DALAM jajak-pendapat baru-baru ini digambarkan China telah menjadi musuh utama yang mengancam Indonesia. Ada kombinasi faktor di dalam negeri –semakin menonjolnya peranan etnis Tionghoa dalam politik Indonesia– maupun keterkaitan kebijakan RRT berkaitan dengan sasaran strategis Indonesia dalampercaturan politik regional Asia Pasifik.
Lynn Lee editor berita Post’s Asia, dan wakil editor majalah This Week in Asia, memiliki pengalaman 15 tahun di bidang jurnalisme, komunikasi perusahaan, dan urusan publik di Singapura dan Indonesia menganalisis hubungan Indonesia dengan China ke depan.
Dr. Lynn mempelajari studi Asia Timur dan hubungan internasional di Amerika dan menuliskan artikel menari ini di South China Morning Post.
“Awal tahun ini Indonesia dan Cina menandai 70 tahun hubungan diplomatic kedua negara, yang dibuktikan sejarah tidak selalu berjalan mulus,” tulisnya di awal artikel.
Hanya dalam dua dekade terakhir, setelah Pak Harto jatuh pada 1998, hubungan kedua negara menjadi hangat, bersamaan dengan langkah Indonesia untuk kian memberikan kelonggaran kepada populasi etnis Cina yang ada di negara itu, catat Lynn.
Perdagangan bilateral, investasi dan pariwisata juga meningkat. Cina adalah mitra dagang terbesar Indonesia dan secara teknis merupakan sumber utama investasi asing, meskipun Singapura secara resmi memakai mahkota itu karena sebagian dananya disalurkan melalui negara kota tersebut.
Tetapi dengan dinamika politik dalam negeri yang menjadi pendorong utama kebijakan luar negeri bagi negara kepulauan berpenduduk 270 juta itu–dan di tengah upaya negara-negara ASEAN untuk bermanuver dalam memperdalam persaingan AS-Cina– akan selalu ada batasan yang melekat pada sejauh mana hubungan Jakarta-Beijing bisa terjadi, analisisnya.
“Bagi Presiden Indonesia, Joko Widodo, hal itu berarti menemukan keseimbangan yang cermat antara menyambut investasi Cina dan memenuhi ekspektasi publik tentang bagaimana ekonomi terbesar di Asia Tenggara itu harus berinteraksi dengan Cina. Seperti dikatakan mantan penasihat wakil presiden, Profesor Dewi Fortuna Anwar dalam makalahnya tahun lalu, opini elit dan publik Indonesia atas kebangkitan Cina terpecah”:
Pandangan bahwa Cina sebagai ancaman eksternal paling signifikan di Indonesia, telah berkurang dan telah disambut sebagai penyandang dana dan mitra bisnis.
Namun di antara pengamat keamanan, kecurigaan atas niat Beijing–dan pertanyaan tentang ketergantungan ekonomi Indonesia pada Cina–tetap ada, dan telah memicu keyakinan bahwa Jakarta harus mengambil nada yang lebih keras terhadap klaim maritim Beijing yang ekspansif.
Indonesia juga mencatat, pengalaman kedua negara di kala gagalnya pemberontakan PKI di tahun 1965 bahwa China memainkan peranan dalam revolusi berdarah itu. Sampai kini China tetap menganut komunisme dan partai tunggal penguasa yang mengklaim diri sebagai ‘diktatur proletariat, catat pengamat di dalam negeri.
“Dewasa ini sentimen anti-China memang menguat, bersamaan dengan pengamatan semakin berperannya bekas-bekas PKI di dalam politik Indonesia yang mengindikasikan suatu saat PKI akan bangkit kembali, dengan dukungan China.”
“Kombinasi antara etnis China yang kini bahkan telah memiliki partai sendiri dalam politik Indonesia menimbulkan kecurigaan di kalangan anti-komunis bahwa kini ada agenda yang sedang mereka mainkan. Dan ideologi komunisme tidak kompatibel dengan ideologi bangsa Pancasila,” kata pengamat tersebut.
“Ini bisa merupakan pengulangan pengalaman kita di masa lampau, dan rakyat Indonesia tidak akan pernah melupakan maksud-maksud jahat RRT terhadap rakyat Indonesia,” katanya.
Pengamatan di dalam hubungan politik regional juga perlu mendapat catatan tersendiri.
Meskipun Indonesia bukan pihak dalam sengketa Laut Cina Selatan, namun telah bentrok dengan Beijing terkait masalah kapal penangkap ikan Cina yang memasuki zona ekonomi eksklusif di sekitar Pulau Natuna. Cina menegaskan bahwa daerah tersebut berada dalam klaim sembilan garis putus-putusnya.
Warga awam Indonesia menjadi cemas atas peningkatan impor dari Cina, dan memprotes pekerja Cina yang menyertai investasi skala besar untuk proyek infrastruktur, industri dan manufaktur.
Kampanye misinformasi dan hoaks– ditambah dengan kecurigaan yang masih ada dan ketidakpuasan terhadap etnis Cina di Indonesia– telah berkembang pesat.
