PERANG DUNIA II melahirkan Amerika Serikat sebagai super power baru menggantikan Inggris. Pax Britanica digantikan dengan Pax Americana, menempatkan kedua negara ini pada puncak kekuatan dan kekuasaan dalam tata dunia, pada zamannya.
AS bersekutu melalui NATO untuk mengimbangi kekuatan Uni Soviet sebagai kekuatan sosialis-komunis (Blok Timur). Di bantu Rusia, RRC melancarkan revolusi kebudayaan dipimpin Mao Zedong. RRC kemudian berhasil melakukan reformasi besar-besaran untuk menjadi kekuatan baru yang harus diperhitungkan oleh AS dan sekutunya.
Dalam sejarah dunia penguasa global datang dan pergi. Ada waktu ketika Pax Americana muncul di akhir Perang Dunia. Setelah lebih dari 70 tahun, waktu yang cukup panjang, akankah Pax Americana berakhir dengan bangkitnya kekuatan baru: RRT?
Selama 20 tahun terakhir ini, kita menyaksikan penurunan peran AS sebagai negara adidaya justru sejak kehancuran Blok Timur pada saat rubuhnya Tembok Berlin di awal tahun 1990-1n.
Ekspansi militer AS di banyak bagian di dunia memang telah membantu kebangkitan kekuatan ekonomi AS, yang menempatkan porsi produk persenjataan begitu signifikan, mencapai 25-40%, kata SIPRI.
Kebijakan kapitalisme juga mendorong pengurangan biaya produksi di manapun tempat itu ada. Pembukaan China dan reformasi Deng Xiao Ping telah mengubah wajah ekonomi China yang juga mempraktikkan ‘kapitalisme’ tanpa mengganti ideologi komunis dengan ‘diktatur proletariat’ anti demokrasi dan HAM.
Dalam dua dekade, industri Amerika berbondong-bondong pindah ke China. Bukan saja kegiatan ekonomi tumbuh sekitar 10& pertahun, tetapi terjadi peningkatan kesejahteraan, pendidikan, dan pada akhirnya mampu mepersiapkan China dengan investasi luar biasa di bidang infrastruktur.
Ekonomi yang kuat secara global mendorong meningkatnya peran politik internasional China. Juga mendorong sikap agresifitas di Laut China Selatan dan di Pasifik. Untuk melindungi kekuatan ekonomi, China tak lupa membangun kekuatan militer secara signifikan.
Karena itu, China berani menantang Amerika di politik, ekonomi global. Kekuatan militer terus dibangun, meskipun secara paritas masih jauh tertinggal dibandingkan dengan persaingan dan pacuan senjata (arms race) antara Amerika dan Uni Soviet pada masa lampai.
China telah bangkit menjadi kekuatan ekonomi baru dan sekarang menjadi kekuatan militer baru yang mengancam Amerika di Pasifik, di mana negara-negara kunci di kawasan ini adalah sekutu Amerika.
Jadi, pengamat dan kelompok think-tank yakin pertumbuhan kekuatan dan peranan global China tinggal menunggu waktu kapan akan menggeser posisi unggul Amerika.
Tiba-tiba muncul pandemi coronavirus. Keadaan berubah drastis. Perdagangan global terhenti, maka produksi global juga berhenti. Virus itu munculnya dari China, sehingga ada spekulasi bahwa virus ini berasal dari laboratorium militer China dalam rangka pengembangan senjata biologis dalam rangka mengubah ‘power equation’ dalam pacuan senjata dengan Amerika.
Amerika dengan belasan ribu hulu ledak nuklir bukanlah imbangan China yang hanya memiliki sekitar 250 hulu ledak. Ini harus diimbangi dengan senjata biologis yang ternyata efektif dan menakutkan, begitu teori konspirasi marak di saat Covid-19 ini.
Para pengamat berpandangan, krisis ekonomi dan minyak dapat menyebabkan periode ketegangan yang lebih tinggi antara AS dan Cina.
