Oleh: Haz Pohan*
BERAKHIRNYA Perang Dunia II di tahun 1945 melahirkan Amerika Serikat sebagai super power baru menggantikan Inggris. Pax Britanica digantikan dengan Pax Americana, menempatkan kedua negara ini pada puncak kekuatan dan kekuasaan dalam tata dunia, pada zamannya.
Setelah lebih dari 70 tahun, waktu yang cukup panjang, akankah Pax Americana berakhir dengan bangkitnya kekuatan baru: RRT? Akankah Pax Americana digantikan oleh Pax Sinica, atau tata-dunia di bawah kepemimpinan China.
Sebelum pandemic Covid-19, pergantian ini seperti inevitable, tak terhindarkan. Tetapi Covid-19 adalah the game-changer. Agenda China menjadi berantakan, tulis saya dalam beberapa artikel sebelumnya.
Spekulasi munculnya Pax Sinica sebelumnya beralasan. Selama 20 tahun terakhir ini, kita menyaksikan penurunan peran AS sebagai negara adidaya justru sejak kehancuran Blok Timur pada saat rubuhnya Tembok Berlin di awal tahun 1990-an.
Ekspansi militer AS di banyak bagian di dunia memang telah membantu kebangkitan kekuatan ekonomi AS, yang menempatkan porsi produk persenjataan begitu signifikan, mencapai 25-40%, kata SIPRI.
Tetapi, kebijakan kapitalisme juga mendorong pengurangan biaya produksi di manapun tempat itu ada. Reformasi Deng Xiao Ping membuka China. Dalam beberapa decade terjadi transformasi China dari salah satu ekonomi yang tak dianggap kini berubah menduduki tempat kedua, setelah Amerika. Dan, kedudukan ini pun diramalkan segera berubah: China menggantikan Amerika sebagai kekuatan ekonomi terbesar dunia.
Ekonomi China kuat secara global mendorong meningkatnya peran politik internasionalnya. Ini juga yang mendorong sikap agresifitas di Laut China Selatan dan di Pasifik. Untuk melindungi kekuatan ekonomi, China tak lupa membangun kekuatan militer secara signifikan.
Karena itu, China berani menantang Amerika di politik, ekonomi global. Kekuatan militer terus dibangun, meskipun secara paritas masih jauh tertinggal dibandingkan dengan persaingan dan pacuan senjata (arms race) antara Amerika dan Uni Soviet pada masa lampai.
China telah bangkit menjadi kekuatan ekonomi baru dan sekarang menjadi kekuatan militer baru yang mengancam Amerika di Pasifik, di mana negara-negara kunci di kawasan ini adalah sekutu Amerika.
Tiba-tiba muncul pandemi coronavirus. Keadaan berubah drastis. Perdagangan global terhenti, maka produksi global juga berhenti. Virus itu munculnya dari China, sehingga ada spekulasi bahwa virus ini berasal dari laboratorium militer China dalam rangka pengembangan senjata biologis dalam rangka mengubah ‘power equation’ dalam pacuan senjata dengan Amerika.
Amerika dengan 6 ribu hulu ledak nuklir bukanlah imbangan China yang hanya memiliki sekitar 250 hulu ledak. Ini harus diimbangi dengan senjata biologis yang ternyata efektif dan menakutkan, begitu teori konspirasi marak di saat Covid-19 ini.
Para pengamat berpandangan, krisis ekonomi dan minyak dapat menyebabkan periode ketegangan yang lebih tinggi antara AS dan Cina.
Tetapi dengan meningkatnya friksi ekonomi, politik bahkan militer antara AS-Cina, dengan aliansi yang berubah dan trend di geopolitik baru, maka risiko terjadinya konfrontasi regional yang keras kemungkinan besar akan meningkat. Ini terlambat disadari oleh Presiden Trump.
Kini Amerika sedang bersiap memasuki era Presiden Joe Biden. Dari awal China khawatir. Siapapun yang menang tidak lebih baik bagi China. Ditambah dengan platform Partai Demokrat: demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup maka agenda tekanan Amerika terhadap China akan meningkat.
