KETIKA Perang Dingin berlangsung masyarakat Eropa Timur, terutama Jerman Timur sangat mengerti apa arti kebebasan. Untuk memperoleh kebebasan mereka rela melakukan berbagai cara dan alat, bahkan mempertaruhkan nyawa sendiri.
Melarikan diri dari penjara komunisme di Eropa Timur adalah keberuntungan, bagi yang sukses. Bahkan, untuk bepergian ke negeri-negeri Barat itu merupakan kemewahan tak terperikan. Meskipun hanya untuk beberapa hari. Apalagi jika berhasil memperoleh suaka di negeri-negeri barat.
Sebagai diplomat yang bertugas di Uni Soviet, saya menyaksikan semua. Saya beberapa kali –bersama keluarga ketika cuti maupun sendiri dalam rangka tugas—harus menempuh perjalanan menuju Berlin Barat atau Helsinki, ibukota Finlandia. Bagi rakyat Soviet, kedua negara ini menjadi pintu menuju dunia kebebasan di Barat.
Karena saya memiliki beberapa teman di Berlin Timur (komunis) maka saya sering bepergian ke Berlin Barat. Batas Berlin Timur dengan Berlin Barat ya Tembok Berlin itu.
Check Point Charlie atau ‘Pos C’ merupakan salah satu dari tiga titik persimpangan antara Timur dan Barat di sekitar Berlin. Check Point lainnya bernama ‘Alpha’ dan ‘Bravo’. Check Point Charlie menghubungkan zona Amerika, Inggeris dan Prancis di wilayah Barat, dengan Berlin Timur yang diduduki Soviet.
Pertama kali menjadi terkenal selama perselisihan antara tank AS dan Soviet pada Oktober 1961, tak lama setelah Tembok dibangun. Check Point Charlie simbol Perang Dingin yang terkenal dan kota yang terpecah.
Sejak jatuhnya Tembok Berlin dan penyatuan kembali Jerman, itu telah menjadi salah satu tempat wisata utama kota, menggabungkan beberapa sisa-sisa perbatasan menyeberang dengan rekonstruksi.
Di Check Point Charlie, ada imigrasi, bea cukai, dan tentu tentara. Yang menarik, di perbatasan ini ada yang disebut “Museum Check Point Charlie”, kepunyaan Amerika, yang berada di belahan Berlin Barat. Di sini saya belajar betapa mahalnya arti kebebasan. Dalam periode sejak didirikannya Tembok Berlin – yang memisahkan bangsa Jerman menjadi dua, berdasarkan ideologis, sampai runtuhnya Tembok Berlin tercatat 327 orang yang tewas. Lebih banyak yang berhasil menerobos jaringan labirin komunis ini, demi kebebasan dan masa depan anak-anak mereka. Kematian 327 terjadi pada periode 1949 hingga 1989 – tahun ketika Tembok Berlin dirobohkan, karena GDR runtuh.
Dari angka 327 pelarian ke Barat yang terbanyak korban jatuh di Tembok Berlin, sebanyak 262 orang. Sisanya korban tertembak petugas Jerman Timur komunis, yang berada di 24 pos penjagaan perbatasan.
Studi ini dilakukan oleh tim di Free University di Berlin. Sekitar setengah dari mereka yang meninggal berusia 18-25. Yang termuda adalah bayi yang mati lemas di bagasi mobil pada tahun 1977.
Banyak korban ditembak oleh penjaga Jerman Timur, tenggelam mencoba berenang ke Barat atau terjebak di ranjau anti-personil, atau tersetrum listrik di beberapa sungai kecil. Sekitar 10% dari mereka yang meninggal adalah wanita. Kebanyakan korban adalah pekerja manual muda atau petani.
Beberapa rekaman menarik yang bisa dilihat dalam catatan Museum Checkpoint Charlie, misalnya pada tahun 1979 dua keluarga Jerman Timur – Wetzels dan Strelzyks, total empat orang dewasa dan empat anak-anak – terbang dari Thüringia ke Bavaria menggunakan balon udara panas yang dibuat secara diam-diam.
