KETIKA kami sekeluarga tinggal di Eropa, kami pernah merasakan bertetangga dengan keluarga Italia beberapa tahun. Kami cepat akrab dan seperti hidup bersama keluarga sendiri rasanya. Orang Italia itu memang berkarakter seperti kebanyakan orang Latin, yang juga mirip dengan karakter orang Indonesia yang berasal dari Sumatera, atau Sulawesi, Papua: akrab dan terbuka.
Ganjalan ‘kecil’ cuma satu: mereka kurang mau berbahasa Inggeris. Keluarga Angelo ini berbahasa Italia dan kami berbahasa Inggeris. Tapi ternyata tak masalah.
Akhirnya nyambung. Kalau mereka memasak Pizza kami suka dibagi. Kalau kehabisan tomat atau garam, tetangga kami ini biasa mengetuk pintu apartemen kami. Kalau saya pulang malam dari kantor dan mereka mendengar pintu lift terbuka, maka saya diajak mampir, sekadar mencicipi kopi espresso kebanggaan Italia.
Atau kalau isteri saya ke pasar, isteri Mr. Angelo ini suka menitip sesuatu untuk dibeli. Kami juga suka menitip anak balita kami, di apartemen mereka.
Orang Italia itu gampang akrab dengan siapapun, karena rasa kekeluargaan uang tinggi karena mereka biasanya punya anak lebih banyak daripada orang Eropa Utara, dan terbiasa hidup bersama keluarga besar serumah dengan ayah atau ibu, mertua, nenekdan hidup berkomunitas.
Sama halnya dengan masyarakat Indonesia, masyarakat di Italia masih sangat menjunjung nilai dan rasa kekeluargaan.
Di luar rumah mereka menjadi orang yang menyenangkan. Suka berbagi, suka bercerita, bahkan sampai larut malam. Orang Italia suka begadang. Menjelang dinihari baru mereka berhenti berpesta. Kalau sedang minum di café, siapa saja ditawari minum dan diajak mengobrol.
Setiap orang yang pernah ke Italia pasti akan mengingat satu hal yang sama: keramaian. Kerumunan orang terlihat, baik di Kapel Sistina di Roma, pantai yang ramai di Sisilia hingga antrean gondola di Venesia.
Ketika Italia dilanda virus corona, Italia mengalami korban terbanyak kedua di dunia setelah China. Akhirnya, Italia satu negeri dikunci, alias lockdown.
Hari-hari ini Italia terlihat berbeda. Jalanan dan restoran kosong. Bioskop dan museum ditutup. Hanya apotek dan swalayan yang buka dan disesaki pengunjung. Situasi ini pastilah menyiksa bagi orang Italia. Mereka kehilangan atmosfer yang akrab sehari-hari.
Pemerintah Italia memutuskan untuk menutup seluruh wilayah negeri untuk menanggulangi penyebaran virus corona. Warga Italia tidak diizinkan berpergian kecuali untuk alasan gawat darurat atau pekerjaan tertentu.
Setiap orang yang terbukti melanggar larangan itu dapat dijatuhi denda atau dipenjara.
“Setiap orang harus mengalah untuk melindungi kesehatan publik,” ujar Perdana Menteri Giuseppe Conte.
Walau begitu, mendorong penduduk negara ini untuk merelakan sementara kehidupan yang menyenangkan bukan perkara mudah.
Mengubah gaya hidup
Masyarakat Italia gemar berada di luar ruangan dan menikmati hari, baik bermain sepakbola di taman atau menyantap es krim di pantai. Mereka benar-benar memanfaatkan waktu untuk bersenang-senang.
Kebiasaan ‘aperitivo‘ alias minum-minum atau jajan di luar rumah setelah jam kerja bersama kawan dan sanak famili adalah salah satu ciri masyarakat Italia. Kebiasaan itu mereka lakukan sebelum pulang untuk makan malam di rumah.
Namun ‘ritual’ warga Italia itu kini tidak bisa dilakukan. Bar dan restoran diperintahkan pemerintah untuk tutup pukul 6 sore. Ini yang menyiksa.
