POLISI virtual alias virtual police menuai sorotan dan kritik belakangan ini karena sempat menjemput seorang warganet asal Slawi, Jawa Tengah, AM, yang menulis komentar di unggahan akun @garudarevolution terkait Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.
Tentu saja penangkapan kritik menjadi fenomena menakutkan public dan netizen. Karena itu tak salah jika orang menyatakan telah tiba zaman Orwellisme di Indonesia, yang terkenal dengan ucapannya: “Big Brother is Watching!” Anda dipantau. Hati-hati.
Orwellisme itu diambil dari nama George Orwell, aslinya wartawan dan penulis bernama Eric Arthur Blair. Karyanya dicirikan oleh prosa jernih, kritik sosial yang menggigit, oposisi terhadap totalitarianisme, dan dukungan blak-blakan dari sosialisme demokratis.
“Nineteen Eighty-Four” adalah karyanya yang diterbitkan pada tahun 1984, sebuah novel fiksi ilmiah sosial dystopia, diterbitkan pada 8 Juni 1949 oleh Secker & Warburg sebagai buku kesembilan dan terakhir Orwell yang diselesaikan dalam hidupnya.
Secara tematis, ‘Nineteen Eighty-Four’ berpusat pada konsekuensi totalitarianisme, pengawasan massa, dan resimentasi yang represif terhadap orang dan perilaku dalam masyarakat. Orwell seorang sosialis demokratis, mencontoh pemerintahan otoriter dalam novel setelah Stalinis Rusia. Secara substantif, novel ini mengkaji peran kebenaran dan fakta dalam politik dan cara mereka dimanipulasi.
Di zaman totaliter, masyarakat saling-menginteli, memata-matai dan melaporkan pengamatan atau fitnah mereka kepada penguasa. Zaman inilah yang dianggap netizen telah Kembali dengan diperkenalkannya ‘Cyber Police’. Konsekuensinya mengerikan.
“Hai-hati, banyak ‘kibus’ (kaki busuk) alias pengadu,” kata orang Medan.
Kembali ke kisah AM pengeritik Gibran, putra sulung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) itu tentang sepak bola dan jabatannya di Solo. Polresta Solo pun disebutkan langsung menjemput AM dari Slawi untuk dibawa ke markas polisi di kota tempat Gibran memimpin tersebut.
Di sana, petugas mengklarifikasi kepada AM di mana sang penulis komentar tersebut pun menyampaikan permintaan maaf dan menghapus unggahannya di medsos.
Setelah permintaan maaf disampaikan, Polresta Solo pun memulangkan yang bersangkutan tanpa dilakukan penahanan. Semua proses itu pun terdokumentasi dan diunggah ke akun medsos milik Polresta Solo.
“Komentar tersebut sangat mencederai KPU, Bawaslu, TNI, Polri, dan seluruh masyarakat Kota Solo yang telah menyelenggarakan Pilkada langsung sesuai UUD 1945,” kata Kapolresta Solo Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak saat dikonfirmasi.
Meski tak berproses hukum secara pidana, namun upaya kepolisian menjemput dan memberikan peringatan kepada AM telah menuai kritik lantaran dinilai mengekang demokrasi. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), menilai bahwa pernyataan AM itu hanya sebagai olok-olokan atau kesinisan.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto mempertanyakan penentuan kategori hoaks oleh tim polisi virtual itu. Menurutnya, dasar penilaian polisi patut dipertanyakan, mengingat media sosial kini menjadi ranah berinteraksi yang paling banyak dilakukan oleh warga Indonesia, atau lebih dikenal dengan istilah warga +62.
Sebaliknya, Ade Safri menegaskan langkah yang dilakukan jajarannya di Polresta Solo itu sebagai bagian dari restorative justice. Restorative justice adalah suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya.
Pendekatan itu sendiri terdapat dalam instruksi Kapolri Jenderal Pol Lisyto Sigit Prabowo kepada jajarannya. SE yang keluar setelah Jokowi mewacanakan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam Rapim TNI-Polri itu berisi pedoman bagi penyidik dalam memproses kasus-kasus tersebut di Indonesia.
Pendekatan restorative justice adalah poin pertama yang ditekankan Listyo dari total 11 poin instruksi dalam SE itu.
“Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali,” kata Listyo dalam poin I surat edaran yang dikeluarkan.
Polisi Virtual
‘Virtual Police’ sendiri merupakan satuan tugas baru yang digagas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat masih berpangkat Komisaris Jenderal dan akan berstatus sebagai calon Kapolri.
Semangat Listyo untuk mewujudkan tim tersebut adalah agar dapat memberi edukasi kepada masyarakat sehingga potensi pelanggaran pidana di jagat dunia maya dapat ditekan.
Virtual Police pun telah resmi beroperasi sejak 24 Februari 2021. Mereka ditugaskan untuk memantau konten-konten yang berseliweran di media sosial.
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Slamet Uliandi menjelaskan konten yang diawasi ialah yang bermuatan hoaks ataupun hasutan di berbagai platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram.
Apabila virtual police menemukan konten yang terindikasi melakukan pelanggaran itu, maka tim akan mengirimkan peringatan lewat medium pesan atau direct message ke pemilik akun.
“Tahapan-tahapan strategi yang dilakukan melalui beberapa proses. Pertama edukasi, kemudian peringatan virtual,” kata Slamet dalam keterangan tertulisnya beberapa waktu lalu.
Dalam hal ini, polisi virtual yang memberikan teguran akan meminta pemilik akun menghapus konten yang berpotensi melanggar pidana dalam waktu 1×24 jam, peringatan akan diberikan dua kali untuk penghapusan akun.
Polisi, kata dia, melakukan kajian terhadap konten bersama dengan sejumlah ahli seperti ahli bahasa, ahli pidana, hingga ahli ITE.
Apabila tak direspons, baru pemanggilan terhadap pemilik akun untuk diklarifikas polisi itu dilayangkan. Dalam hal ini, polisi mengklaim akan menekan upaya penindakan hukum secara pidana sebagai langkah terakhir.
“Kami lakukan mediasi, restorative justice. Setelah restorative justice baru laporan polisi. Sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpangan di ruang siber dilakukan upaya penegakan hukum melainkan mengedepankan upaya mediasi dan restorative justice,” ucap dia.
Meskipun demikian, tak semua kasus dapat dikedepankan upaya restorative justice. Slamet menerangkan hal itu hanya dapat dilakukan terhadap dugaan kasus pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan. Ia menyebut pelaku yang terlibat di kasus tersebut bisa tidak ditahan.
Tak urung, penggunaan kekuasaan secara eksesif tetap saja menakutkan masyarakat yang memang kini tak terlepas dari penggunaan berbagai media internet.
“Ketika tiba era keterbukaan informasi dan kebebasan berekspresi, termasuk kritik, kita di Indonesia menghadapi era anomali, ketika kebebasan itu terancam dipenjara.”
“Tak terhindar, akan terjadi benturan vertical dan horizontal di sesame komponen bangsa. Yang satu mengadukan yang lain ketika dia dianggap bertentangan dengan kepentingannya, atau kepentingan kekuasaan yang berlindung di balik ‘Virtual Police’ tanpa brevet,” komentar netizen.
Ditulis kembali oleh: Haz Pohan, Pemred DNI
Discussion about this post