DNI-Jakarta – Kepala Polit Biro Hubungan Internasional Partai Komunis China (ID CPC), Song Tao, mengadakan kunjungan ke Indonesia. Pada hari pertama Song diterima Presiden Joko Widodo di istana, didampingi oleh Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir, serta Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Song Tao selanjutnya mengadakan dengan pertemuan dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, sambil makan siang bersama serta membahas kerja sama antar-partai. Pertemuan berlangsung di Hotel Oriental Mandarin, Jakarta Pusat. Hubungan kedua partai ini sudah lama diketahui publik dan berlangsung konstan.
Song Tao juga menemui Ketum Gerindra Prabowo Subianto di Jl Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pertemuan Prabowo dan Song Tao diungkapkan Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon melalui Twitter.
Kepala Politbiro Hubungan Internasional PKC juga bertemu dengan Ketum Golkar, Airlangga Hartanto di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9). Mereka sepakat untuk tukar-menukar kader partai. Setiap tahun Golkar mengirim 15 kader dalam rangka studi banding. PKC juga mengirim kadernya ke Indonesia.
Apa yang salah?
Pertama, bulan September kelabu bagi bangsa Indonesia. Menjelang tanggal 30 September, kenangan rakyat Indonesia pada pemberontakan PKI membongkah. Menjelang pemberontakan PKI di tahun 1965 hubungan Indonesia dengan RRT sangat mesra, yang dimanfaatkan untuk membina PKI dan bahkan memberikan bantuan senjata. Akibat pemberontakan G30S/PKI, Indonesia melarang penyebaran ideologi komunis. RRT masih menganut komunisme bahkan semakin menguat karena kekuatan ekonomi, politik dan militer pada skala dunia.
Kedua, tokoh partai diterima Presiden di Istana itu mengisyaratkan pelanggaran keprotokolan. Berbeda dengan kunjungan Ketua Partai Komunis Vietnam(PKV) yang secara de facto adalah penguasa pemerintahan dan kunjungan itu bernilai peningkatan hubungan bilateral. Kepala Politbiro Hubungan Internasional PKC ini tidak memiliki jabatan formal di pemerintahan namun mendapat perlakuan seperti pejabat pemerintahan. Dalam kamus keprotokolan Indonesia, tidak ada jenis kunjungan tokoh partai secara khusus, kecuali tamu itu menyandang jabatan formal di pemerintahan.
Ketiga, kunjungan ini mengingatkan kita pada situasi menjelang G30S/PKI dengan terbentuknya poros Jakarta-Beijing-Pyongyang yang berpotensi pelanggaran terhadap asas politik luar negeri bebas aktif. Ini fenomena yang alarming. Pelanggaran terhadap polugri bebas aktif menjadi salah satu syarat terjadinya impeachment.
Keempat, meskipun pembiacaraan kerjasama antar-partai, Ketum Golkar Airlangga Hartanto juga menjabat Menteri Perindustrian dan dengan mitranya membahas urusan negara berkaitan dengan investasi dan situasi global ke depan. “Kita juga membahas soal investasi China di Indonesia, termasuk di bidang mineralisasi logam, seperti di Morowali atau pun industri otomotif,” kata Airlangga.
“Mereka tadi mendengar kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dan dalam kebijakan-kebijakan yang dilakukan, tentunya kemudahan yang diberikan akan disampaikan kepada kalangan usaha di China, agar Indonesia dan China investasinya bisa meningkat,” lanjut Airlangga.
Kelima, intensitas kunjungan pejabat RRT, baik pemerintahan maupun kepartaian yang berkarakter kebudayaan yang di dalamnya termasuk kebudayaan. Kebudayaan diatur ketat di China, dan menjadi alat propaganda yang ampuh. Indonesia ingin belajar dari China untuk mengatur seniman? Ingin belajar tentang ‘Revolusi Kebudayaan’ yang telah membunuh ratusan ribu warganya? RRT ingin berbagi bagaimana cara menindas Islam seperti apa yang sedang terjadi di Xinjiang? Begitu pertanyaan netizen.
Maka reaksi masyarakat netizen meninggi. Misalnya Musni Umar @musniumar, Rektor Universitas Ibnu Chaldun, bereaksi dengan penolakan, karena alasan ideologis bahwa RRT komunis dan anti-tuhan. PKC juga menganut partai tunggal dan anti demokrasi, yang menindas lawan-lawan politiknya. RRT dan PKC terlibat G30S/PKI di tahun 1965.
Pemerintah harus berhati-hati dengan negara asing apabila muatan pertemuan yang bukan berkarakter hubungan antar-pemerintah atau negara. Terutama ketika kunjungan yang syarat dengan kepentingan ideologis bahkan strategis dari sebuah negeri yang benar-benar menentang ideologi negara Pancasila.
(HMP)