DATARAN Tinggi Dieng (Dieng Plateau) memang unik. Selain dikenal indah panoramanya, kawasan yang berada di atas ketinggian 2.300 meter ini menyimpan misteri yang sulit dijelaskan akal sehat
Fenomena anak berambut gimbal, misalnya adalah salah satu misteri di dataran yang terletak di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah itu. Anak berambut seperti “anak punk” atau pemain sepakbola Ruud Gullit itu, sulit sekali dihilangkan meski dipotong berkali-kali. Usai dipotong, rambut akan tumbuh gimbal lagi.
Namun jika dipotong di dataran tinggi Dieng, dengan ritual yang rumit dan unik, maka rambut si anak itu selanjutnya akan tumbuh normal hingga dewasa dan seterusnya.
Karena itu, jika Anda datang menonton Festival Budaya Dieng 2019 yang didakan 5 Agustus 2019 lalu, maka rasa takjub akan muncul. Anak-anak berambut gimbal yang rata-rata berusia di bawah 5 tahun itu seeperti tersihir. Tidak ada yang rewel ataupun bertingkah “aneh-aneh”, ke-11 anak itu, mengikuti ritual yang dipimpin Mbah Sumanto (70) dengan runtut dan tertib.
Pemotongan rambut gimbal menjadi bagian paling menarik festival itu. Ke-11 anak yang mengikuti ritual potong rambut berasal dari berbagai daerah. Selain dari Banjarnegara, Wonosobo, Batang, ada juga anak yang berasal dari Jakarta Utara. Kebetulan ke-11 anak itu, semuanya perempuan.
Masyarakat Dieng percaya, anak berambut gimbal perempuan merupakan titisan Nyai Dewi Roro Ronce, abdi penguasa Laut Selatan, Nyai Roro Kidul. Jika anak tersebut laki-laki, maka dia merupakan keturunan Kyai Kaladete. Para leluhur penguasa alam Dieng itu dipercaya bersemayam di Telaga Balekambang. Itulah mitologi yang dipercaya sebagian masyarakat Dieng secara turun-temurun.
Rambut gimbal itu biasanya muncul ketika anak berusia sekitar satu tahun. Menurut Mbah Sumanto, sebelum muncul gejala itu, si anak biasanya sakit-sakitan dengan badan menderita panas tinggi. Begitu rambut gimbalnya muncul, si anak tidak sakit lagi
Menjelang ritual pencukuran anak berambut gimbal, tetua adat biasanya akan menanyakan apa permintaan khusus (kudangan) si anak. Sakura Al Zahwa Agustin, anak gimbal dari Sunter,Jakarta Utara, minta kudangan uang tunai Rp4 Juta.
Laela Nur Afifah meminta bakso, sepeda oranye, dan handphone. Kayang Ayuningtyas minta es krim warna cokelat. Sementara Alifah meminta dua ekor kambing. Namun ada juga yang mminta “mahar” aneh seperti minta cambuk, lintingan, plesir ke pantai selatan bersama keluarga. Dan yang paling unik sekaligus mengundang tawa adalah permintaan Syifa. Bocah lima tahun ini meminta kentut 1 plastik plus sebutir telur puyuh. “Terpaksa” ibunya memasukkan kentut ke dalam plastik meskipun secara fisik sulit diketahui apakah kentut itu sudah terwadahi atau belum. Usai acara, semua permintaan itu dipenuhi panitia festival Dieng.
Proses pencukuran rambut gimbal, memang sakral dan menghanyutkan. Gending Jawa dan suluk (semacam nyanyian) ditimpali dengan pembacaan mantra, mampu menghipnotis pengunjung festival yang dtaksir melebihi 100 ribu orang
Adapun mantranya, ‘Sang maha wiku, pangaksama tusadyo, loka pati pitaka, katemah bagya’. Kemudian, ‘pangeranku imam banyu putih witapa, banyu abang seka si biyung, adem tan winasa’. Dilanjutkan dengan doa ‘Ya marani nira maya’ yang artinya: jauhkan siapa pun yang akan berbuat jahat. ‘Ya silapa palasia’ ang maksudna ,orang yang menyebabkan kelaparan justru memberikan makan. Atau, ‘jamiroda doramiya’ dengan arti mereka yang suka memaksa justru memberikan kebebasan.
Peserta pencukuran rambut gimbal tahun ini memang semuanya anak-anak. Namun, fenomena rambut gimbal tidak hanya “milik” para bocah. Hanya saja, menurut Mbah Sumanto, usia paling baik untuk melakukan ritual pemotongan rambut adalah sejak 3 tahun, ketika anak tersebut bisa menyampaikan kudanganna. Meski begitu, ada juga yang sampai tua memelihara rambut gimbalnya. Tetapi ini bukan Ruud Gullit. Pemain sepak bola masyhur Belanda itu, menjadi gimbal setelah keluar dari salon kecantikan.* Budi Winarno
Discussion about this post