Daily News Indonesia | PERINTAH Presiden AS Donald Trump membunuhn komandan militer Iran Qasem Soleimani di Irak bisa dilihat dari dimensi militer, hukum dan politik.
Secara militer, pembuhuhan Jenderal Soleimani bisa mengawali konflik dan perang besar, seperti Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan.
Dalam kaitan hubungan internasional, dalam konflik internasional militer dan diplomasi atau keduanya digunakan untuk memenangkannya.
Meskipun Amerika jauh lebih kuat daripada Iran secara militer, namun tidak mudah menundukkan atau bahkan menduduki wilayah Iran. Untuk mengatasi masalah di Suriah, negeri yang lebih kecil dan lebih lemah saja Amerika kewalahan dan tidak ada tanda-tanda akan dimenangkan oleh Amerika.
Iran, suatu bangsa yang pernah memiliki peradaban dunia di zaman Persia, bukanlah bangsa kecil. Iran memiliki kebanggaan dan harga diri sebagai bangsa besar dunia.
Ini menjadi faktor sangat penting bagi bangsa ini yang menghadirkan keyakinan mereka bukan bangsa yang mudah dikalahkan. Apalagi ada unsur atau faktor agama di dalamnya: Islam, yang banyak memberikan keuntungan politis dan diplomasi bagi Iran.
AS mengatakan: “Serangan ini bertujuan untuk menghalangi rencana serangan Iran di masa depan.”
Serangan ‘preemptive’ karakternya berbeda. Daripada diserang mendingan menyerang duluan. Tujuannya melemahkan kekuatan militer lawan. Jelas, pembnuhan Soleimani tidak qualified untuk tujuan pre-emptive.
Bagaimana dimensi politik konflik AS – Iran?
Iran adalah salah satu aktor regional terkuat di Timur Tengah. Saingannya dua: Israel dan Arab Saudi. Israel dan Iran menguasai dan memiliki kemampuan nuklir (nuclear capabilities). Bila konflik pecah dan menggunakan senjata nuklir, maka dimensi konflik akan dahsyat.
Iran berada di Timur Tengah, zona yang disebut dalam politik internasional sebagai ‘the mother of international conflict’, dengan core: konflik Arab – Israel menyangkut Palestina. Di sini sekutu Amerika dan aliansi anti-Amerika berhadap-hadapan.
Tidak semua setuju dengan Amerika, dan tidak semua pula setuju dengan Iran. Jika konflik meletus maka wilayah konflik militer akan meluas ke mana-mana, ke seluruh penjuru dunia apabila konflik itu berdimensi Amerika vs. Islam.
Amerika adalah satu-satunya superpower. China juga berambisi menjadi superpower, menggantikan posisi Uni Soviet atau Rusia kini. Bahkan, China berambisi menggantikan pax americana dengan pax sinica.
Pax americana menggantikan pax britanica pada akhir PD II. “Perang besar seperti diistilahkan SBY itu adalah Perang Dunia. Sistem internasional berganti-ganti melalui perang besar, kata Profesor Modelski, guru besar saya di University of Washington. Jadi, perang besar yang disulut serangan Amerika berpotensi menjadi perang besar, atau Perang Dunia.
Perang Dunia III yang dimulai konflik AS – Iran malah akan menguntungkan China. Mereka tinggal menunggu ketika salah satu atau kedua seteru lemah barulah China masuk menggempur calon pemenang. Dia akan menjadi pemenangnya.
Bergesernya pax americana menjadi pax sinica akan membawa konsekuensi dahsyat karena ada persaingan ideologis, antara sistem komunis menghadapi sistem kapitalis dan pancasilais. Antara otoritarianisme melawan kebebasan.
Pertimbangan ini juga digunakan rakyat Amerika, mengapa kekuasaan perang Presiden Trump dibatasi oleh Kongres. Rakyat tidak ingin perang terhadap Iran digunakan sebagai instrumen politik untuk mendongkrak popularitaas Trump –baik dalam konteks impeachment, maupun pemilu 2020—untuk kemenangan Partai Republik.
Bagaimana dengan dimensi hukum? Yang dimaksud adalah dimensi hukum internasional.
