Kita berduka dengan berpulangnya ke hadirat Ilahi, wafatnya Abangda Dr. HS Dillon. Tokoh yang luar biasa, konsisten dalam membela dan mengangkat isu-isu yang menjadi kepentingan rakyat. Ya, rakyat kecil.
Bertemu dengan tokoh sekelas Dr. HS Dillon langka. Saya jumpa lagi ketika kami sesama alumni menghadiri HbH IKA USU di Tebet, Jumat (14/7) 2018. Pidato Bang Dillon bagus, sayang jika tercecer dan hilang; karena itu saya tulis kembali dgn tema: “Kebijakan PertanianPro-Rakyat: Relevankah?”
Wartawan cenderung pelupa. Karena itu catatan perlu, dan jangan tunggu lama, langsung menulis. Namun, sebelum saya publish artikel ini yang dalam bentuk aslinya Kultwit, saya kirim dulu ke beliau. Saya sadar ini isu menarik tetapi saya tidak memiliki ekspertise dan tidak ada background pengalaman di bidang pertanian, apalagi di isu pengentasan kemiskinan. Sebatas mengetahui hal-hal umum saja.
“Excellency, interesting narrative; I have inserted a few facts,
and tried to do justice to the protagonists. Thanks so much for highlighting the contributions made by our alumni. Salaaam, HSD”
Sore itu, Dillon didapuk berbicara. Beliau menyatakan reforma agraria yang pernah menjadi a success story, di Aek Nabara Sumut, sekitar tahun 1970-an.
Tokoh Harbrinderjit Singh Dillon, disingkat HS Dillon, otoritatif berbicara tentang nasib petani kecil selalu menginspirasi saya. Dillon menghabiskan usianya memperjuangkan kepentingan rakyat kecil. Tepatnya menyangkut pertanian dan perkebunan, dan keadilan
Passion Dillon thd keadilan rakyat merambah aktifitasnya pada masalah hak-asasi manusia – beliau pernah menjadi Anggota Komnas. Bertubuh tinggi dan bersorban, Dillon dikenal melebihi lingkup nasional, dan oleh media international dijuluki “a fearless campaigner of human rights”.
Bang Dillon, menjadi tokoh kunci yang turut merekam dari dekat lahirnya perkebunan rakyat berbantuan yang diprakarsai tokoh-tokoh pembaharu seperti Muluk Lubis, OB Siahaan, dan Rahman Rangkuty di Labuhan Batu, Sumatera Utara.
Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatra Utara (P3RSU)” didukung World Bank dgn nama“The North Sumatra Smallholder Development Project”. Karena sukses P3RSU, pak Harto tingkatkanke program nasional dlm bentuk Perkebunan Inti Rakyat, PIR, di Sumatra dan Kalimantan, didukung Jerman. Melalui P3RSU 1974, pemerintah menkavling dua perkebunan besar yang habis konsesinya, Londut dan Damuli, serta lahan PTP III kl. 1000 hektar di Aek Nabara, dan membagikan masing-masing dua hectare kepada para eks-pekerja perkebunan dan petani disekitar.
Niat untuk menolong rakyat kecil ini serius. Pemerintah membuat land clearing, penyediaan produksi bimbingan teknis sampai produksi. P3RSU berhasil memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peningkatan taraf hidup peserta yang berdampak pada ekonomi rakyat di sekitarnya
Ini yang menginspirasi pak Harto membuat program Perkebunan Inti Rakyat, PIR, yang juga berdampak positif, juga menjadi model bagi non-peserta PIR. Keberhasilan P3RSU dan PIR ini mendorong pem membuat “Program Kebun Plasma”, yang melibatkan swasta dgn core-nya penyediaan lahan bagi rakyat.
Ketika pengusaha mengurus HGU, mereka wajib menyerahkan sebagian tanah perkebunan untuk kepentingan rakyat: keberpihakan nyata. PKP sbg program pro-rakyat berkembang pesat, dan kemudian dikaitkan dgn Program Transmigrasi : PIR TRANS.
Namun, sayangnya program yang sukses dan sangat bermanfaat dalam meningkatkan kemakmuran rakyat dan budi daya kelapa sawit terhenti pasca reformasi. Bang Dillon memang well-versed jika bicara soal rakyat kecil, pertanian dan perkebunan yang menjadi bagian dari HAM; beliau menghabiskan usianya dlm urusan-urusan ini.
