DI AMERIKA, penolakan terhadap lockdown tidak kurang dikampanyekan oleh Presiden Donald Trump. Ini bagian dari kampanye Pilpres?
Bisa jadi. Tetapi alasannya legitimate: ini tuntutan mayoritas penduduk Amerika. Lockdown juga berdampak keras terhadap ekonomi. Pengangguran bertambah belasan juta. It’s economy, stupid!, kata orang Amerika. Artinya, ekonomi menjadi batu sandungan.
Kepada siapa? Jelas kepada pemerintah. Apalagi incumbent Donald Trump masih berkeinginan terpilih kembali dalam Pilpres November 2020.
Saat ini telah lebih dari 6 juta kasus Covid-19 dilaporkan di seluruh dunia. Jumlah yang sembuh 2,5 juta orang namun sebanyak 368 ribu orang telah meninggal dunia.
AS merupakan negara yang paling parah terkena dampak Covid-19 dengan catatan kasus 1,7 juta orang. Lebih dari 103 ribu meninggal dunia.
Negara adi-kuasa dengan kelakuan negara-berkembang tengah terjadi? Ya, Saat status darurat karena pandemi virus corona (Covid-19) mulai diangkat, Amerika Serikat (AS) khawatir datangnya gelombang penyebaran kedua dari demonstrasi dan aksi protes terkait kematian George Floyd yang berlangsung pekan ini.
Floyd adalah seorang warga kulit hitam Afrika-Amerika yang diperiksa polisi dan diduga mendapat kekerasan lantaran dilaporkan memakai uang palsu saat berbelanja.
Lalu, demonstrasi pecah di banyak kota. AS saat ini memperpanjang aturan jam malam untuk 25 kota di 16 negara bagian. Keisha Lance Bottoms, Wali Kota Atlanta, salah satu lokasi demonstrasi dilakukan menyatakan, “Jika Anda demonstrasi tadi malam, Anda mungkin perlu mendapatkan tes Covid pekan ini”.
Demonstrasi merupakan aktivitas warga yang bertentangan dengan imbauan jaga jarak fisik dan berpotensi menjadi sumber baru penularan Covid-19.
AP News memberitakan ahli medis khawatir orang tanpa gejala bisa menularkan virus ketika banyak orang berdekatan sambil teriak dan tak menggunakan masker.
Tetapi mengapa mereka marah? Warga yang mengamuk ini frustrasi setelah berbulan-bulan lockdown. Padahal bantuan kepada warga berjalan baik.
“Apakah mereka marah atau tidak itu tidak mencegah mereka dari tertular virus,” kata Bradley Pollock, Chairman Department of Public Health Sciences at the University of California.
“Itu tidak OK di tengah pandemi kita harus keluar membahayakan diri. Tapi saya harus protes demi hidup dan berjuang demi hidup sepanjang waktu,” ucap Spence Ingram, wanita kulit hitam yang beraksi di Atlanta.
Ekonomi semakin parah, ancaman penyebaran Covid-19 semakin tidak terkontrol. Pihak otoritas kesehatan sudah memperingatkan demonstrasi hampir pasti mendorong kasus baru penyebaran Covid-19. Minnesota melaporkan pada 35 orang meninggal karena Covid-19 pada Kamis dan 29 orang lainnya pada Jumat.
“Kita punya dua krisis yang jadi sandwiched di atas yang lainnya,” kata Wali Kota Minneapolis Jacob Frey.
Saat ini telah lebih dari 6 juta kasus Covid-19 dilaporkan di seluruh dunia. Jumlah yang sembuh 2,5 juta orang namun sebanyak 368 ribu orang telah meninggal dunia. AS merupakan negara yang paling parah terkena dampak Covid-19 dengan catatan kasus 1,7 juta orang. Lebih dari 103 ribu meninggal dunia.
Apa pelajaran yang bisa kita tarik dari kerusuhan dan penjarahan di Amerika?
Pertama, jika penduduk Amerika yang lebih berpendidikan dan lebih sejahtera dengan dukungan dana kuat negara bisa seperti itu marahnya maka negara-negara berkembang seperti Indonesia mungkin situasinya jauh lebih parah.
Ini menyimpan kemarahan, seperti kita dengar sehari-hari di jalanan di Jakarta. Ini menyimpan lava frustrasi yang siap meletus dahsyat.