Krisis COVID-19 yang berkelanjutan telah mempersulit geopolitik dalam berbagai cara. Geopolitik minyak adalah salah satu contoh yang menonjol, demikian pendapat Haider A Khan, kolumnis Al Jazeera dalam artikelnya.
Kesengsaraan ekonomi yang menyelimuti dunia, diperdalam oleh jatuhnya harga minyak, telah mempertajam perpecahan dalam elit penguasa Amerika Serikat.
Mereka yang mendukung dan mendanai Presiden Donald Trump disejajarkan dengan perusahaan-perusahaan energi AS di dalam negeri yang tiba-tiba menghadapi risiko besar dari penurunan permintaan minyak dan gas. Uang sukar diharapkan untuk biaya kampanye yang besar.
Siapa menyangka, penurunan pasar yang tiba-tiba ini telah memaksa Whiting Petroleum untuk mengajukan kebangkrutan dan sudah ada laporan bahwa Chesapeake Energy sedang bersiap untuk melakukan hal yang sama. Banyak orang lain mungkin mengikuti.
Banyak dari perusahaan energi yang menghasilkan minyak dengan “fracking” simpanan serpih yang mahal dan sudah terlilit utang sebelum krisis COVID-19. Dari 2006 hingga 2014, 16 perusahaan minyak serpih yang diperdagangkan secara publik telah melampaui sisi debet neraca mereka di sisi kredit lebih dari $ 80 miliar.
Pada harga saat ini, tertekan, sebagian besar dari mereka cenderung menghadapi kebangkrutan lama. Seperti yang dilaporkan Quartz, “tidak satu pun dari 100 operasi fracking terbesar di negara ini dapat menghasilkan keuntungan”.
Tidak mengherankan bahwa pemilik perusahaan-perusahaan ini memobilisasi markas tim kampanye Trump “Make America Great Again” (MAGA) dalam upaya putus asa untuk menyelamatkan diri.
American Legislative Exchange Council (ALEC) didukung oleh pendukung utama Trump, keluarga Koch) dan Michigan Freedom Fund (terkait dengan pendukung Trump, keluarga DeVos) telah mendukung protes bersenjata di ibukota negara bagian.
Mereka menuntut pembukaan kembali segera ekonomi lokal, bahkan ketika ribuan orang terpapar risiko infeksi dan jumlah kematian akibat COVID-19 meningkat setiap hari melewati angka 100.000 yang tragis sebagai jumlah nasional.
Sementara demonstran kulit putih yang bersenjata lengkap dengan swastika, jerat, dan bendera Konfederasi menjijikkan, pihak “liberal” lainnya dalam pertarungan ini juga tidak meyakinkan warga negara Amerika.
Demokrat arus utama neoliberal, yang melacak asal-usulnya hingga keturunan John D Rockefeller dan monopoli Standard Oil-nya, dipelopori oleh perusahaan minyak multinasional dan perusahaan modal keuangan. Untuk melindungi keuntungan jangka panjang mereka, mereka mendorong lambannya pengumuman ‘lockdown’.
Posisi mereka didukung oleh ilmu kedokteran terbaik dan yang telah menyebabkan panik dan penolakan fakta oleh Trump dan para pendukungnya. Kemana pergulatan internal ini?
Karena raksasa berkantung tebal seperti ExxonMobil lebih siap untuk menunggu harga yang lebih murah daripada perusahaan domestik yang lebih kecil, mereka dapat menunggu sementara mereka menyaksikan kompetisi domestik mereka layu dan mati.
Faktanya, dari sudut pandang realis neoklasik dalam hubungan internasional, bukanlah pertaruhan yang tidak masuk akal bahwa politisi neoliberal – banyak di antaranya, seperti mantan kandidat presiden dari Partai Demokrat Hillary Clinton, sebagian besar sudah selaras dengan neocon dalam kebijakan luar negeri – bahkan berencana untuk konfrontasi skala yang lebih luas dengan rival global mereka yang dirasakan Cina dan mungkin Rusia.