Tanpa memberikan jawaban kuat, Amerika akan kehilangan leadershipnya di dunia. Lawan satu-satunya adalah China. Ini harus dicegah, kata para pemikir di Washington DC. Dan, teater baru itu berada di Pasifik. Di sini ada beberapa hotspots: Hongkong, Taiwan, dan Laut China Selatan.
Apa rencana Amerika ke depan dalam pemerintahan Joe Biden?
Amerika Serikat (AS) telah menyusun rencana setebal 74 halaman yang menguraikan ancaman dan tanggapan yang diperlukan untuk melawan tantangan yang disajikan oleh China. Salah satu cara Washington tersebut adalah dengan tetap mempertahankan peran leadership-nya di tataran global.
“Memenuhi tantangan China mengharuskan Amerika Serikat untuk kembali ke fundamental,” bunyi dokumen tersebut yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri AS, sebagaimana dikutip Reuters, Sabtu (21/11/2020).
Dokumen berjudul “Elements of the China Challenge” tersebut mencantumkan sepuluh tugas berbeda yang diperlukan untuk memastikan AS mempertahankan tempatnya dalam apa yang disebutnya era baru persaingan kekuatan besar.
Di akhir kepemimpinannya, Presiden Donald Trump membatalkan upaya puluhan tahun untuk bekerja sama dengan China dan menyatakannya sebagai rival strategis. Maka, hubungan kedua negara sejak itu jatuh ke level terendah dalam beberapa decade lalu AS harus fokus melawan upaya Beijing yang siap menyebarkan pengaruhnya secara global.
Washington telah mengambil tindakan untuk membatasi aktivitas perusahaan teknologi China, menjatuhkan sanksi kepada pejabat China atas tindakan keras terhadap minoritas Muslim Uighur dan gerakan demokrasi Hong Kong. Washington juga mendesak negara-negara di dunia untuk bekerja sama dalam menghadapi ancaman keamanan yang ditimbulkan oleh China.
Beijing mengecam upaya tersebut yang disebutnya sebagai “mentalitas Perang Dingin”.
Ada sepuluh kebijakan yang akan diambil oleh Administrasi Joe Biden, seperti termaktub dalam dokumen yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri.
Pertama, amankan kebebasan di AS dengan menjaga pemerintahan konstitusional dan membina masyarakat sipil yang kuat. Situasi hubungan harmoni internal Amerika banyak dirusak di era Trump. Hubungan etnis rasial menjadi memburuk.
Kedua, mempertahankan keunggulan militer Amerika menjadi yang paling kuat, gesit, dan canggih di dunia serta kembali meningkatkan kerjasama keamanan dengan sekutu dan mitra. Banyak complain dari sekutu dan teman Amerika karena kebijakan ‘America First’ Presiden Trump. Amerika mau menang sendiri.
Ketiga, membentengi tatanan internasional yang bebas, terbuka, dan berdasarkan aturan, yang terdiri dari negara-bangsa yang berdaulat dan berdasarkan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kesetiaan pada supremasi hukum. Joe Biden akan mengembalikan semangat multilateralisme, sebagai ganti dari kebijakan Trump ‘unilateralisme’.
Keempat, mengevaluasi kembali sistem aliansi dan organisasi internasional di mana AS berpartisipasi untuk menentukan di mana mereka menguntungkan AS dan di mana Amerika gagal. Ini diperlukan untuk menghidupkan kembali global leadership Amerika.
Kelima, memperkuat sistem aliansi dengan berbagi tanggung jawab secara lebih efektif dan membangun yang baru yang berakar pada kebebasan, demokrasi, kedaulatan nasional, hak asasi manusia, dan supremasi hukum.
Keenam, mempromosikan kepentingan AS yang tetap membuka peluang kerjasama dengan Beijing. Namun, hubungan Kerjasama itu mesti tunduk pada norma keadilan dan timbal balik, membatasi dan menghalangi China ketika keadaan mengharuskan dan mendukung mereka yang mencari kebebasan di China.
