Oleh: Asruchin Mohamad
‘The weak and defenceless in this world invite aggression from others. The best way we can serve peace is by removing the temptation from the path of those who think that we are weak and, for that reason, they can bully or attack us’.
Kalimat itu disampaikan oleh Muhammad Ali Jinnah ketika meluncurkan kapal Angkatan Laut Pakistan, Dilawar di Pelabuhan Karachi pada bulan Januari 1948. Ucapan heroik dari pendiri Pakistan tersebut kemudian ditutup dengan kiat untuk mengatasinya, yaitu bahwa ‘temptation’/godaan yang mengundang pihak asing untuk membuli dan menyerang Pakistan hanya bisa dihilangkan apabila negara mampu membangun Angkatan Bersenjata yang kuat sehingga tidak satu pihakpun yang berani mengganggu apalagi menyerang negara tersebut.
Sebagai Kepala Negara pertama Pakistan, yang secara resmi memisahkan diri dari India pada tahun 1947, pernyataan dan pidato Ali Jinnah selalu sarat dengan kata-kata heroik, bersemangat, bertekad kuat, kerja keras dan pantang menyerah.
Pada beberapa kesempatan di hadapan publik, pendiri Pakistan yang bergelar ‘Quaid-e-Azam’ atau ‘Great Leader’ ini sering mengucapkan ‘Failure is a word unknown to me’.
Tentu bukan maksud Quaid Azam Ali Jinnah lebih bertumpu pada militer dalam membangun negara baru Pakistan. Perjuangan panjang nan melelahkan, menguras tenaga dan pikiran, serta mengucurkan banyak keringat, air mata dan darah itulah yang memompa semangat kepahlawanan, nasionalisme sebagai pemimpin suatu negara.
Muslim League (India) yang dipimpinnya sejak 1916 dan secara resmi pada tahun 1940 menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah kolonial Inggris untuk mendirikan satu negara berdaulat di wilayah berpenduduk mayoritas muslim.
Ketika pembentukan 2 (dua) negara India dan Pakistan diumumkan pada tanggal 14 Agustus 1947, terjadilah eksodus besar-besaran warga Hindu ke wilayah negara India dan sebaliknya masyarakat muslim berpindah menuju ke wilayah negara baru Pakistan. dalam proses pemindahan warga inilah terjadi kekacauan dan kekerasan yang menimbulkan ratusan ribu orang meninggal dunia akibat dari kebingungan, saling dorong-injak, kelelahan, kelaparan, ketidakpastian, stres dan atau gabungan itu semua.
Suasana batin dan kondisi sosial-politik yang terus bergejolak dalam memperjuangkan serta proses pembentukan negara Pakistan telah ikut mempengaruhi kesehatan sang Pemimpin Besar, hanya setahun menjabat sebagai Gubernur Jenderal Pakistan, Ali Jinnah bulan September 1948 meninggal dunia.
Penggunaan kata Islam dalam Republik Islam Pakistan tidak dimaksudkan untuk menjadikan Pakistan sebagai negara ‘teokrasi’ yang menjadikan fatwa ulama sebagai hukum negara yang menjadi pegangan dan pedoman bagi para penguasa untuk menjalankan pemerintahan.
Selain secara historis pembentukan negara Pakistan tidak terlepas dari prinsip-prinsip ajaran Islam yang diperjuangkan oleh para aktivis Muslim League (India), penerapan teori dan praktek sistem sosial-ekonomi Barat (Inggris) dianggap tidak cocok untuk membantu membawa masyarakat menjadi bahagia dan terpenuhi harapannya.
Oleh karenanya para pemimpin negara baru Pakistan memilih sistem ekonomi sesuai dengan konsep dan ajaran Islam khususnya terkait persamaan dan keadilan sosial. Sejalan dengan amalan umat Muslim, misi Pakistan ke dalam maupun ke masyarakat internasional adalah pemeliharaan perdamaian yang pada gilirannya akan mendatangkan kesejahteraan, kebahagiaan dan kemakmuran untuk umat manusia.
