Daily News Indonesia – PEMBERONTAKAN Muslim Thailand untuk memperoleh otonomi luas bukan hal baru. Gerakan separatis ini mencoba meraih kemerdekaan di Thailand selatan.
Pemberontakan Thailand Selatan adalah konflik yang sedang berlangsung yang berpusat di Thailand selatan. Ini berawal pada tahun 1948 sebagai pemberontakan separatis etnis dan agama di Wilayah Patani Melayu yang bersejarah, terdiri dari tiga provinsi paling selatan di Thailand dan bagian dari provinsi keempat, tetapi telah menjadi lebih kompleks dan semakin keras sejak 2001.
Bekas Kesultanan Pattani, yang meliputi provinsi Pattani (Patani) Thailand selatan, Yala (Jala), Narathiwat (Menara) —juga dikenal sebagai tiga Provinsi Perbatasan Selatan (SBP) —sebagai bagian dari Songkhla yang berdekatan Provinsi (Singgora), dan bagian timur laut Malaysia (Kelantan), ditaklukkan oleh Kerajaan Siam pada tahun 1785 dan, kecuali untuk Kelantan, telah diperintah oleh Thailand sejak saat itu.
Meskipun kekerasan separatis tingkat rendah telah terjadi di wilayah ini selama beberapa dekade, kampanye ini meningkat setelah tahun 2001, dan meningkat pada tahun 2004.
Pada Juli 2005, Perdana Menteri Thaksin Shinawatra mengambil alih kekuasaan darurat untuk menangani kekerasan selatan, tetapi pemberontakan semakin meningkat. Pada 19 September 2006, junta militer menggulingkan Thaksin Shinawatra dalam kudeta. Junta menerapkan perubahan kebijakan utama dengan mengganti pendekatan Thaksin sebelumnya dengan kampanye untuk memenangkan “hati dan pikiran” para pemberontak.
Meskipun sedikit kemajuan dalam membatasi kekerasan, junta menyatakan bahwa keamanan meningkat dan bahwa perdamaian akan datang ke wilayah tersebut pada tahun 2008. Namun, pada bulan Maret 2008, jumlah korban tewas melebihi 3.000.
Wilayah Thailand selatan dikenal dengan nama Patani, kebanyakan yang tinggal di sana adalah Muslim Melayu dan mereka punya kerajaan terpisah. Namun di awal abad ke-20, Patani menjadi bagian dari Thailand.
“Orang Muslim Melayu ini berbeda dari kebanyakan orang di Thailand baik secara budaya, etnik dan agama,” kata Rungrawee Chalermsripinyorat, analis independen dari Australia.
Melayu Muslim Thailand berjuang “melawan asimilasi budaya, tetapi mereka menghadapi penindasan oleh negara”, kata Rungrawee.
Secara teknis, pemberontakan tak pernah berhenti. Namun kekerasan di Thailand selatan relatif sudah reda – hingga tahun 2004.
Pada tahun itu kelompok bersenjata menyerbu gudang persenjataan tentara, membunuh empat orang penjaga dan mengambil sekitar 400 pucuk senapan serbu. Sesudah itu muncul gelombang serangan yang dihubungkan ke kelompok separatis beretnik Melayu.
Sejak itu, konflik tak pernah berhenti, ditandai dengan lonjakan tajam sesekali dan juga masa-masa yang tenang.
Serangan hari Selasa disebut sebagai yang terbesar selama beberapa tahun terakhir dalam hal jumlah, tapi belum jelas siapa yang melakukannya dan apa penyebabnya.
Rungrawee menyebutkan serangan itu bisa saja dilakukan oleh Barisan Revolusi Nasional (BRN), salah satu dari tiga kelompok separatis di wilayah itu.
“Sementara ini tidak ada bukti yang nyata. Gaya serangan dan pilihan sasaran cocok dengan pola yang digunakan oleh BRN sebelumnya,” jelasnya.
Bisakah ini menjadi tanda kembalinya kekerasan di Thailand selatan seperti tahun 2004?
“Kecil kemungkinannya serangan ini menandai kembalinya perang penuh bergaya militer seperti beberapa tahun lalu,” kata Rungrawee.
“Ini seperti operasi militer rutin untuk mengingatkan orang akan keberadaan dan kekuatan militer mereka.”
Penulis: Haz Pohan, Pemred DNI
Discussion about this post