JIKA kita melihat siaran TV Myanmar, tampak kehadiran tentara di berbagai kehidupan dan kegiatan pemerintah. Ya, kehadiran tentara dalam politik Myanmar bukan hal yang baru. Tentara, atau kini disebut sebagai junta militer, atau penguasaan politik oleh tentara ternyata masih kuat mencengkeram Myanmar.
Pemandangan itu mirip sekali ketika Indonesia berada di bawah kekuasaan ABRI (sekarang TNI), tentara berseragam hadir dalam berbagai acara pemerintah dari tingkat pusat sampai tingkat Kecamatan. Itulah fitur yang masih hadir sampai sekarang di Myanmar.
Angin demokratisasi di negeri itu berjalan setengah hati. Peranan NLD, partai yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi secara de-facto memang diakui secara terbatas meskipun partai ini memenangkan pemilu.
Sejarah ‘dwi fungsi’ tentara Myanmar
Militer Myanmar atau Tatmadaw telah menjadi institusi paling kuat Myanmar, yang sebelumnya disebut Burma sejak negara merdeka dari Inggris pada 1948. Ayah pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, Aung San mendirikan Tentara Nasional Burma dengan bantuan dari Jepang pada awal 1940-an.
Di Indonesia, para pengamat politik menjuluki Myanmar sebagai penganut setia ‘dwi fungsi ABRI’ doktrin politik di zaman Orde Baru. Sayangnya, ketika Indonesia mereformasi TNI dan meletakkannya untuk fungsi pertahanan negara di tahun1998, Myanmar masih bertahan dengan konsep yang sering disalahgunakan untuk ‘supremasi militer’ dan pelanggaran HAM.
Kudeta militer yang baru terjadi mengonfirmasi bahwa tentara Myanmar belum mereformasi dirinya, di tengah gencarnya demokratisasi dan kembalinya kekuasaan sipil atas tentara.
Dalam media berita Al Jazeera, disebutkan Jenderal Aung San dibunuh pada 1947. Warisannya tetap hidup di militer. Tatmadaw terus mendapatkan dukungan publik yang kuat di tahun mendatang sebagai institusi yang membebaskan bangsa dari penindasan kolonial.
Sejak awal, militer mengontrol tanpa kendali atas politik negara. Hal itu diamati oleh sejarawan Burma terkenal Thant Myint-U dalam bukunya yang terbaru, The Hidden History of Burma: Race, Capitalism, and the Crisis of Democracy in the 21st Century, “Negara modern Burma lahir sebagai negara pendudukan militer.”
Setelah periode semi-demokrasi yang singkat, militer yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win menguasai Burma melalui kudeta pada 1962. Setelah kudeta, militer segera melarang semua partai oposisi dan menasionalisasikan industri dan bisnis utama negara itu.
Militer juga memperkenalkan “Jalan Burma menuju Sosialisme” yang terkenal. Itu adalah sebuah ideologi yang mengakibatkan kehancuran ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan hampir isolasi total Myanmar dari komunitas internasional.
Pada 1988, rakyat Burma yang dipimpin oleh para aktivis mahasiswa, melakukan protes nasional terhadap salah urus ekonomi oleh junta militer dan menuntut reformasi demokrasi. Protes tersebut ditanggapi dengan tindakan keras militer yang brutal, di mana sebanyak 5.000 orang tewas.
Militer berhasil menghentikan protes, tetapi gagal membungkam seruan yang berkembang untuk demokrasi. Militer kemudian kehilangan hampir semua dukungan publik saat itu. Pada tahun yang sama, Aung San Suu Kyi mendirikan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan mulai menekan pemerintah militer untuk mengadakan pemilihan.
Menyerah pada tekanan domestik dan internasional, militer mengadakan pemilihan, yang dimenangkan oleh NLD dengan telak. Namun, junta menolak untuk mengakui hasil tersebut dan malah menempatkan Aung San Suu Kyi sebagai tahanan rumah. Tatmadaw berjanji untuk mengadakan pemilihan baru dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sipil setelah menyusun konstitusi baru, tetapi gagal melakukannya selama 18 tahun.
