SEYOGIANYA kita sedang bersiap-siap menuju era baru: post election politics. Selesai sudah perang tagar, perang statement, perang opini. Pemilu, khususnya pilpres yang lalu telah membelah-belah kita. Memang masih tersisa masalah keadilan dan kejujuran dalam pelaksanaan terburuk pernah terjadi di negeri ini. Akankah kita segera memasuki hidup baru, mungkin di zaman dan era baru?
Medsos ternyata hanya menjadi pelampiasan emosi, bukan medium ekspresi opini dan akal sehat. Penuh maki-maki. Keluarga dan pertemanan pun sempat terbelah. Mari kita kembalikan medsos ke dalam fungsi yang benar. Sebagai medium silaturahmi, tukar-fikiran dan informasi yang bermanfaat. Marilah kembali ke akal sehat (common sense).
Ya, penggunaan akal sehat itu penting. Kita dikaruniai qolbu dan akal sehat itu untuk digunakan dengan benar. Untuk membuat keputusan —terutama menyangkut hidup sehari-hari—secara tepat waktu dan benar.
Benar bahwa kontestasi politik itu seyogianya menawarkan alternatif hidup yang lebih baik. Bukan lebih buruk. Yang buruk dibuang, yang baik jadikan pedoman ke depan.
Yang sering orang lupa bahwa proses politik ini bagian dari perjalanan kita menuju demokrasi. Ya demokrasi kita masih jauh dari bentuk yang ideal. Yang masih prevailing adalah politik untuk tujuan kekuasaan. Ujung-ujungnya pencarian materi. Bukan pengabdian. Di sini kesalahan pertama. Yang kita sesalkan adalah ketika budaya partisan kian merajalela. Gejala ini kian memburuk ketika ASN bahkan TNI/Polri digiring dan ditarik ke politik partisan. Ini harus kita cegah bersama. Gejala ini unprecedented tak pernah terjadi separah yang sekarang. Tidak boleh terulang ke depan.
Demokrasi kita gagal? Di permukaan saja tampak begitu. Buktinya korupsi tetap marak. Mencari pemimpin amanah sulit sekali. Rakyat disodori pilihan-pilihan pemimpin abal-abal alias mediocre. Pembangunan belum menuju peningkatan kesejahteraan. Penegakan hukum masih lemah. Dan kian mahal. Nilai-nilai luhur yang selama ini kita pegang kian meluntur.
Ada orang berpolitik untuk memperjuangkan idealisme, atau memperjuangkan nilai-nilai yang diajarkan agama. Boleh dengan tujuan agama, boleh pula sekuler.
Namun, ada pula menggunakan politik identitas bahkan agama untuk tujuan politik kekuasaan. Ini yang salah.
Dari narasi ketahuan kok kemana arah perjuangan parpol. Apakah untuk perbaikan kehidupan rakyat? Yang jelas, negara ini terhormat apabila memperlakukan rakyatnya secara manusiawi sebagai manusia dengan harga diri dan kehormatannya yang melekat.
Di sini pentingnya peranan negara sebagai wasit yang jujur dan adil. Ini investasi jangka-panjang. Wasit tak boleh tergoda dengan kepentingan jangka-pendek. Sesaat dan sesat itu.
Karena itu, mari kita kembali ke kehidupan yang fitriah. Mari jalankah tugas dan tanggungjawab secara berintegritas sesuai amanah yang ditetapkan. Amanah ini bukan saja secara sekuler kita pertanggungjawabka kepada negeri ini, tetapi juga kepada Sang Pencipta.
Secara sosial, mari kita kembali akur dan saling menjaga harmoni persahabatan dan pergaulan. Tinggalkan itu sifat-sifat tercela.
Yang terakhir: mari kita bangun demokrasi kita secara bertanggungjawab: kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat dan negeri. Gunakan kekuasaan yang diperoleh untuk kemashlahatan rakyat sang pemilik negeri.
Semoga negeri ini kian membaik dan senantiasa dalam lindunganNya. Aamiin.
Jakarta, 6 September 2019