SALAH satu tokoh nasional yang berasal dari Sumatera Utara meninggal dunia di Bali, kemarin Senin (16/9). Tokoh nasional dengan nama lengkap Dr. Harbrinderjit Singh Dillon, meninggal dunia pada usia 74 tahun, di Rumah Sakit Siloam Bali. Almarhum lahir di Medan, 23 April 1945.
Seorang tokoh meninggalkan legacy, atau warisan. Apa legacy Bang Dillon, begitu kami para alumni USU Medan yang berada di Jakarta memanggil almarhum.
Saya mencoba berkontemplasi ketika menulis artikel ini: Mengapa HS Dillon menjadi tokoh menonjol? Ada warisan yang melekat pada karakter Dillon yang patut menjadi catatan dan baik untuk ditiru oleh generasi yang lebih muda.
Pertama, saya kagum pada kemampuan komunikasi beliau. Beliau meskipun keturunan India tetapi adalah satu di antara sedikit orang Indonesia yang mampu berbahasa Indonesia dengan fasih, jelas dan runtut. Tentu juga dalam berkomunikasi dengan bahasa Inggeris, yang saya dengar ketika nimbrung diskusi pada saat beliau berbincang-bincang dengan para duta besar asing. Terus terang, saya melihat ironi bahwa betapapun Medan atau Sumatera Utara telah menjadi salah satu cradle bahasa Indonesia Melayu, tetapi kemampuan kita masih unggul bertutur tanpa struktur. Kita belum jago berbicara runtut dengan tatabahasa yang baik dan dengan penggunaan kosa-kata yang baik pula.
Mungkin aneh di kuping kita jika orang mengatakan: “Wah, beliau hebat, bahasa Indonesianya luar biasa,” karena dianggap semua orang Indonesia jika telah bisa berbicara maka mereka sudah ‘ahli’ berbahasa Indonesia. Ini jauh panggang dari api. Saya perhatikan, jika pejabat atau tokoh berbicara di radio atau televise menggunakan bahasa Indonesia yang baik, maka akan dirasakan ‘keistimewaan’ tokoh ini.
Statement di atas tidak aneh di negeri-negeri berbahasa Inggris. Saya mendengar sendiri ketika studi di Amerika, pers di sana memuji ketokohan seseorang dan mengaitkannya dengan: “He (atau she) speaks English very well.” Jelas, penguasaan bahasa itu sangat penting sekali. Inilah kenapa saya menggarisbawahi gaya berbicara bang Dillon dalam bahasa nasional kita. Apalagi beliau keturunan India, maka apresiasi ini harus disampaikan. Two thumbs up!
Dulu Sumatera Utara menjadi gudang para sastrawan dan tokoh-tokoh wartawan kelas hebat. Sekarang kemana? Apakah kualitas SDM kita telah menurun? I don’t think so. Di tengah membaiknya akses memperoleh pendidikan dan informasi maka kebodohan itu seyogianya tinggal sejarah.
Tetapi apa lacur? Pada zaman kemerdekaan dengan terbatasnya akses pendidikan namun Indonesia tidak kekurangan pemimpin berjiwa negarawan. Ada energi yang mendorong kesadaran untuk memajukan bangsanya, untuk menempatkan bangsanya sejajar dalam pergaulan bangsa-bangsa. Mereka gigih meningkatkan dirinya, kemampuannya, persuasinya dan dedikasinya untuk bangsa ini. Karena itu mereka — meskipun pendidikan rendah — tetapi telah mencerminkan sikap seorang intelektual yang disegani. Bisa disebut seperti misalnya tokoh Bung Karno, Bung Hatta, Adam Malik, Sjahrir, Agus Salim dan sebagainya.
Mengapa kini jarang tokoh nasional muncul dari Sumatera Utara? Masalah ini terlalu luas untuk diulas dalam artikel ini. Yang pasti, dengan demokratisasi pendidikan kini banyak muncul tokoh-tokoh nasional dari daerah lain.
Ketika daerah-daerah lain bangkit, dan munculnya tokoh-tokoh muda yang brilian dan berdedikasi memajukan kampung halamannya, tokoh-tokoh dari Sumut malah tidak muncul. Sebagai tokoh yang berintegritas tinggi dan tanpa kompromi, Bang HS Dillon pantas menjadi tokoh panutan.
Apa syarat menjadi intelektual yang dihormati? Jika mereka piawai berbicara tentang suatu subyek yang sebenarnya berat, tetapi karena disampaikan dengan bahasa yang baik menjadi sederhana dan dapat dipahami. Ini berlaku untuk semua profesi, keniscayaan menggunakan bahasa yang baik. Bang HS Dillon termasuk dalam kelompok minoritas ini.
Banyak orang asing yang keliru menanggapi pidato para pemimpin kita —jika mereka tidak menggunakan bahasa asing dengan baik —yang pada akhirnya membuat frustrasi. Ini tentu kehebatan yang dimiliki oleh Presiden SBY yang fasih berbahasa Indonesia maupun Inggris dan tak memerlukan juru bicara untuk melurus-luruskan statement yang terlanjur salah karena kemiskinan kosakata!
