekaan itu masih tersandung banyak rintangan. Bukan hanya yang datang dari luar, juga dari dalam diri umat Islam sendiri, termasuk yang dialami kaum santri. Menurut KH. Dr. Fadlil Yani Ainussyamsi, pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Ciamis, Jawa Barat, para santri tak boleh hanya asyik mengkaji warisan keilmuwan para ulama, tapi tak mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Tak cukup integritas moral untuk menjadi santri sejati, juga dibutuhkan semangat untuk meningkatkan kapasitas diri dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial.
“Seperti nasehat Wapres KH. Ma’rif Amin, para santri itu harus melek teknologi, dalam berdakwah dengan menggunakan teknologi digital,” ungkapnya, dalam dialog di Program Ngaji Syar’ie (NGESHARE), “Ngaji Dulu, Alim Kemudian”. Dialog lengkapnya bisa disaksikan di link ini: https://youtu.be/uvXoEoLi24U
Ada tiga militansi yang disebut Ajengan Fadlil Yani- yang biasa disapa Kang Icep, yaitu: pertama, militansi yang bersifat janibul ‘athifi, yaitu kekuatan ruh yang berasal dalam diri para santri (esoteris); kedua, militansi yang bersifat janibul dhohiri, atau kiprah para santri dalam lingkungan sosialnya; dan ketiga, militansi yang disebut janibul ma’rifi, atau wawasan keilmuan yang harus dikembangkan oleh para santri, sesuai bidang keilmuannya masing-masing.
Karena itulah, modal awal yang harus dimiliki para santri adalah berpikir kritis dan terbuka wawasannya dengan beragam perbedaaan faham, sehingga tidak canggung lagi untuk membaca kitab-kitab dari mazhab lainnya.
Sebagai santri Darussalam Ciamis antara tahun 1994-1997, saya terbiasa diajarkan mengaji kitab-kitab ulama dari beragam mazhab sunni, seperti: ‘al-Muhadzzab’ karya al-Syirazi (fiqih syafi’i), ‘Subulus Salam’ Syarh Bulughul Maram karya al-Shan’ani, ‘Fiqhus Sunnah’ karya Sayyid Sabiq (fiqih muqarin), ‘al-Ibanah’ karya Imam Asy’ari, ‘Risalah Tauhid’ karya Muhammad ‘Abduh, ‘al-Wahyu al-Muhammadi’ karya Rasyid Ridha, bahkan ‘Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid’ (aqidah salafi-wahabi).
Selain itu, setelah terjun ke masyarakat, para santri diharapkan bisa menjadi problem solver, atau ikut menyelesaikan berbagai persoalan sosial. “Jadi santri itu tidak boleh kuper (kurang pergaulan, red),” tegasnya.
Teladan ini sudah ditunjukan oleh pendiri Pesantren Darussalam, KH. Ahmad Fadlil (1910-1950), yang di usia mudanya sudah mendirikan pesantren pada tahun 1929.
Pondok yang berlokasi di Dusun Kandanggajah, Desa Dewasari, Cijeungjing, Ciamis awalnya hanya memiliki sebuah rumah tempat tinggal Kyai, sebuah masjid dan sebuah asrama (pondok) yang sederhana, dengan jumlah santri hanya empat puluh orang.
Sebagaimana pesantren-pesantren lainya, Ajengan Fadhil juga menggerakan santri dan masyarakat untuk berjuang melawan penjajahan, hingga beliau wafat ‘syahid’ di tengah hutan pegunungan di daerah perbatasan Garut dan Tasikmalaya.
“Beliau merupakan ulama pendiri pesantren yang tidak diketahui makamnya,” ungkap Kang Icep, yang merupakan cucu sang pendiri.
Sepeninggal beliau, pesantren dilanjutkan oleh putranya, KH. Irfan Heilmy rahimahulloh, yang saat itu juga masih berusia belasan tahun. Selain belajar ilmu agama, para santri diajari mengolah sawah, bercocok tanam dan diberi contoh bagaimana memakmurkan masjid, dengan fasiltas seadanya.