Dia sedih, penguasaan konglomerat pasca reformasi terhadap sekitar 80 persen tanah produktif melumpuhkan rasa keadilan bagi rakyat.
Beliau bercerita sawit berasal dari Brazil, dicoba Belanda di Bogor 1848 dan mulai perkebunan komersil 1911 di Tanah Itam Ulu, Pulau Raja, Sumut. Sawit masih diusahakan pd perkebunan besar, sampai di thn 1973 barulah dibudidayakan melibatkan petani (Pp3RSU).
Kemudian, sawit pun menjadi primadona ekspor; RI menjadi produsen terbesar dunia, namun rakyatnya kian miskin. Ini apa artinya?
“PIR-BUN diperkenalkan Bank Dunia via ‘’Nucleus Estate Smallholder (NES) 1977,” kata Dirut PTP XIII M. Abdul Ghani dalam orasi ilmiah FP USU thn 2016. Sbg proyek kerjasama Pemri – Jerman, dgn nama “Nucleus Estate Smallholder Participation (NESP) Ophir,” menurut penjelasan Abdul.
“Program Nasional PIR-BUN 1985 dikuatkan dgn Kepmentan No. 688/1985 tahun yang menggandeng program transmigrasi menjadi PIR-TRANS,” jelas Abdul. Dirut PTPN XIII itu menjelaskan, sampai tahun 1977 tercatat ada 1.148.726 hektare areal PIR terdiri dari 564.096 hektare PIR-BUN dan 584.630 hektare PIR-TRANS.
Dari luasan tersebut, areal Kebun Inti dibangun seluas 323.563 hektare dan areal Kebun Plasma seluas 823.163 hektare. Komoditas yang ditanam: sawit 765.019 ha, karet 260.763 ha, kelapa hibrida 89.597 hektare dan sisanya tebu, teh, kapas, dan kakao.
Dalam program tersebut, PTP membangun areal inti untuk sendiri dan areal plasma yang diperuntukkan bagi penduduk sekitar dan peserta program tranmigrasi. Sumut menjadi perintis investasi swasta pertama; spt Lonsum, Socfindo, Sipef, Bakrie, Asian Agri, Permata Hijau, Musim Mas, Wilmar dan sebagainya.
PIR menjadi bukti bhw petani juga mampu membudidayakan kelapa sawit, bahkan produksinya melebihi perkebunan besar, kata bang Dillon.
Dillon juga aktif berdiplomasi, sbg utusan khusus untuk membantu Jacques Diouf, Dirjen Food and Agriculture Organization (FAO) pada 1993. Anggota Consultative Committee Common Fund for Commodities, di Amsterdam, dan Vice President Asian Society of Agricultural Economist.
Lahir di Medan, 23 April 1945, bungsu dari tujuh bersaudara dari pasangan Partap Singh dan Dhan Kaur, pengusaha pertanian terkemuka di Sumut. Dillon kecil selalu concern dengan nasib petani, mengamati perjuangan hidup petani, orang desa, dan buruh perkebunan, yang sering ditindas.
“Sejak itu, saya sudah bertekad membantu mereka. Kita tidak menjadi bangsa yang kuat selama masyarakat pedesaan kita masih lemah,” katanya di suatu wawancara.
Ketika tamat sarjana pertanian di USU , Dillon menjadi penyuluh pertanian turun ke desa-desa, kemudian berkarier di Deptan. Pada 1983, Dillon meraih doktor ekonomi pertanian di Cornell University, Ithaca, New York.
Dia menulis disertasi berjudul “Growth with Equity: the Case of the North Sumatera Smallholder Development Project” pengalamannya mengutus PIR. Dillon aslinya aktifis, KAMI, Menwa, dan KNPI, bahkan di Cornell menjadi President Graduate Students of Agriculture Economics”.
Pada 1994, Dillon mendirikan Centre for Agricultural Policy Studies (CAPS); juga anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). HAM terkait dgn petani dan rakyat kecil krn konkret berjuang membela hak-hak mereka, spt pengalamannya dlm urusan pertanian.
Dillon juga menjadi anggota Dewan Ekonomi Nasional dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kepala Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK).
Di zaman Presiden SBY di tahun 2009, Dillon diangkat menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Penanggulangan Kemiskinan (UKP2K), jabatan setingkat menteri. Dia mengkritik pemerintah yang memanjakan konglomerat. Menurutnya orientasi APBN harus berubah untuk kesejahteraan rakyat kecil, khususnya petani.
