DULU, ketika Covid-19 belum merambah pandemik dunia, Dewan Keamanan PBB (DK-PBB) –institusi pemelihara perdamaian dan keamanan internasional terpenting—terganggu karena sikap Rusia –pro Presiden Suriah Asad– berbeda dengan Amerika.
Kini di tengah pandemi global corona, di DK-PBB telah dirasakan munculnya’Perang Dingin Baru’ antara Amerika Serikat dan China. Perbedaan sikap antara kedua negara terbesar ini tidak terbatas pada isu Corona, tetapi melanda berbagai isu di PBB.
Keadaan baru ini merefleksikan situasi Perang Dingin sebelum bubarnya aliansi dan negara-negara komunis di Eropa, antara Amerika menghadapi Uni Soviet. Rubuhnya Tembol Berlin mengakhiri situasi Perang Dingin ini, dan membuka berbagai potensi penguatan kerjasama internasional melalui badan-badan multilateral dalam sistem PBB.
Ketika saya bertugas di Perutusan Tetap RI untuk PBB (1998-202), keadaan baru –eratnya komunikasi dan Rusia sebagai pengganti Uni Soviet dengan Amerika dan Inggeris serta Prancis– telah terasa. Satu-satunya negara dari kelompok anggota tetap pemegang veto (P-5) yang berbeda adalah China.
Hingga tahun 2017, dalam tiga kesempatan, sikap saling mengerti antara Washington dan Beijing membuat PBB bisa menyatukan dunia dalam menghadapi ancaman nuklir Korea Utara. Hasilnya adalah tiga rangkaian sanksi ekonomi untuk Korea Utara.
Tiga tahun kemudian, pandemi Covid-19 atau pandemi corona menyebabkan persaingan keras antara dua negara penyumbang terbesar PBB ini.
Sekjen PBB Antonio Guterres pun mengeluh dengan mengatakan “tidak ada kepemimpinan” dalam krisis dunia terburuk sejak 1945 ini.
“Ketika kita melihat kekuasaan, kita terkadang tidak melihat kepemimpinan yang sangat dibutuhkan,” ujarnya baru-baru ini.
Bahkan setelah hampir dua bulan berunding, 15 negara anggota Dewan Keamanan tidak bisa mencapai kesepakatan atas resolusi tentang gencatan senjata global ketika dunia sedang memerangi virus corona yang diusulkan Sekjen PBB.
Satu-satunya alasan adalah perbedaan pendapat antara AS dan China tentang rujukan ke WHO dalam resolusi itu. Organisasi kesehatan dunia itu sedang bertikai dengan Donald Trump yang memutuskan untuk keluar dari organisasi itu pada Jumat (29/6).
Baik pejabat dan diplomat PBB mengatakan konflik AS-China ini tampaknya semakin menyebar ke isu lain, sehingga mereka pun pesimistik apakah DK-PBB akan mampu melaksanakan instrumen ‘alat pemaksa’ yang dimiliki Dewan Keamanan dalam menegakkan perdamaian dan keamanan internasional.
“Dewan Keamanan tak berfungsi selama 45 tahun, dari 1945 hingga 1990, karena Perang Dingin,” kata seorang duta besar di PBB.
“Tidak perlu ada lagi Perang Dingin lain sekarang yang bisa membuat Dewan Keamanan lumpuh,” harapannya.
Membawa pertikaian bilateral –antara Amerika melawan China—ke dalam Dewan Keamanan adalah satu bencana ini memang telah menjadi fenomena baru di DK-PBB.
Seorang duta besar lain mengatakan: “Kita tidak boleh memasuki Perang Dingin baru. Tetapi saat ini situasinya tidak begitu bagus,” terkait kepemimpinan, pandemi atau hubungan AS-China, tiga isu yang “sangat terkait satu sama lain.”
Perang Dingin Baru telah dimulai
Saya memperkirakan ke depan situasi di DK-PBB akan semakin tidak kondusif. Padahal, dalam pemelihraan perdamaian dan keamanan internasional P-5 harus memiliki tanggung-jawab bersama. Jika gagal, maka perdamaian dan keamanan intenasional akan terancam. Masyarakat internasional tengah memasuki ‘unchartered territory’, dan ini sangat berbahaya.
Pertama, di masa lalu,perbedaan pendapat di antara anggota Dewan Keamanan bisa dilokalisir. Sehingga perbedaan dalam satu isu bisa terjadi dan kedua pihak bersaingan itu bisa menjadi sekutu dalam isu yang lain. Sekarang yang terjadi adalah semua saling terkait.