Kedua, tekanan ekonomi lebih besar dirasakan rakyat Indonesia daripada rakyat Amerika. Selagi belum ada jalan keluar dari kesulitan ekonomi yang setiap hari kian membesar dan menekan Pemerintah, maka letusan potensial ini persoalan waktu: sooner or later.
Ketiga, situasi dan provokasi kesulitan ekonomi ini ditambah pula dengan persoalan keadilan, ketika pemerintah menangkapi, meneror bahkan membiarkan ancaman pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak puas dengan ketidakmampuan pemerintah mengatasi Covid-19.
Jika para kritisi ini dianggap dari bukan berada di pihak pemerintah, dengan cepat polisi bertindak, seperti kasus Rusli Buton, meskipun dia hanya menyuarakan aspirasinya. Tanpa tindakan makar. Ini membubuhi kemarahan rakyat dan pendukung Rusli Buton.
Di kalangan umat, rasa marah dan frustrasi ini masih dirasakan kian memberat karena pemerintah membiarkan aksi-aksi penghinaan dan penistaan terhadap Islam dan pelakunya bebas.
Ditambah pula semakin banyak tokoh-tokoh yang kecewa karena permisif-nya pemerintah dengan semakin banyak duduknya tokoh-tokoh keturunan PKI di pemerintahan dan kini para keturunan PKI ini secara terang-terangan berani menghina ulama dan Islam.
Harus diingat pula, mayoritas pendukung Prabowo dalam Pilpres 2019 yang lalu masih belum puas, karena tuduhan kecurangan pemilu belum dijawab dengan tuntas. Mereka masih ingat hasil Pilpres diketuk di tengah malam oleh Komisioner KPU Wahyu yang kini bermasalah hukum.
“Ini bukan sebatas integritas dan kejujuran Wahyu semata. Ini sudah menyangkut keabsahan keputusan KPU yang sampai di titik akhir tidak membuka secara trasnparan proses dan prosedur kerja KPU,” kata seorang pengamat kepada saya.
Empat faktor di atas, merupakan kompilasi dari rasa marah dan frustrasi di kalangan rakyat. Ini jauh lebih besar dari kemarahan dan frustrasi rakyat Amerika yang di-trigger oleh kematian sia-sia Floyd yang kebetulan berkulit hitam. SARA adalah jualan yang paling laris, di tengah-tengah lemahnya integritas dan kompetensi pemerintah menangani Covid-19 dan penegakan hukum, yang istilah Pak SBY: ‘tebang-pilih’.
Maka, meletusnya kemarahan ini bisa hanya menunggu waktu: sooner or later. Cukup satu trigger kecil, maka kemarahan serupa rakyat Amerika akan menemukan way-outnya. Dari kemarahan soal penistaan dan penghinaan ulama dan umat, atau para keturunan PKI ini men-trigger kemarahan maka warga akan turun ke jalan. Meskipun Covid-19 masih mengancam. Persis seperti dialami Amerika.
Dari demo anti-penistaan dan anti-PKI dengan mudah para pemrotes ini ditunggangi dan diarahkan ke mal-mal, toko bahkan warung di kampung.
Kita sudah mengalami seperti apa penjarahan terjadi di tahun 1998. Ini tak boleh terulang.
Resepnya? Pemerintah harus alert, waspada, dan jangan membiarkan rasa keadilan rakyat dan umat terkoyak-koyak. Kemarahan lepas kontrol sangat berbahaya sekarang ini.
Seperti dikatakan oleh Wali Kota Minneapolis Jacob Frey tadi: “Kita menghadapi dua krisis: corona dan ekonomi yang menjadikan pemerintah sandwiched .
Ya, dari awal kita sepakat. Krisis global ini ibarat pedang bermata dua: a double-edged sword. Corona membunuh manusia, dan menghancurkan ekonomi. Kombinasi keduanya menjadi magma di gunung berapi. Ya, magma ini menunggu waktunya. Dia perlu pemantik: a trigger.
Jangan bermain-main dengan situasi sekarang ini. Jangan coba entertain trigger yang berpotensi menyulut kemarahan rakyat, baik dari buzzeRp maupun bukan, pesan pengamat poltik kepada saya.
Oleh: Haz Pohan, Pemred DNI
Discussion about this post