“KESALAHAN terbesar manusia adalah bahwa ia terlalu serius memandang dunia,” kata Sartre, sastrawan, pemikir politik, dan filsuf Prancis bermata juling. Padahal, dalam Al Quran Allah berfirman, “Kehidupan di dunia ini hanyalah senda gurau dan main-main belaka. Sungguh, negeri akhirat, itulah sebenar-benarnya hidup… (Al-Ankabut, 64). Artinya, hidup—hidup di dunia ini—adalah sebuah permainan (game).
Apa korelasi Sartre dan Allah dan akhirat dan firman? Ada, tapi juga tak ada. Tak ada, sebab Sartre seorang ateis. Ia menampik eksistensi Allah, tak percaya akhirat, dan ogah mengunyah firman. Baginya, hidup ini konkret, dan “manusia adalah kesadaran yang selalu mengarah pada dunia,” katanya. Tak lebih.
Tapi, secara tak langsung ada korelasi antara Sartre dan Allah dan firman—minus akhirat—, khususnya tentang dunia dan urusan “serius” dan “permainan” itu. Meski, tentu, ia “berkhianat” pada statemennya sendiri.
Sebab, seperti tercermin dalam berbagai karyanya, Sartre sendiri justru termasuk orang yang sangat serius memandang dunia—dengan berbagai masalah dan absurditasnya; dengan “dugem”, flu burung, PSK, dan virus HIV-nya; dengan para maling dan koruptornya; dengan berbagai isu politik dan intrik-intriknya; dengan ragam kesedihan yang tak kunjung ada jawabnya. Memang, hidup adalah “permainan” yang pedih dan pahit. “Manusia adalah une passion inutile: gairah yang sia-sia,” katanya.
Tentu, meski hidup cuma permainan, tak berarti kita harus menjalaninya secara main-main. Permainan menyiratkan adanya suatu aturan yang tidak boleh dilanggar. Seperti dalam sepakbola, kita tidak boleh menendang bola dengan dengkul, misalnya. Begitu juga dalam hidup, kita tidak boleh seenaknya menjambak rambut orang atau meludahi mukanya, agar kita tak dikalungi “kartu merah”.
Setiap permainan, seperti juga hidup, menuntut tanggungjawab, dan juga perlu ada target—apa pun target itu. Maka, permainan perlu ditopang dengan taktik, strategi, manajemen, dan kiat. Seperti halnya politik praktis—sebagai sub-permainan. Seperti juga cinta, konflik, dan perang. Tak heran, Gerald Schneider profesor politik internasional Jerman, menulis buku berjudul Enforcing Cooperation: Risky States and Intergovernmental Management of Conflict (1997).
Ada konflik tertutup, ada konflik terbuka–pinjam istilah Sartre. Konflik tertutup, misalnya: kasak-kusuk di kantor, di warung-warung kopi. Konflik terbuka: perang! Tak aneh, Stan Goff, penulis AS, menulis artikel berjudul Perception Control and the Stage Management of War (2003).
Bahkan, perang tak cuma butuh manajemen, tapi juga seni. Itulah sebabnya, Tsun Tzu, filosof dan pakar strategi militer Tiongkok, pernah menulis buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ingris menjadi: The Art of War (Seni Perang). Sebab perang—sebagai permainan, dan bagian dari sebuah permainan—punya target: menang! Bahkan perang seringkali didesain sebagai pemicu transaksi bisnis, dan target bisnis adalah profit. Bisnis senjata, misalnya.
Bahkan, seni itu sendiri—khususnya sastra, dan lebih spesifik lagi puisi—pun sebentuk permainan. Itu pula sebabnya, dalam filsafat bahasa, kita juga mengenal istilah language game yang pertamakali diperkenalkan oleh filsuf Austria, Ludwigh Wittgenstein.
“Setiap bahasa—dalam pengertian luas—punya aturan permainannya sendiri-sendiri,” kata Wittgenstein. Bahkan permainan bahasa menentukan makna sebuah kata. Kata dahulu, barulah makna. Bahkan satu kata bisa mengandung banyak makna—sebuah diskursus yang kemudian berkembang di kalangan filsuf poststrukturalis Prancis semisal Roland Barthes dan Jacques Derrida.
Yang dimaksud Wittgenstein dengan “permainan bahasa” adalah bahwa di tingkat pemakaian, setiap jenis pernyataan punya wilayah dan aturannya sendiri. Seperti dalam pemainan catur, ada seperangkat aturan yang menentukan wilayah dan gerak setiap bidak. Tidak boleh kuda menyeruduk seperti banteng, misalnya.
Aturan dalam jenis permainan yang satu berbeda dengan aturan dalam jenis permainan lainnya. Maka, tak ada gunanya kita mencari persamaan dalam semua permainan—kata Wittgenstein. Juga tidak mungkin kita mampu menunjukkan suatu permainan sebagai model atau ideal bagi semua jenis permainan.
Seperti juga dalam menjalani hidup, setiap orang punya model permainannya sendiri. Seperti Sartre yang memilih serius berpikir, menampik akhirat, dan menendang eksistensi Allah. Tetapi pasti, “Hidup,” tulis penyair Chairil Anwar dalam sepenggal puisinya, ”hanya menunda kekalahan/…/sebelum pada akhirnya kita menyerah.”
Dan, seperti Chairil Anwar, Sartre akhirnya juga “kalah”. Ia “menyerah”, setelah berbagai penyakit menggerogoti tubuhnya. Ia tak sanggup berjalan. Matanya nyaris buta akibat penyakit glukoma. Akhirnya nyawanya melayang di sebuah rumah sakit di Broussais, Paris, 15 April 1980.
Tetapi, paling tidak, Sartre telah memilih model permainannya sendiri. Jauh sejak sebelum ia menemukan teman “kumpul kebo”-nya: Simone de Beauvoir. Jauh sebelum akhirnya ia pulang, pada tanah. Tepatnya di Climetiere de Montparnasse, pekuburan terbesar kedua di Paris. Sekitar 50 ribu orang hadir dalam upacara pemakamannya—tanpa pastor, tanpa pendeta, tanpa kutipan Alkitab—tanpa doa-doa. Mungkin juga tanpa akhirat, tanpa Allah.
—Ahmad Nurullah