Kedua, jika anggapan pengamat internasional bahwa the mother of international conflict telah bergeser dari teater Eropa (Jerman) ke Timur Tengah, maka kini potensi konflik terbesar itu telah bergeser ke wilayah Asia Pasifik.
Ada beberapa masalah yang mengkhawatirkan kita di kawasan di mana Indonesia berada, bersama ASEAN sebagai pilar polugri Indonesia.
Situasi politik di Pasifik masih fluid. Kekuatan laut Amerika berada di sini. China sedang bangkit secara poltik, militer dan ekonomi, berada di sini. Sekutu terpenting Amerika: Jepang, Australia dan Korea Selatan berada di sini. Organisasi kerjasama regional ASEAN juga berada di sini.
“China sedang membujuk negara-negara ASEAN untuk meninggalkan harapannya kepada Amerika Serikat yang kini kekuatannya menurun di panggung politik global,” tulis saya di suatu artikel.
Ketiga, Indonesia bersama ASEAN harus waspada. Jika situasi di Hong Kong unfolded maka wilayah yang dikenal dunia sebagai ‘satu negeri dua sistem’ akan berakhir. Situasi ini tidak diterima Amerika, Inggeris dan kekuatan barat lainnya.
“Isu utama di sini adalah bahwa demokrasi, pasar bebas, dan hak asasi manusia telah menjadi harga mati bagi penduduk Hong Kong. Ini tidak diterima China, terutama ketika UU Keamanan Nasional akan diberlakukan oleh Beijing. Sidang parlemen baru-baru ini telah menetapkan sikap Partai Komunis China. Mereka sudah tak sabar dan kehabisan cara bagaimana mengatasi aksi pro-demokrasi yang kian intensif, berbenturan dengan pemerintah Hongkong pilihan Beijing,” tulis saya di artikel lain.
Apa yang men-trigger Perang Dingin baru telah dimulai di DK-PBB? Tidak lain masalah Hong Kong yang terkait undang-undang keamanan baru China yang membuat AS dan China semakin bersitegang.
Di latar-belakang situasi baru di DK-PBB, ada dua hal. Pertama konflik China-Taiwan saya perkiranan akan pecah. Amerika dan sekutunya akan turun-tangan. Konflik militer telah membayang. Kedua, aksi hegemonik China di Laut China Selatan untuk mengusir Amerika akan semakin intensif. Ini akan mendapat jawaban keras dari Amerika.
Ketegangan antara AS dan China menjadi masalah besar” bagi PBB sebagai forum utama untuk kerjasama global. Artinya, , Dewan Keamanan “tidak bisa mengambil melaksanakan fungsi utamanya dan mengambil keputusan krusial dalam mengatasi konflik global ke depan.
“Ada cacat besar dalam arsitektur multilateral global saat ini. Dan ini sangat serius,” ujar Olof Skoog, duta besar Uni Eropa untuk PBB.
“Kita menyaksikan polarisasi di Dewan Keamanan,” kata Duta Besar Christoph Heusgen dari Jerman yang saat ini merupakan anggota tidak permanen Dewan Keamanan.
Sekjen PBB Antonio Guterres mengemukakan penyesalan pandemi ini tidak memunculkan rasa kemanusiaan di negara-negara adidaya.
“Jika krisis sekarang memunculkan sesuatu, itu adalah kerapuhan. Kerapuhan kolektif. Ketika kita rapuh, kita harus rendah hati. Ketika kita rendah hati, kita harus bersatu dan memiliki solidaritas,” ujarnya dalam pernyataan yang ditujukan kepada anggota Dewan Keamanan.
Dia kemudian mengemukakan pandangannya bahwa AS dan China yang merupakan anggota tetap Dewan Keamanan benar-benar memanfaatkan hak veto yang menekankan pengaruh kedua negara itu.
“Saya tidak pernah melihat tugas Dewan Keamanan dilumpuhkan oleh anggota-anggota (permanen) seperti sekarang,” ujar Guterres.
Jika Dewan Keamanan PBB paralyzed karena Perang Dingin baru telah dimulai oleh dua dari P-5, maka perdamaian dan keamanan internasional sudah lepas kontrol.
Akankah kita membiarkan AS dan China merobek-robek Statuta PBB yang melumpuhkan DK-PBB, dan membiarkan konflik dan pacuan senjata terjadi secara bilateral seperti ketika masa Perang Dingin yang lalu?
Oleh: Haz Pohan, Pemred DNI
Discussion about this post