Dengan demikian, kecelakaan minyak semakin memperumit geopolitik yang sudah tidak stabil. Jelas, penurunan historis, yang didorong oleh pandemi dalam permintaan energi adalah akar dari krisis harga minyak saat ini. Namun virus ini tidak sepenuhnya bisa disalahkan.
Pada awal Maret, ketika ekonomi global masih berjalan pada kecepatan “normal”, Arab Saudi dan Rusia meluncurkan perang harga yang membanjiri pasar dengan jutaan barel minyak tambahan.
Senator Republik Ted Cruz menyarankan Arab Saudi, mitra AS yang dulu andal, sengaja mendorong produsen minyak serpih AS keluar dari bisnis.
Tidak diragukan lagi, hilangnya pengaruh kepemimpinan AS di Timur Tengah, bahkan dengan apa yang disebut sekutu seperti Arab Saudi dan Israel, telah dipercepat karena ulah pemerintahan Trump sendiri yang isolasionis dan tidak kompeten.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah prospek bahwa penurunan ini mungkin merupakan tanda ketidakstabilan geopolitik lebih lanjut yang akan datang.
Ketika Cina dan Rusia mencoba mengisi kekosongan dari penurunan geopolitik AS, kawasan Timur Tengah menjadi semakin tidak stabil daripada biasanya. Dua yang dianggap utama – yaitu, yang dirasakan oleh pembuat kebijakan luar negeri AS – penantang dominasi AS dapat muncul dari krisis ini lebih kuat dari sebelumnya.
Sanksi AS terhadap minyak Rusia memaksa Rusia mendiversifikasi ekonominya, menjadikannya “dalam kondisi yang sangat baik untuk mengatasi harga [minyak] yang lebih rendah”.
China, importir minyak mentah, jelas memperoleh keuntungan secara ekonomi dari harga minyak dan gas yang lebih rendah. Lebih jauh, republik rakyat telah berevolusi – setidaknya sebagian – menjadi bentuk kapitalisme negara.
Karena itu, pemerintah Cina secara aktif mendukung perusahaan minyak nasionalnya yang dianggap memiliki kepentingan strategis. Hanya, ketika produksi mati maka terjadi pengurangan suplai energi besar-besaran. Harga murah minyak tidak menjadi faktor peningkatan produksi, apalagi untuk tujuan militer.
Kombinasikan antara perawatan kesehatan dan bencana ekonomi pandemi, konflik terakhir tentang minyak ini menjadi faktor yang mempercepat penurunan ekonomi dan geopolitik AS yang mengarah pada perilaku yang tidak terduga oleh kepemimpinan AS.
Shof off dengan China, beberapa perilaku agresif militer AS yang membingungkan sudah dipamerkan. Pada bulan April, AS mengirim kapal perusak berpeluru kendali USS Barry untuk berlayar di dekat Kepulauan Paracel, sebuah kepulauan yang disengketakan di Laut Cina Selatan yang diperebutkan.
Tidak lama kemudian, AS menerbangkan dua pesawat pembom Angkatan Udara B-1B di atas Laut Cina Selatan dalam unjuk kekuatan yang provokatif.
“Saya tidak memprediksi konfrontasi yang lebih besar dalam waktu dekat,” observasi Haider.
Apakah hotspot di mana saja termasuk, selat Hormuz, hotspot ketegangan antara Iran dan tetangga Arabnya, akan menyebabkan perang regional masih jauh dari pasti.
Tetapi dengan meningkatnya friksi ekonomi, politik bahkan militer antara AS-Cina, dengan aliansi yang berubah dan trend di geopolitik baru, maka risiko terjadinya konfrontasi regional yang keras kemungkinan besar akan meningkat.
Di mana? Harap cermati situasi di Pasifik, terutama di Hongkong, Taiwan dan di Laut China Selatan, di mana China kini sedang cari gara-gara dengan Indonesia.
Oleh: Haz Pohan, Pemred DNI
Discussion about this post