“Seharusnya seluruh kebijaksaan yang kita susun, apa pun teknologi yang kita pilih, didasarkan pada kebutuhan dan kemampuan masyarakat,” katanya. Menurutnya di sektor ekonomi, kandungan impor agroindustri relatif kecil, sebaliknya potensi ekspor sgt besar dan sangat cerah.
Investasi agro industri penting, (1) mendorong pertumbuhan lbh merata krn padat karya, (2) mengurangi ketergantungan impor (3) meraih devisa besar.
Dalam orasi ilmiah di FP USU, Dillon mengatakan kunci kemajuan bangsa adalah mengasah telenta terdidik. Universitas sbg lahan subur tumbuhkan gagasan2 besar menyemai benih perjuangan demi kesejahteraan rakyat dan kejayaan bangsa
Ketika Jokowi menjadi presiden terpilih di tahun 2014, Dillon berpesan u/ wujudkan keadilan sosialyang hakiki dan substansial bagi rakyat
‘Jgn hanya di permukaan, tetapi lbh hakiki; ini persoalan serius mengapa lbh separuh rakyat kita masih miskin,” ujar Dillon.
“Saya pernah mendatangi seorang Menko. Saya tanya: “kapan kalian bagi tanah pada rakyat? Kenapa terus bagi tanah ke konglomerat?”
“Saya usul kpd Presiden Gus Dur, agar 30 % saham PTP diserahkan kepada buruh pekerja, dan 10 % untuk desa sekitar perkebunan; sayang belum jalan.”
“Pemerintah mengontrol BUMN, sbg instrumen kebijakan pemerintah, agar ada perbaikan substantif dalam soal pemberdayaan mereka”
“Kredit Usaha Rakyat/KUR jgn hanya u/petani kaya krn lbh terjamin; pem hrs intervensi di sini agar menjangkau petani miskin.”
“Semua bank mengklaim jalankan KUR, tapi nyatanya rakyat kecil tdk terima kredit; keberpihakan kepada rakyat ini yang kurang, menurut Dillon.
Tentang pendidikan, Dillon mengeluhkan kebijakan pemerintah kurang berpihak pada masyarakat ekonomi rendah; sehingga kini hanya keluarga mampu yang bisa menikmati jenjang pendidikan tinggi.
“Bahaya tdk diperbaiki, krn pendidikan alat u/ menghapus kesenjangan; sekarang justru meningkatkan kesenjangan,” kata Dillon.
“Pendidikan itu adalah mengajarkan bagaimana belajar, how to learn, how to think, bukan menerima cecokan apalagi indoktrinasi,” katanya.
“Pasar kini terlalu bebas, tanpa intervensi pemerintah habislah rakyat kecil dan orang miskin ini,” Dillon masygul.
Lihat China dan India, cukup maju dalam menyejahterakan rakyatnya, spt Taiwan dan Malaysia karena ada keberpihakan; padahal mereka tidak lebih pintar daripada kita. Lalu, kenapa rakyatnya lebih sejahtera dari kita?
Jawabannya: “Karena pemimpin dan kebijakan yang nyata berpihak kepada rakyat,” tegas Dillon.
Di Indonesia, dari 508 lebih kabupaten/kota hanya sekitar 25 bupati/walikota yang berkomitmen keberpihakan kpd rakyat kecil.
Masalah lain, kita terperangkap dlm kesombongan pendidikan formal mengklaim lebih pintar. Ilmu itu tidak ada gunanya jika tidak bermanfaat bagi rakyat.
“Kenapa saya masuk pertanian, karena pertanian itulah instrumen yang paling tepat jika kita seriusdgn nasib ; orang miskin itu awalnya ada di pedesaan
Kita sering terperangkap cara berfikir ala Barat, bhw urusan rakyat kecil sekedar masalah basic needs, lupa bhw rakyat memiliki kemampuan.
Kemiskinan itu dua, absolute dan relative; miskin absolut ketika itu orang tidak mampu perbaiki masa depannya; mereka pada dasarnya ‘dimiskinkan’. Banyak doktor pertanian, sayangnya kebanyakan tidak berpihak pada petani; tidak satupun UU yang pro petani, tunjukkan mana?