Tahun lalu, ketika kerusuhan fatal meletus setelah hasil pemilihan presiden di bulan April, pesan media sosial yang mengatakan mereka ditembak “oleh polisi dari Cina” menjadi viral.
Sementara jajak pendapat dalam negeri yang dilakukan tahun lalu menemukan bahwa mereka yang percaya Cina “berbahaya” bagi Indonesia atau bahwa Jokowi adalah “pelayan” Cina, merupakan sikap minoritas. Temuan itu juga menunjukkan bahwa persepsi tersebut telah berkembang selama tahun-tahun terakhir.
Faktor-faktor ini akan terus mengatur hubungan Indonesia dengan Cina, bahkan di tengah peluang baru yang muncul dari realitas geopolitik yang berubah serta pandemi virus corona, catatnya.
Indonesia terus memerangi lonjakan kasus virus Corona dengan pembatasan jarak social, sementara permintaan global yang tertekan jelas telah memukul aktivitas bisnis dan manufaktur.
“Perekonomian Indonesia baru-baru ini mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua dekade,” catat Dr. Lynn.
Bagi Jokowi, yang kembali berkuasa tahun lalu karena janji untuk meningkatkan program sosial dan infrastruktur untuk mendorong Indonesia menuju status negara maju, investasi asing menjadi semakin penting untuk memastikan ia dapat meninggalkan warisan di masa jabatan terakhirnya yang akan selesai pada 2024.
Bagi Cina, menjaga keharmonisan dengan Indonesia, yang tidak memiliki aliansi keamanan formal dengan negara mana pun, adalah bagian dari upaya berkelanjutannya untuk menjaga hubungan dengan ASEAN secara seimbang.
“Pada Jokowi, Xi telah menemukan mitra pragmatis yang memprioritaskan keuntungan ekonomi domestik daripada kepemimpinan diplomatik,” klaim Lynn.
Pada Senin lalu, saat berbicara dengan Jokowi, Presiden Cina itu menyerukan bidang kerja sama baru. Produksi vaksin adalah “sorotan baru” dalam hubungan bilateral, katanya, mengacu pada bagaimana pembuat obat Cina yang terdaftar di AS telah mengikatkan diri dengan pembuat obat Indonesia Bio Farma, untuk memproduksi setidaknya 40 juta dosis dari potensi vaksin Covid-19 untuk Indonesia pada Maret tahun depan.
Jokowi, menurut postingan Facebook setelah percakapan telepon itu, menjelaskan bahwa kesehatan masyarakat dan ekonomi akan menjadi prioritas dalam krisis Indonesia untuk urusan luar negeri. Dia memuji jalur hijau yang dimiliki Indonesia dan Cina untuk perjalanan diplomatik dan bisnis-bisnis penting.
Namun persoalan yang terus berlanjut atas kembalinya pekerja Cina daratan untuk menjadi bagian dari operasi pertambangan di beberapa provinsi kaya sumber daya, telah menyebabkan protes di tengah meningkatnya pengangguran local. Hal itu mengingatkan kita pada poin yang dikemukakan Dewi Fortuna Anwar dalam makalahnya, yang diterbitkan oleh Iseas-Yusof Ishak Institute Singapura.
Dia mengatakan jika masalah yang muncul dalam hubungan bilateral Indonesia-Cina dibiarkan tanpa pengawasan, hal tersebut dapat “membahayakan semua manfaat yang telah dibuat, termasuk kerukunan antar ras yang diraih dengan susah payah dan masih rapuh di Indonesia”.
Ada keuntungan yang bisa didapat jika Indonesia dan Cina dapat menyelaraskan kepentingan mereka dengan lebih baik. Jokowi perlu menunjukkan ketangkasan politik dalam memanfaatkan kapasitas Cina untuk membantu, sementara pada saat yang sama membatasi sentimen anti-Cina di dalam negeri.
Dan agar Beijing dapat memajukan hubungannya dengan Indonesia, Beijing perlu memahami bagaimana menavigasi hubungan ini dengan istilah-istilah baru yang sampai sekarang belum biasa dilakukan, mengingat kerangka acuannya saat ini berkisar dari persaingan negara-negara besar hingga negara-negara kecil, untuk menyeimbangkan semua sisi ke negara klien.
Pernyataan Xi selama percakapan telepon Senin lalu, mengakui posisi unik Indonesia di kawasan itu, ketika ia mengatakan bahwa Cina sangat mementingkan status dan peran Indonesia dalam urusan internasional dan regional.
Memang, Indonesia–terlepas dari apa yang dikatakan para pengamat tentang lemahnya kepemimpinan diplomatik di bawah Jokowi— sebagai negara yang cukup besar dan salah satu pendiri ASEAN, tengah mempertaruhkan tempat yang selayaknya dalam arsitektur regional yang berkembang.
Dituliskan kembali oleh: Haz Pohan, Pemred DNI.
Discussion about this post