Ada stereotip bahwa orang Italia berbicara dengan tangan mereka. Walau itu mungkin tidak berlaku untuk semua orang Italia, mereka jelas merupakan kelompok masyarakat yang mengekspresikan diri dengan menyentuh orang lain. Ciuman di pipi biasa mereka lakukan saat bertemu kolega.
Sekarang mereka diminta untuk menjaga jarak aman setidaknya satu meter dari orang lain.
Di tengah terpaan virus corona, siesta alias istirahat pendek di sela kegiatan juga dilarang. Mereka diminta meninggalkan kebiasaan memesan dan meneguk espresso dengan cepat di sudut kafe sambil berbincang dengan kawan.
Banyak kafe di Roma saat ini hanya menerima tiga pelanggan dalam satu waktu yang sama. Berubah drastis.
Melanggar aturan
Pekan lalu, ketika wilayah karantina masih terbatas di sejumlah wilayah bagian Italia utara, muncul kemarahan di kalangan muda-mudi di kawasan Italia lainnya.
Meski penduduk lanjut usia pada umumnya waspada, banyak warga Italia di bawah 30 tahun tetap beraktivitas di luar ruangan secara normal, termasuk menyantap ikan di pinggir pantai pada Minggu siang.
“Saya ingin melanjutkan hidup secara normal,” kata Francesco, warga Napoli. “Kami muda dan tidak mungkin terjangkit virus,” tuturnya.
Banyak warga Italia di sosial media mengutuk perilaku semacam itu sebagai sebuah keegoisan dan hal yang tidak bertanggung jawab.
Tagar #iostoacasa dan kalimat “Saya bertahan di rumah” digunakan untuk mendorong publik Italia tidak berpergian.
Walau penutupan wilayah di Italia diperluas secara nasional, sejumlah laporan menyebut semakin banyak orang yang melanggar ketentuan tersebut.
Dua perempuan mengunggah video ke Instagram, memperlihatkan mereka berada di sebuah bar, tengah berbincang tentang cara melanggar aturan jam malam.
Dan dua laki-laki berusia 20-an tahun tertangkap berusaha berpergian dengan pesawat dari Bologna untuk liburan ke Madrid, Spanyol.
Tidak jelas bagaimana pemerintah Italia akan menegakkan aturan yang mereka buat. Otoritas setempat selama ini sulit meloloskan legislasi. Italia juga dikenal sebagai negara yang menganggap hukum sebagai saran semata.
Perasaan publik
Italia adalah negara dengan tradisi Katolik kental. Sebagian warga mereka masih sulit menerima bahwa gereja dilarang menggelar misa walau mereka masih tetap boleh membuka gereja untuk umat.
Paus Francis pun menyampaikan kotbah mingguannya melalui video.
“Ini tidak pernah terjadi sebelumnya,” kata Laura, warga Roma. “Bahkan selama Perang Dunia II, kami masih bisa mengikuti misa setiap Minggu dan merasakan keberadaan sebuah komunitas.”
“Akan tetapi sekarang saya merasa terisolasi,” ujarnya.
Konsekuensi yang paling menyakitkan adalah larangan menyelenggarakan pemakaman. Hanya seremoni penguburan singkat dengan jumlah orang terbatas yang diizinkan–itu pun tanpa misa requiem.
Masyarakat Italia dilarang saling berpelukan atau bersentuhan tangan. Satu meter adalah jarak aman yang wajib ditaati jika warga saling berjumpa.
Mengubah perilaku alami secara drastis tidak mudah bagi orang bermentalitas dan berkarakter seperi orang Italia.
Ini sebenarnya menjadi jawaban mengapa Italia ‘denan mudah’ diserang virus corona, dan sangat sulit memerangi virus ini jika mereka tidak mengubah kebiasaan sehari-hari hidup berkomunitas, saling-sapa, saling-berbagi, yang sudah menjadi tradisi ratusan tahun.
Pemerintah memerlukan waktu sedikit lebih panjang dan dengan kesabaran tinggi untuk meyakinkan mereka bahwa penyebaran virus corona harus ditanggapi secara serius.
Ditulis kembali oleh: Haz Pohan, Pemred DNI
Discussion about this post