SEJAK kepulangannya ke tanah airnya, berita tentang Habib Rizieq Shihab tak habis-habisnya. Fenomena politik HRS beserta pendukungnya mulai dirasakan dalam beberapa tahun belakangan. Imam besar Front Pembela Islam (FPI) itu tidak lagi dipandang semata sebagai ulama.
Tidak dipungkiri, pengaruh Habib Rizieq dalam pertarungan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 lalu ikut mengantarkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno sebagai pemenang kontestasi politik lima tahunan itu.
Kini disadari —suka tidak suka—HRS, telah bertransformasi menjadi pemimpin yang paling berpengaruh di Indonesia. Keberhasilannya mengundang jutaan masa turun ke jalan dalam satu waktu dan tempat, dan dukungan puluhan juta bangsa Indonesia di seluruh wilayah tanah air, menjadi keniscayaan untuk pengakuan itu.
“Coba sebut, adakah pemimpin formal atau informal, partai atau non-partai, bahkan pejabat pemerintahan sampai ke tingkat presiden yang memiliki magnet dan aura itu sekarang? Itu ada pada Habib,” komentar netizen.
Ini terbukti. Beberapa kali aksi massa yang dimotori Habib Rizieq berhasil mendorong rival Anies Baswedan, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diproses hukum terkait kasus penistaan agama.
Tentu saja, fakta bahwa di belakang HRS ada PA 212, GNPF, dan puluhan juta pendukung di seantero Indoneisia pastilah ada orang atau kelompok yang tak suka, bahkan menjadi pembenci. Jumlahnya banyak dan mereka ada dimana-mana, terutama di pemerintahan dan para buzzer-nya.
Tokoh HRS ini terlalu berbahaya jika dibiarkan dengan agendanya, bahkan dia telah mencanangkan akan mencetuskan revolusi: Revolusi Akhlak, klaimnya.
Satu yang tampak di diri HRS setelah kembali dari pengasingan lebih tiga tahun di Saudi. Beliau telah menunjukkan kematangan emosi yang tinggi. Tetapi orang tahu, HRS itu orator ulung yang belum ada imbangnya di antara tokoh-tokoh nasional.
Beliau juga seorang ilmuwan, tidak saja di bidang agama. Disertasinya PhD tentang Pancasila menunjukkan kapasitas HRS sebagai tokoh nasional yang memiliki pemahaman yang teruji tentang kenegaraan.
Pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019, Habib Rizieq pun kembali berperan. Rizieq membawa para pendukungnya berada di barisan Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Pertanyan kini: apakah Habib Rizieq bakal kembali memainkan peran politik di Pilpres 2024 mendatang?
“Soal apa peran politik Habib Rizieq akan seperti dalam Pilpres 2019, tentu amat tergantung dengan situasi dan perkembangan politik,” tutur Pengamat Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting, Arif Nurul Imam kepada SINDOnews, Jumat 20 November 2020.
Arif menilai Habib Rizieq memiliki modal politik, yakni memiliki pendukung atau loyalis.
“Terkait peran politiknya, tentu yang bisa dimainkan tergantung dari konsensus politik yang dibangun dengan kandidat,” katanya.
Tapi, lanjut dia, setidaknya peran politik yang bisa dimainkan adalah dengan menjadi vote-getter untuk mendongkrak suara kandidat. Habib bisa berperan menunjukkan arah pilihan politikumat Islam.
“Pengaruh dan kharisma Habib Rizieq diharapkan dapat mengarahkan para loyalis dan simpatisannya,” lanjutnya.
Arif berkomentar kenapa pilihan Habib Rizieq di Pilpres 2019 lalu kalah.
“Kenapa yang didukung tidak menang? Variabelnya tentu banyak, namun terkait peran Habib Rizieq dalam Pilpres 2019 memang memiliki massa, tapi tidak signifikan jika skalanya Pilpres,” kata Arif.
Padahal siapa sejujurnya yang memenangkan kontestasi itu sendiri sampai kini masih menyimpan rahasia yang mungkin ke depan akan terungkap. Kejujuran Lembaga negara yang mengurus pemilu itu sendiri patut dipertanyakan, komentar netizen.
Sementara itu, pengamat politik Universitas Jayabaya Igor Dirgantara berpendapat Habib Rizieg Shihab akan memainkan peran politik di Indonesia sampai nanti 2024 sebagai oposisi reborn bersama Gatot Nurmantyo (GN).