Yang terjadi sekarang bukan terjadi reformasi tapi deformasi. Kita perlu ingatkan pemerintah setiap saat agar arah pembangunan ini benar. Coba belajar, mengapa pak Harto berhasil dlm swasembada beras: dari mulai benih sampai dengan ke pemasaran diurus, beliau buat lembaga pendukung.
Sebelum masa tanam, pemerintah umumkan berapa harga pupuk, pestisida, dan harga gabah keringnya. Jadi petani sudah tau berapa banyak untungnya.
“Sebagian besar di Jawa ini bukan petani tapi buruh tani. Petani yang ada pun paling punya tanah satu baru 43%, buruh tani nggak punya tanah”
Dulu, bukan hanya sistem diperbaiki, tetapi juga cara berorganisasi, pak Harto buat berbagai kelompok yang senantiasa dipantau, ini luar biasa. Jangan alergi pada Orba, hal yang memang baik mengapa kita tidak belajar? Dan ini amanat UUD 1945: bagaimana membuat rakyat sejahtera dan cerdas.
Masalah kita tdk memiliki pemahaman utuh, holistik, begitu pula dlm pelaksanaan program masing2 jalan sendiri.
Transmigrasi bukan u/orang2 yang gagal di kota/Jawa, krn yang terjadi adalah pemindahan kemiskinan (struktural).
“Kalau mau sungguh2membangun kawasan luar Jawa, siapkan infrastrukturnya dan setiap wilayah hrs mampu mandiri, survive, sustainable.”
Raskin tujuannya meringankan penderitaan, jgn salah: bukan menanggulangi kemiskinan, itu sasaran interim. Kalau memang berniat: pengembangan agribisnis dan kelapa sawit bisa diwujudkan: atasi masalah internal dan eksternal.
Masalah internal ttg energi (BBM, LNG), harga pupuk, tersedianya bibit, inovasi teknologi: menggunakan bibit unggul dgn produksi lbh tinggi. Pemeliharaan tanaman kelapa sawit yakni pupuk, terjaminnya akses bahan baku akan menurunkan unit biaya produksi ini krusial.
Faktor eksternalnya adalah untuk ekspansi pengembangan kebun kelapa sawit yaitu benih kelapa sawit, pestisida, pupuk serta alat/mesin pertanian. Ketersediaan lahan = faktor utama pengembangan perkebunan kelapa sawit dan ketersediaan modal dan keamanan dari pencurian.
Peranan KUD membantu petani dpt menjalankan usahanya seperti yang dilakukan oleh P3RSU, termasuk masalah akses perkreditan. P3RSU merupakan bagian dari Unit Pelaksana Proyek (UPP) di thn 1970-an, yang berbeda dengan petani plasma dalam PIR yang tidak memiliki partner swasta.
Dlm pengolahan, pemasaran hasil perkebunan, dapat diatasi dgn kebersamaan atau soladaritas kelompok tani dan asosiasi petani sawit. Mempererat kerjasama anggota dan pengelola koperasi perlu dalam memasarkan TBS hasil perkebunan mereka ke PN/PTP, dan sebagainya.
Koperasi harus berperan dlm menunjang kegiatan usaha tani dalam penyediaan input produsi seperti pupuk dan obat-obatan dan peralatan. Pembicaraan kami menyentuh rencana Pres Jokowi untuk melanjutkan program sukses ini dengan menyatakan akan membagikan lahan 21,7 ha kepada rakyat
Tujuannya sama, bagian reforma agraria sekaligus redistribusi aset (tanah) negara kepada rakyat, untuk mengurangi kesenjangan ekonomi yang kian berbahaya. Lahan berasal dari 12,7 juta ha disiapkan KLH, dan 9 juta ha dari Kementerian Agraria TR/BPN, dengan target rakyat miskin, koperasi, serta pesantren.
Jokowi juga berjanji mempercepat pemberian sertifikat tanah kepada rakyat agar memperoleh akses.
“Ini bagus. Hendaknya semua pelajaran di masa lampau dijadikan guru. Pak Harto dan Pak SBY banyak merintis cara2 inovatif, bisa ditiru,” kata Dillon
Sepanjang mencapai tujuan keadilan, pemberdayaan dan keberpihakan kepada rakyat kecil, mudah-mudahan program pak Jokowi dapat terlaksana baik, tutup bang Dillon.
Medan, 19 September 2019