Setelah memerintah negara selama hampir dua dekade, Tatmadaw sendirian menyusun konstitusi baru pada 2008. Kemudian mengadakan referendum konstitusional yang kontroversial tanpa partisipasi kelompok oposisi mana pun, dan hanya dua hari setelah Topan Nargis melanda seluruh negara.
Konstitusi baru mempertahankan kendali militer atas pemerintah dengan menyediakan 25 persen dari semua kursi di parlemen nasional dan lokal untuk melayani pejabat militer. Pengaturan ini juga memberi Tatmadaw kekuatan de facto untuk memveto setiap reformasi konstitusional yang diajukan oleh legislator sipil.
Di bawah konstitusi baru, yang masih berlaku hingga saat ini, militer juga mempertahankan kendali atas pertambangan, industri minyak dan gas negara, dengan demikian menjamin aliran sumber daya yang berkelanjutan. Pengaturan ini memberi Tatmadaw kemerdekaan finansial penuh, dan memungkinkannya dengan mudah menolak seruan internasional dan domestik untuk reformasi selama bertahun-tahun.
Sebuah laporan oleh Amnesty International pada 2020 mengungkapkan bahwa Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) telah meraup 18 miliar dolar AS antara 1990 dan 2010 melalui bisnis yang dikendalikan militer. Itu menginvestasikan sebagian besar pendapatan kembali ke anggaran militer.
Represi berkelanjutan militer terhadap kelompok etnis minoritas yang memperjuangkan hak-hak dasar kewarganegaraan dan kecenderungan untuk memenjarakan aktivis, jurnalis atau politisi yang menentang otoritasnya, telah membuatnya kehilangan dukungan publik yang signifikan selama bertahun-tahun. Namun demikian, Tatmadaw masih menikmati beberapa daya tarik di Myanmar sebagai pembela kedaulatan nasional terhadap ancaman eksternal dan domestik.
Baru-baru ini, klaim bahwa Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) meningkatkan dukungan populer untuk militer. ARSA adalah sebuah kelompok bersenjata yang memperjuangkan hak-hak Rohingya, melakukan serangan teroris dengan bantuan pejuang asing di Negara Bagian Rakhine barat.
Konsekuensi operasi pembersihan Tatmadaw yang menargetkan warga sipil Rohingya pada 2016-2017 didukung oleh mayoritas publik Burma. Penumpasan berdarah itu terjadi meskipun serangan tersebut didefinisikan sebagai pembantaian dan bahkan sebagai genosida oleh banyak orang di komunitas internasional.
Para pembela militer di Myanmar sebagian besar berasal dari mayoritas etnis Bamar, yang memandang diri mereka sebagai pewaris sah kerajaan masa lalu Burma. Tentara juga “membeli” dukungan rakyat dengan memberikan sumbangan yang mewah kepada Sangha Buddha, atau komunitas, dan mendanai pembangunan sekolah biara.
Indonesia menjadi negara paling berpengaruh di ASEAN terhadap Myanmar. Ketika di tahun 2015 Myanmar mendapat tekanan internasional bahkan diusulkan agar dikeluarga dari ASEAN, Indonesia tampil membela Myanmar.
Indonesia secara persuasive berhasil meyakinkan negara-anggota ASEAN secara bersama ‘membela’ Myanmar. ASEAN kemudian berhasil meyakinkan masyarakat internasional akan mengawal proses demokratisasi Myanmar melalui kebijaan ‘constructive engagement’.
Jubir Departemen Luar Negeri (Deplu) Marty Natalegawa pada saat itu mengatakan belum ada wacana meminta Myanmar keluar dari anggota ASEAN menyusul pemecatan PM Myanmar Jenderal Khin Nyunt oleh rezim militer terkait kasus korupsi.
“Justru kita merasa keanggotaan Myanmar dalam ASEAN lebih baik dibanding Myanmar keluar dari ASEAN. Kita ingin ASEAN menjadi faktor positif dalam mendorong demokratisasi di Myanmar.”
Ditulis Kembali oleh: Haz Pohan, Pemred DNI
Discussion about this post