Dari pesantren yang tradisional ini, pada tahun 1960-an, mulai melakukan perubahan dengan memodernisasikan sistem pendidikannya. Pada 1967, mulai dirintis sistem pendidikan modern dengan mengadaptasi model klasikal, antara lain mendirikan sekolah formal, mulai dari taman kanak-kanak, madrasah ibtidaiyah hingga jenjang perguruan tinggi.
Semua keberhasilan ini diwujudkan oleh kaum muda, yang disebut dalam istilah Gus Abdul Qoyyum, pemuda yang memiiki kekuatan iman dan kekuatan ilmu. Pada sesi akhir program NGESHARE ada yang istimewa.
Dalam rangka peringatan Hari Santri, menghadirkan tausiah dari Gus Qoyyum, putra KH. Mansur Kholil rahimahulloh pengasuh pondok pesantren An-Nur Lasem, Kabupaten Rembang. Tokoh ulama Nahdhatul Ulama, yang terkenal dengan gaya ceramahnya yang memikat dan membakar semangat umat.
Ceramah Gus Qoyyum mengangkat tema Spiritualitas Santri Menjaga Warisan Ulama. Dengan mengangkat kisah ashabul kahfi dalam surat Al Kahfi, kaum santri harus mengikuti jejak pemuda ashabul kahfi, yang disebut ‘awliya muda’, yang mendapat karomah dari Alloh tidur selama 309 tahun di sebuah gua.
Para pemuda ini beruzlah di sebuah gua, untuk menjaga dan menyelamatkan keimanannya dari pemaksaan penguasa dzolim yang memaksanya menyembah berhala, seperti disebutkan dalam ayat ke-16 daam surat Al Kahfi.
Mengutip pendapat Syekh Wahbah Az-Zuhaili penulis Tafsir Al Munir, ayat ini menjelaskan tentang uzlah maadiyah dan uzlah ma’nawiyah. Yang disebut uzlah maadiyah, adalah mengisolasi diri secara fisik. “Karena itu, para santri jangan berada di tepat maksiat, tempat karoke atau tempat lainnya, yang disana ada kemungkaran,” jelas Gus Qoyyum.
Sementara yang dimaksud uzlah ma’nawiyah, adalah mengisolasi diri dari hati dan pikiran yang jelek, kemudian menggantinya dengan pikiran yang positif, hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan besok harus lebih baik dari hari ini. “Fisik boleh di sawah atau di pasar, tapi hati tetap terpaut dengan masjid, dalam rangka ibadah kepada Allah”, tegas Gus Qoyyum.
Karena itulah, para santri harus menghidupkan ilmu agama yang diwariskan oleh para ulama, yang berupa hidayah ilmu dan hidayah iman.
Sebagaimana pemuda ashabul kahfi, karena hidayah ilmu dan iman inilah, ketika terbangun dari tidur panjangnya, mereka tetap menjaga diri (iffatun nafsi) saat mencari makanan ke kota, sebagaimana diabadikan dalam surat Al Kahfi ayat 19, yang artinya: “…, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik (halal, dan bersih), maka hendaklah ia membawa rezeki itu untukmu…”
Ayat ini, menurut Gus Qoyyum, merupakan teladan kewiraian mereka dalam menjaga diri dari perkara syubhat dan haram. Makanan itu tidak sekedar lezat, tapi harus halal, bersih dan sehat.
Karena iffatun nafsi inilah, para santri dan pemuda harus menjaga dari perkara haram, misalnya jangan membawa proposal untuk memperkaya diri dengan memanfaatkan organisasi atau yayasan. Karena, rezeki yang haram itu, tidak ada barokahnya, tidak hanya membahayakan dirinya, juga keluarga dan anak cucunya. Rezeki yang haram akan membawa musibah di dunia maupun akhirat.