Faktor kemampuan dalam berkomunikasi —juga dalam bisnis— erat kaitannya dengan ‘kecerdasan emosi’ yang kian mutlak kini apabila Anda ingin sukses. Ini dimiliki oleh Almarhum. Tetapi, setahu saya Bang HS Dillon tidak pernah tertarik memasuki bisnis.
Kedua, beliau ini tokoh USU yang membanggakan. Betapa tidak, ketika rencana penyusunan kabinet di era-era lampau tak urung nama HS Dillon selalu disebut-sebut. Sebagai tokoh yang berkompeten di bidang pertanian. Beliau alumnus Fakultas Pertanian USU.
Poin kedua ini amatlah penting. Jarang nian tokoh Sumut sekarang ini yang bisa tampil piawai di tingkat nasional, apalagi internasional. Padahal, Sumut itu dikenal dengan sumberdaya manusia yang hebat-hebat dan berbakat. Memang, jika kita hanya mengandalkan ‘bakat’ semata, tanpa disiplin dan latihan, maka jatuhnya menjadi ‘mediocre’ yang sedang-sedang saja. Sejak Republik ini didirikan, tokoh-tokoh dari Sumatera Utara telah muncul.
Ketiga, keunggulan kualitas seorang HS Dillon bagi saya adalah kemampuan membangun jaringan. Ini tidak gampang. Banyak kita orang Medan hanya berpuas diri jika bisa bersaling-sapa dengan teman-teman se kampung, atau se kampus. Jakarta adalah kota yang keras dan membuat orang bekerja tunggang-langgang, dari pagi sampai sore. Keadaan ini memang meletihkan, dan orang perlu istirahat berkumpul dengan keluarga, atau bermalas-malas pada saat akhir pekan.
Jaringan Abanganda Dillon ini luar biasa. Tidak sebatas USU atau Sumatera Utara semata, tetapi juga secara nasional maupun di panggung internasional. Kemampuan membentuk ‘jaringan’ ini tidak mudah. Banyak pengorbanan harus dilakukan, minimal ‘waktu’ dan tentu ‘energi’ bahkan ‘materi’.
Tiada kesuksesan yang dibangun tanpa ‘jaringan’ di era di mana tantangan kian menjadi-jadi. Pembentukan jaringan dan pemanfaatannya sering menjadi factor kunci dalam suatu keberhasilan. Jaringan berlapis-lapis ibarat labirin itu membentuk suatu ‘net-working; yang berpusat pada diri Anda. Pembentukannya tidak hanya ‘by design’ tetapi juga ‘by accident’, ketika Anda bertemu dengan orang di pesawat, di café, atau sekarang ini di media social yang kian marak.
Dengan jaringan, maka kita akan mudah menjangkau target dan menyampaikan pesan. Dalam pembentukan jaringan ini ada faktor manusia, tepatnya kualitas yang memainkan peranan. Kesetiaan, kejujuran, empati, keteguhan dalam prinsip, kelenturan dalam bersikap, dan tentu saja profesionalisme atau kompetensi unggul dalam suatu bidang akan memainkan peranan penting.
Saya sendiri memiliki ribuan teman yang senantiasa tetap terjalin komunikasi yang baik. Ada tempat bertanya, ada tempat berbagi, dan ada tempat untuk menjalin kerjasama sinergi, di mana pun, dan kapan pun. Yang saya sebut sebagai ‘teman’ di sini bukan semata karena saya menyimpan kartu nama, atau nomor mobile maupun email mereka saja. Tetapi adalah teman-teman dekat yang adakalanya kita atau mereka mau berbagi, termasuk hal-hal yang sifatnya pribadi dalam batas-batasnya. Mereka tidak sebatas teman sejawat, tetapi juga dari berbagai profesi —terutama terkait dengan kegiatan saya— baik dari dalam maupun luar negeri. Membentuk jaringan berarti harus ‘mau berbagi’ dan tentu tidak bisa egoistis mau menang sendiri.
Jaringan ini adalah ‘harga’ kita. Perusahaan atau asosiasi mau menyertakan kita karena salah satunya factor meluasnya jaringan yang dimiliki. Perpindahan seseorang dari perusahaan tidak sebatas memindahkan seseorang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Jaringan itu juga turut berpindah. Jaringan itu adalah asset yang sekarang bernilai komersial, jika memang itu dikehendaki.
“Bang Dillon itu ada di mana-mana,” kata seorang teman anak Medan yang bermukim di Jakarta. Itu saya benarkan. Dan tentu saja berteman dan hadir di mana-mana itu lebih dari sekadar ‘hobby’ tetapi suatu keperluan, suatu keniscayaan jika kita ingin tetap ‘stay tuned’ dengan dunia yang kita tekuni dan menghidupi kita.
Jadi saya mencatat 3 faktor di atas dan mendidik diri saya untuk mengikuti gaya bang Dillon. Saya dan kita wajar menjadi murid beliau. Resep keberhasilan ini perlu kita tiru dan amalkan dalam keseharian. Ini yang menjadi sumbangan terbesar dan manfaat yang saya peroleh dari pengamatan terhadap tokoh kita ini bang HS Dillon.
Selamat jalan, Abangda.
Jakarta, 17 September 2019