BELUM ada pakar yang menyimpulkan bahwa konflik perbatasan negara di Ladakh bisa menyulut perang antara India – China. Perundingan tetap berlanjut, konflik di lapangan juga bisa tejadi seketika. Tetapi untuk menyimpulkan konflik ini serius belum menunjukkan tanda-tandanya. Apalagi, situasi Covid-19 perhatian dan dana masih tersedot menjadi prioritas.
Namun ada beberapa prakiraan menarik untuk dicermati.
Meski jumlah anggota militer India jauh lebih banyak dibanding Cina yang memiliki jumlah penduduk lebih besar, Negara Tirai Bamboo itu punya kelengkapan alat utama system senjata (Alutsista) yang lebih unggul dalam jumlah. Selain itu anggaran pertahanan Cina yang empat kali lipat anggaran pertahanan India juga akan berpengaruh bila perang benar-benar terjadi.
Sebagaimana kita ketahui, korban jiwa sudah jatuh di kedua belah pihak. Dalam konflik terakhir di perbatasan kedua negara, 20 orang prajurit India tewas, demikian pula beberapa anggota pasukan Cina. Hal itu membuat perang bisa pecah sewaktu-waktu jika gesekan yang lebih besar tak terhindarkan.
India dan China merupakan dua negara tetangga yang sama-sama dihuni oleh lebih dari 1 miliar penduduk. Militer keduanya juga masuk ke dalam top 10 terkuat di dunia versi Global Fire Power. Kekuatan militer Cina disebut-sebut berada di peringkat ketiga setelah Amerika Serikat (AS) dan Rusia. Sementara, posisi India tepat membuntuti Cina.
Tanpa Covid-19 dan dampaknya terhadap ekonomi dan keuangan China, negeri ini mampu mendongkrak anggaran pertahanannya hingga 6,6 persen untuk tahun ini menjadi RMB 1,268 miliar atau setara dengan US$ 178,6 miliar. Perhitungan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) anggaran militer Cina tahun ini mencapai US$261 miliar.
Menurut Global Firepower, Cina memiliki 21.830.000 serdadu aktif dan 510.000 pasukan cadangan. Sebaliknya, India diperkuat oleh 14.440.000 tentara dan 210.000 prajurit pelapis.
Dari sisi kekuatan Angkatan Darat, Cina memiliki 3.500 tank, 33.000 kendaraan artileri mobilitas tinggi (self-propelled artillery), artileri tarik (towed artillery) 3.600 unit, 2.650 peluncur roket. Musuhnya, India, punya 4.292 tank, 8.686 kendaraan lapis baja (armoured vehicles), 4.060 artileri tarik, dan 266 peluncur roket.
Di lini Angkatan Udara, total pesawat udara Cina mencapai 3.444 unit, yang terbagi atas 1.232 pesawat tempur, 371 pesawat pembom, 224 pesawat transpor, 314 pesawat latih, 111 pesawat untuk misi khusus, 911 helikopter dan 281 helikopter serbu.
Sedangkan India memiliki 2.141 pesawat. Terdiri dari 538 pesawat tempur, 172 pesawat pembom, 250 pesawat transport, 359 pesawat latih, 77 pesawat untuk misi khusus, 722 helikopter serta 23 helikopter serbu. Cina juga unggul dalam jumlah pangkalan udara, yakni sebanyak 507 berbanding 346 yang dimiliki India.
Selain itu Cina saat ini memiliki dua kapal induk, 36 destroyer, 52 frigat, 50 korvet, 74 kapal selam, 220 kapal patrol, dan 29 kapal pemburu ranjau. Di sisi lain, India diperkuat oleh sebuah kapal induk, 10 destroyer, 13 figat, 19 korvet, 16 kapal selam, 139 kapal patrol dan tiga kapal pemburu ranjau.
Namun jangan lupa, merujuk data SIPRI 2020, Cina mempunyai 320 hulu ledak nuklir, sedangkan India memiliki ‘hanya’ 150 senjata pemusnah masal.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, ada empat alasan mengapa India cenderung melanjutkan konflik perbatasan ini sebagai pretext untuk berperang melawan China, begitu analisis Amit Gupta di The National Interest. Pertama, ada fakta bahwa (tidak seperti populasi Eropa yang menua) India adalah negara berpenduduk muda dengan usia rata-rata 27 tahun.
Oleh karena itu, menurut analisis Amit Gupta di The National Interest, lapangan pekerjaan berperan penting untuk pencegahan kerusuhan skala besar, sementara perang yang semakin melemahkan ekonomi tidak akan banyak membantu.
Kedua, India bersikap tepat dengan memperkuat sepanjang perbatasan dengan baik dan oleh karena itu akan sulit untuk diusir dari posisi mereka. India merasa yakin tidak akan ada lagi perang seperti pada 1962, ketika Cina menyerbu posisi India dan jauh memasuki wilayah India.
Ketiga, masyarakat internasional tidak akan memberikan dukungan yang substansial kepada India, dan sebaliknya cenderung mengadopsi posisi netral dalam konflik. Perilaku hegemonik China juga tidak diterima oleh masyarakat internasional.
Keempat, hanya orang gila yang berfikiran konflik habis-habisan untuk sesuatu yang sebenarnya mudah diselesaikan secara negosiasi. Sekalipun isu perbatasan negara sensitif, tetapi para diplomat, akademisi, dan pengambilan keputusan tidak diserahkan sepenuhnya kepada tentara. Akan ada tindakan rasional dari pemimpin kedua negara untuk tidak menyulut perang di kalan Covid-19 masih mengancam kedua negara.
Dituliskan kembali dari berbagai sumber oleh: Haz Pohan, Pemred DNI
Discussion about this post