Kemudian, pada tahun 1986 warga Berlin Timur Karsten Klünder dan Dirk Deckert mencapai perairan Denmark di Baltik setelah berangkat di papan selancar dengan layar buatan sendiri. Pada tahun 1988 Kostbades – keluarga dengan empat anggota – mendayung perahu karet kecil 111 km (69 mil) melintasi Baltik ke Barat.
Pada tahun yang sama, semua saudara Bethke melarikan diri ke Barat dengan cara-cara baru: Ingo tiba di sana dengan menyeberangi sungai di atas kasur udara dengan seorang teman; Holger menggunakan busur dan anak panah untuk menembakkan kabel melintasi Tembok Berlin, dan kabel zip ke Barat. Pada bulan Mei 1989 Ingo dan Holger menerbangkan dua pesawat ultra-ringan di atas Tembok, menjemput saudara Egbert, dan terbang kembali ke Barat.
Jauh sebelum rubuhnya Tembok Berlin, di tahun 1964, WN Jerman Barat mempertaruhkan hidup mereka dengan menyelundupkan 57 orang Jerman Timur ke Barat melalui sebuah terowongan yang mereka gali di bawah Tembok – yang kemudian dijuluki “Terowongan 57.
Perbatasan dijaga ketat membentang sekitar 1.400 km, dari Laut Baltik ke Cekoslowakia. Itu tambang, perangkap tangki, kawat berduri. Kawat bermuatan listrik dan menara arloji.
Proyek mahal
Para peneliti menghabiskan hampir lima tahun meneliti arsip GDR – terutama penjaga perbatasan dan polisi rahasia Stasi. Mereka juga melakukan banyak wawancara, menyelidiki 1.492 kasus yang berkaitan dengan perbatasan lama. Pemerintah negara bagian Jerman berkontribusi pada proyek tersebut, yang menelan biaya USD 718.620.
Orang tertua yang mati di perbatasan adalah seorang petani berusia 81 tahun yang masuk ke ladang ranjau secara tidak sengaja pada tahun 1967. Tambang mencopot kedua kakinya dan dia mati kehabisan darah selama tiga jam, ditonton oleh seorang dokter militer Jerman Timur, yang melakukan tidak berani menyelamatkannya, kata penelitian itu.
Penelitian itu tidak termasuk perkiraan 200 kematian orang yang melarikan diri melintasi Laut Baltik.
Juga tidak termasuk mereka yang mati ketika berusaha melintasi perbatasan negara-negara blok komunis lainnya – diperkirakan dalam kisaran 30 hingga 200.
Dari 24 penjaga perbatasan Jerman Timur yang terbunuh, sembilan ditembak oleh orang-orang yang melarikan diri dari Jerman Timur, delapan dalam insiden “tembakan ramah”, tiga oleh warga sipil, tiga oleh patroli AS dan satu oleh penjaga perbatasan Jerman Barat.
Penelitian ini juga mendokumentasikan 44 penjaga perbatasan Jerman Timur yang bunuh diri.
Kebebasan itu ibarat udara. Ketiadaannya membuat kita sadar betapa pentingnya benda ini, dan manusia rela menjemput maut daripada tunduk kepada rejim komunis yang memang menempatkan hak asasi manusia di nomor ke sekian.
Museum Check Point Charlie merekam masa suram Eropa dibayangi cengkeraman komunisme. Ajaran anti-kebebasan ini sudah mampus di Eropa. Pengalaman Eropa dengan komunisme mengajarkan kita jangan lengah. Jangan terpedaya dengan janji kaum komunis yang menghalalkan segala cara. Kaum munafik ini telah membuktikan kesalahan menghianati Republik di masa lampau. Jangan biarkan mereka bangkit kembali: atau kita terpaksa dengan mahal membeli kebebasan yang telah kita miliki sejak Proklamasi yang akhir-akhir ini mulai dibungkam. Oleh siapa Ya, oleh semangat bermentalitas komunisme yang mulai bangkit kembali dari kubur.
Penulis: Haz Pohan, Pemred DNI