Salah satu contoh warisan ulama NU berupa hidayah ilmu dan iman, termaktub dalam buku kompilasi Ahkamul Fuqoha fi Muqorraratil Muktamaroti Nahdhotil Ulama, salah satu hasil dari Muktamar NU ke-14 di Magelang, Jawa Tengah pada 1 Juli 1939, menyatakan tentang haramnya meniru pakaian atau penampilan orang kafir yang mengarah pada ideologi dan keyakinan tertentu, misalnya orang muslim menggunakan baju natal.
Bahkan, bisa dinyatakan kafir, orang muslim yang datang ke tempat ibadah agama lain, menghadiri ritual agama tertentu, meskipun tetap menjaga keyakinannya. Dia tetap berdosa, mengikuti hari raya agama lain, meskipun untuk kepentingan bisnis atau muamalah lainnya yang halal.
Selain itu, menurut Gus Qoyyum, masih banyak warisan ilmu dan iman peninggalan para ulama yang harus diterapkan oleh umat Islam. Karena itu, mengutip perkataan KH. Saifuddin Zuhri, Menteri Agama era Presiden Soekarno di buku ‘Kaleidoskop Politik di Indonesia’ (jilid 2), bahwa jika tiada iman dan taqwa, dunia akan menjadi tempat paling ganas, akan terjadi ‘homo homini lupus’, manusia laksana serigala bagi yang lainnya.
Teladan Iffatunnafsi (menjaga diri), juga dicontohkan oleh sahabat nabi yang bernama Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu. Dialah pemuda yang dicintai nabi shallallahu alahi wa sallam dan mendapat pujian beliau, karena pengetahuan dan kefahihannya dalam hukum agama.
Sepeninggal nabi, ia selalu menjadi rujukan dalam perkara agama, hingga Umar bin khattab memujinya, ” kalau tidaklah berkat Muadz bin Jabbal, Umar akan celaka.”
Dikisahkan, Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu memiliki banyak hutang, dan setelah dibayar dengan semua aset yang dimilikinya, tetap belum mencukupi. Maka, Rasululloh shallallahu ‘alayhi wasallam memberikan solusi dengan menjadikannya seorang pejabat di negeri Yaman. Gaji yang diperolehnya, bisa digunakan untuk membayar hutangnya.
Tak sekedar itu, Muadz adalah seorang pemuda yang layak menjadi pemimpin karena wawasan keilmuannya.
Pada masa Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khottob mengusulkan untuk memotong gaji Muadz, karena dianggap telah mencukupi untuk hidup keluarganya. Seperdua gajinya harus dikembalikan lagi pada negara, meskipun ia memperolehnya secara halal.
Apa jawaban Muadz? Ia menerima keputusan ini dengan lapang dada, bahkan ia mendatangi Umar dan merangkulnya sambil berderai air mata. “Malam tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang, hai Umar, dan menyelamatkan saya!” (Riwayat Abdurrazzaq dalam kitab al-Mushannaf, jilid 8, no.15.177, hlm.268-269)
Inilah sosok pemuda yang menjaga dirinya dari perkara syubhat, apalagi haram. Ia wafat di usianya yang masih muda, 33 tahun karena wabah tho’un Amwas di Syam. Tak heran, Muadz bin Jabal mendapat keistimewaan sebagaimana disebutkan dalam hadist nabi. “Sesungguhnya dia datang pada hari kiamat nanti sebagai pimpinan para ulama. Di depan mereka sejauh lemparan batu (‘robwah’).” (HR. al-Hakim).
Itulah figur teladan pemuda santrinya Rasululloh shallallahu ‘alayhi wasallam. Kedudukan mulia yang diperoleh Muadz bin Jabal karena ilmu dan sifat zuhud dan wirainya terhadap dunia. Semoga kita, kaum muda dan para santri bisa meneladaninya.
* Ustadz Fahmi Salim adalah Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Komisi Dakwah MUI
Discussion about this post