Hukum internasional yang relevan ditentukan oleh Piagam PBB memungkinkan negara untuk bertindak membela diri “jika serangan bersenjata terjadi”. Self-defense diatur dalam Pasal 51 Piagam. Tetapi ada prosedur dan syarat-syaratnya yang harus dipenuhi Amerika. Jelas ditetapkan:
“Tidak ada dalam Piagam ini menghapus hak inheren pertahanan diri individu atau kolektif, jika serangan bersenjata terjadi terhadap Anggota PBB, sampai Dewan Keamanan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Langkah-langkah yang diambil oleh Anggota [PBB} dalam melaksanakan hak bela diri ini harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan tidak akan dengan cara apa pun mempengaruhi wewenang dan tanggung jawab Dewan Keamanan berdasarkan Piagam ini untuk setiap saat mengambil tindakan seperti itu dianggap perlu untuk menjaga atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.”
Dalam kasus pembunuhan Soleimani, AS mengklaim pihaknya bertindak membela diri untuk mencegah serangan yang akan segera terjadi, kategori tindakan yang, jika memang benar, secara umum apakah dianggap diizinkan di bawah Piagam PBB?.
Tetapi Agnes Callamard, pelapor khusus PBB untuk pembunuhan di luar pengadilan. telah berkicau di Twitter, tentang serangan yang mengatakan “persyaratan Pasal 51 tidak mungkin terpenuhi”.
Aspek kedua dimensi hukum berkaitan dengan pembunuhan pejabat negara oleh perintah suatu negara. Ini disebut ‘pembunuhan yang ditargetkan’.
Sebuah laporan PBB tahun 2010 tentang “pembunuhan yang ditargetkan” mengatakan banyak pakar hukum memandang argumen ‘pembelaan diri’ memiliki hak untuk menggunakan kekuatan “terhadap ancaman nyata dan segera ketika kebutuhan pertahanan diri itu instan, luar biasa , dan tidak memberikan opsi lain, dan tidak ada kesempatan untuk bermusyawarah mengambil keputusan.”
Pernyataan awal Departemen Pertahanan AS menghilangkan kata “segera” dan mengatakan serangan itu ditujukan untuk menghalangi serangan Iran di masa depan dan bahwa pemimpin militer Iran Soleimani “secara aktif mengembangkan rencana untuk menyerang diplomat Amerika dan anggota layanan di Irak dan di seluruh wilayah” .
Dalam pernyataan selanjutnya, para pejabat AS termasuk Presiden Trump mengatakan Soleimani telah merencanakan “serangan yang akan terjadi”.
Elizabeth Warren, seorang kandidat Partai Demokrat untuk kepresidenan AS, mengatakan: “Pemerintahan ini tidak bisa menjaga omongannya tetap lurus.”
Dia bertanya, mana bukti apa yang ada dari serangan yang direncanakan oleh Iran?
Logika publik membantah jika Iran berani menyerang Amerika. Iran mempertahankan diri mati-matian jika diserang Amerika dapat difahami. Dan, Amerika tidak akan pernah berhasil menduduki Iran. Itu betul.
Legalitas serangan di bawah hukum internasional mungkin tergantung pada AS yang memberikan bukti serangan di masa depan. Ini bukan pekerjaan mudah.
Pemerintah AS belum membagikan rincian seperti apa skenario serangan Iran terhadap Amerika secara publik, tetapi pemerintah mengatakan intelijen telah dibagikan dengan tokoh-tokoh kunci di Kongres AS.
Ditanya oleh seorang wartawan pada 7 Januari untuk perincian lebih lanjut tentang ancaman yang akan segera terjadi, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mencatat insiden yang mengarah pada serangan itu, tetapi tidak memberikan bukti adanya serangan yang akan datang.
Ada pembenaran lain yang telah digunakan di masa lalu, menurut Dr Ralph Wilde, seorang ahli hukum internasional publik di University College London.
“Sejak 9/11 AS telah mengambil pandangan bahwa pembelaan diri dapat dibenarkan untuk mencegah serangan jangka panjang. Ketika serangan itu direncanakan, tetapi tidak akan segera terjadi. Pemerintahan Obama menggunakan argumen ini untuk membenarkan serangan drone.”
Faktanya, setelah invasi ke Afghanistan dan Irak, Amerika sampai kini belum berhasil menciptakan keamanan di kedua negeri ini. Bahkan, karena frustrasi Amerika telah menjadwalkan mundur dari kedua negeri Muslim ini. Di mana letak ‘ancaman jangka-panjang’ musuh Amerika? Jangan-jangan Amerika yang menempatkan dirinya sebagai ‘musuh jangka-panjang’ kemanusiaan.