Ketujuh, mendidik warga AS tentang ruang lingkup dan implikasi dari tantangan China karena ini adalah satu-satunya cara agar mereka dapat mendukung campuran kompleks dari tuntutan kebijakan yang harus diadopsi AS untuk mengamankan kebebasan. Amerika akan mengaktifkan kembali elemen diplomasi ‘soft power’.
Kedelapan, melatih generasi baru pegawai negeri—dalam diplomasi, urusan militer, keuangan, ekonomi, sains dan teknologi, dan bidang lain—dan pemikir kebijakan publik yang tidak hanya fasih berbahasa Mandarin dan memperoleh pengetahuan luas tentang budaya dan sejarah China, tetapi yang juga fasih berbahasa, dan memperoleh pengetahuan luas tentang budaya dan sejarah. Ini yang disebut dengan kombinasi dari semua faktor: hard, soft, dan smart power.
Kesembilan, reformasi pendidikan AS, lengkapi pelajar untuk memikul tanggung jawab kewarganegaraan dalam masyarakat yang bebas dan demokratis dengan memahami warisan kebebasan Amerika. Mempersiapkan mereka untuk memenuhi tuntutan khusus era informasi yang kompleks, ekonomi global untuk keahlian di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika.
Kesepuluh, memperjuangkan prinsip kebebasan melalui teladan. Sanksi mungkin diperlukan dalam keadaan yang lebih sulit serta dalam bentuk tekanan non-militer lainnya. Jika kepentingan vital negara dipertaruhkan dan semuanya gagal, kekuatan militer juga dapat digunakan.
Dalam dokumen tersebut, Washington mengutip “kecerobohan” China dalam membiarkan virus corona menyebar ke seluruh dunia dan menyebabkan salah satu pandemi paling mematikan dalam beberapa dekade.
“Beijing mengambil bagian dalam kampanye disinformasi untuk menutupi tanggung jawabnya,” bunyi dokumen tersebut.
“Namun banyak orang kurang memiliki pemahaman yang tepat tentang karakter dan ruang lingkup tantangan China.”
Departemen Luar Negeri AS menuduh China mengembangkan kemampuannya dengan tujuan jangka panjang untuk mencapai keunggulan global dan menempatkan cap sosialis pada tatanan dunia. Amerika sadar, di balik semua agenda dengan propaganda ‘peaceful rise’ ada kepentingan ideologis dalam jangka-panjang: tata global terbuka, demokrasi, hak asasi manusia harus digantikan dengan sistem komunis China yang yakin pada akhirnya kapitalisme akan dikalahkan. Tujuan menjadikan dunia di bawah sistem komunis, sosialis, represif masih menjadi tujuan utama China.
Departemen itu juga memuji keputusan pemerintahan Trump untuk memutuskan kebijakan konvensional dan mengembangkan strategi baru China.
Kenapa dokumen ‘buku putih’ ini dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS? Tidak lain adalah untuk meninjau kembali berbagai kebijakan yang berlaku selama ini dan mengatur strategi untuk tujuan jangka-panjang, difokuskan untuk menguraikan elemen-elemen tantangan China, dan membuat sketsa kerangka kerja untuk membentuk kebijakan yang kokoh yang berdiri di atas pertengkaran birokrasi dan pertempuran antar-lembaga dan melampaui siklus pemilihan jangka pendek.
Tujuan utama Amerika Serikat seharusnya adalah untuk mengamankan kebebasan, sebagai esensi dari Pax Americana.
Jika Amerika konsekuen dengan paradigma baru tantangan global yang berasal dari fatkor China dan melakukan kebijakan dan langkah-langkah pencegahannya maka dunia akan lebih damai.
Akankah China lebih agresif mem-bully negara-negara di Asia Pasifik yang bukan pendukungnya?
*Haz Pohan adalah Pemimpin Redaksi DNI
Discussion about this post