Kata Igor, salah satu peran yang bisa dimainkan Habib Rizieq adalah membantu dan bersinergi dengan perjuangan Gatot Nurmanto dan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dalam mengkritisi kebijakan Pemerintahan Jokowi.
“Jika hal ini dilakukan, maka Gatot Nurmantyo dan HRS merupakan paduan dua tokoh kekuatan politik besar, yaitu Militer dan Islam,” tutur Director Survey and Polling Indonesia (SPIN) ini beberapa waktu yang lalu.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Kunto Adi Wibowo.
“Kemungkinan besar dia akan memainkan peran dalam dunia politik di masa depan di Indonesia. Tapi dia tentu akan menolak untuk bergabung pada partai politik tertentu,” ujar Kunto.
Dengan tidak masuk ke sebuah partai politik, kata dia, Habib Rizieq akan lebih lincah bermain dalam kerangka Ormas. Memang HRS tidak pernah menyatakan berminat akan menjadi calon presiden bahkan masuk parpol sekalipun. Terakhir, ketika diundang Masyumi, Habib pun menolak halus.
“Begitu dia masuk politik, maka saya menduga dia akan khawatir soal istilahnya kemurnian gerakannya atau kemurnian perjuangannya. Itu sudah terlihat ketika Masyumi Reborn ini meminang Habib Rizieq dan Habib Rizieq menolaknya, itu yang pertama,” tuturnya.
Fenomena HRS ini mengundang pendapat para pakar, apakah gejala Habib ini bisa dikategorikan sebagai gerakan nasionalisme di India yang lebih ke agama. Istilahnya, “Hindu Nasionalism”, kata Kunto.
“Jadi sangat mungkin gerakan-gerakan politik kanan mentok nasionalisme di Indonesia juga akan tumbuh, apalagi sekarang ada banyak ketidakpuasan terhadap Pemerintahan Jokowi misalnya soal Omnibus Law, kemudian penanganan corona,” ungkap Kunto.
Bahkan, kata dia, sempat muncul sentimen agama dalam penanganan Covid-19 atau virus corona di Indonesia.
“Ketika di awal-awal Masjid ditutup, sementara berapa mal dibuka, ini tentu akan mengundang sentimen agama yang kuat dan itu bisa digabung dengan nasionalisme,” katanya.
Ketika di awal tahun ini Gubernur Anies ingin memberlakukan UU karantina untuk total lockdown Jakarta, malah pemerintah yang menolak karena pertimbangan ekonomi lebih penting.
Terjadi perseteruan antara Pemprov DKI dengan Pemerintah Pusat. Maklum, Anies juga digadang-gadang maju dengan dukungan umat Islam dan beberapa parpol untuk menjadi calon RI-1.
“Tinggal mengemas siapa menjadi partai pendukug dan siapa yang akan mendampinginya sebagai RI-1, jadi barang tuh!” ucap netizen.
Di tengah-tengah minimnya kapasitas calon-calon pemimpin negeri ke depan, tokoh mediocre kurang mendapat sambutan. Yang dicari adalah pemimpin amanah, otentik, kompeten yang memiliki komitmen kuat membangun negeri ini, observasi seorang netizen di media sosial.
Setelah hampir setahun menghadapi pandemi Covid-19, apa yang terjadi dengan Indonesia?
Kini ekonomi berantakan, penangangan Covid-19 juga tidak berkinerja baik, malah terburuk di ASEAN, tiba-tiba setelah HRS pulang pemerintah seolah-olah menjadikan isu Covid-19 lebih diprioritaskan. Bahkan diopinikan negative karena mengundang kerumunan dalam jumlah besar yang rawan Covid-19.
Pengamat juga khawatir dengan tindakan semu pemerintah seolah-olah penanganan Covid-19 menjadi isu utama, maka daerah-daerah wisata seperti Bali yang kini mulai dibanjiri wisatawan mancanegara dan berbagai tempat keramaian di daerah-daerah, akan ditutup kembali, karena pemerintah daerah takut dipersalahkan tidak bisa mengawasi kerumunan dalam jumlah besar.
Jangan gara-gara ingin ‘mengunci’ Anies, maka faktor HRS juga dibatasi, dan tiba-tiba isu kerumunan seakan-akan menjadi prioritas nasional. Dan, tempat-tempat wisata, kuliner terbuka pun terancam sepi Kembali.
Ditulis Kembali oleh: Haz Pohan, Pemred DNI
Discussion about this post