Dan bagaimana dengan masalah persetujuan atau otorisasi penyerangan? Apakah AS memiliki persetujuan dari Irak untuk melakukan serangan di suatu negara berdaulat?
Anggota parlemen Irak bereaksi dengan marah dan mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menyerukan pasukan AS untuk meninggalkan negara itu. Pemerintah Irak menyebutnya sebagai “pelanggaran tegas terhadap kedaulatan Irak”. Ini menjadi ‘counter-productive’ bagi Amerika. Bahkan, akan memberikan keuntungan bagiIran yang memang menginginkan pengenyahan ‘Amerika dari Asia Barat’.
Pasukan AS telah diundang ke Irak untuk melawan kelompok Negara Islam dan melatih pasukan Irak. AS mungkin berpendapat bahwa undangan ini merupakan semacam bentuk persetujuan, memberi mereka hak untuk melindungi kepentingan dan personel mereka di Irak.
Tetapi Akande berpendapat bahwa, dalam praktiknya, ketentuan perjanjian untuk menampung pasukan AS, atau disebut dengan ‘status of force agreement’ sangat sempit, tidak akan meluas untuk melakukan serangan pembunuhan terhadap pejabat negeri yang sedang melakukan kunjungan.
Status pejabat dan kunjungan itu, jika dia dilengkapi dengan paspor diplomatik, akan lebih memperuncing situasi. Meskipun Soleimani tidak dibekali dengan paspor diplomatik, tetapi hukum internasional memperlakukannya sebagai ‘envoy’ dan berhak terhadap perlindungan dan kekebalan diplomatik.
Masalah hukum yang muncul lainnya adalah ancaman Presiden Trump akan menyerang semua obyek militer dan militer, termasuk situs budaya.
Pada hari Minggu, Trump tweeted, memperingatkan AS akan menargetkan situs yang “penting bagi Iran dan budaya Iran” jika aset Amerika terkena. Ini gila!
Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif mengatakan serangan terhadap situs budaya akan dianggap sebagai kejahatan perang.
Ancaman Trump “menunjukkan ketidakpedulian terhadap aturan hukum global”, kata Andrea Prasow dari Human Rights Watch. Pemerintah AS bersikeras akan bertindak secara sah.
Tetapi serangan terhadap situs budaya akan melanggar beberapa perjanjian internasional.
Konvensi Den Haag 1954 untuk Perlindungan Properti Budaya melindungi situs-situs budaya setelah perusakan situs-situs warisan budaya selama Perang Dunia Kedua, dan ditandatangani oleh AS.
Pada tahun 2017, PBB mengeluarkan resolusi dalam menanggapi serangan Negara Islam yang mengutuk “penghancuran warisan budaya yang melanggar hukum, termasuk penghancuran situs-situs keagamaan dan artefak”.
AS adalah salah satu kritik paling keras terhadap IS yang menghancurkan situs bersejarah Palmyra di Suriah pada 2015, serta pembongkaran Taliban terhadap Buddha Bamiyan di Afghanistan pada 2001.
Pada tahun 2016, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menghukum seseorang atas penghancuran warisan budaya untuk pertama kalinya, setelah seorang ekstrimis yang terkait dengan Al-Qaeda menghancurkan artefak agama di Mali.
AS bukan bagian dari ICC tetapi merupakan penandatanganan perjanjian lain untuk melindungi kekayaan budaya dan setiap serangan akan mewakili pembalikan yang signifikan.
Pemikiran gila apa sampai Amerika mau menyerang situs budaya? Mungkin melihat, situs-situs budaya ini menjadi obyek pariwisata. Jadi Trump ingin mengunci ‘sumber ekonomi Iran’.
Persian civilization adalah khazanah warisan dunia. Milik semua bangsa dan negeri. Di situ terdapat bukti-bukti sejarah dan nilai-nilai di masa lampau yang relevan untuk pembelajaran sekarang.
Jadi, dari segi militer, politik termasuk diplomasi, maupun hukum, tidak ada alasan kuat bagi Amerika untuk memulai ‘perang besar’ mengarah ke perang dunia, sepeti dikhaatirkan SBY.
“Itu hanya terjadi pada pemimpin-pemimpin yang eratik, atau dalam bahasa pasaran disbut ‘pemimpin gila’, simpul saya.
Penulis: Haz Pohan, Pemred DNI
Discussion about this post