Kepada warga non-muslim yang tinggal di wilayah Pakistan, mereka dijamin untuk menjalankan dan pergi ke tempat ibadah sesuai dengan kepercayaan dan agamanya masing-masing.
PERAN MILITER DALAM PEMERINTAHAN
Peran milter sangat dominan dalam kehidupan kenegaraan di Pakistan. baru dua tahun pemerintah Republik Islam Pakistan terbentuk berdasarkan konstitusi 1956, sudah terjadi kudeta militer oleh Jenderal Ayub Khan. Sebelas tahun kemudian kepemimpinannya dilanjutkan oleh Jenderal Yahya Khan.
Sempat diselang oleh tokoh populis Zulfikar Ali Bhutto selama 6 tahun, dan pada bulan Juli 1977 KSAD Jenderal Zia Ul-Haq mengambil alih kendali pemerintahan dengan memberlakukan hukum darurat militer, menyusul terjadinya kerusuhan massal akibat terjadinya kecurangan dalam pemilihan anggota legislatif yang dimenangkan oleh Pakistan People’s Party (PPP) pimpnan Ali Bhutto.
Dua tahun kemudian dengan tuduhan pembunuhan terhadap lawan politiknya, Zulfikar Ali Bhutto dihukum gantung oleh pengadilan pemerintahan militer. Setelah kecelakaan pesawat terbang kepresidenan Pakistan yang menewaskan seluruh penumpangnya, yaitu Presiden Zia Ul-Haq, Duta Besar AS Arnold L.Raphel, Atase Militer AS serta 10 Jenderal senior Pakistan pada Agustus 1988, Pakistan dipimpin oleh tokoh sipil dari PPP dan PML (Pakistan Muslim League) secara bergantian selama 11 tahun.
Bulan Oktober 1999, Jenderal Pervez Musharraf menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan PM Nawaz Sharif hanya beberapa jam setelah Nawaz Sharif memberhentikannya sebagai KSAD.
Nawas Sharif dan sejumlah menterinya ditahan atas tuduhan pembajakan pesawat dan membahayakan keselamatan Musharraf karena mencegah pesawat yang ditumpanginya mendarat di bandara Islamabad sekembalinya dari kunjungan ke Srilanka. Jika dijumlahkan, praktis rezim militer atau pemerintahan di bawah 4 (empat) Jenderal aktif berlangsung selama 33 tahun.
Ini berarti selama 65 tahun Republik Islam Pakistan berdiri, separoh masa pemerintahan berada di bawah militer. Selain itu, pada pemerintahan sipil militer baik dalam kesatuan maupun secara perseorangan/kelompok tetap diperlukan dalam mengelola pemerintahan, terutama dalam bidang keamanan dan ketertiban atau sebagai ‘problem solvers’ dalam menangani sektor-sektor yang banyak atau berpotensi timbul permasalahan, seperti menjamin pengadaan Air dan Listrik, BUMN & BUMD, lembaga pengawasan, khususnya dalam penyelidikan kasus penggunaan subsidi ke sekolah-sekolah ‘hantu’ di Provinsi Punjab pada tahun 1998, serta jabatan penting tingkat kesekjenan serta pos-pos sensitif lainnya.
Personil militer dibutuhkan dan telibat dalam pemerintahan di berbagai tingkatan, dari tingkat pemerintah Federal/Pusat, Provinsi, Kabupaten/Distrik, Kecamatan hingga kelurahan.
Bagi pensiunan tentara yang masih bersemangat untuk melanjutkan pengabdian ke masyarakat melalui jabatan publik, mereka dapat melakukannya dengan berkontestasi di pemilu/pemilihan legislatif melalui partai politik tertentu. Dengan demikian, keterlibatan militer dalam perjalanan sejarah pemerintahan Pakistan tidak pernah surut, hanya bentuk dan caranya yang sedikit berbeda.
Cara klasik dengan mengambil-alih paksa secara militer melalui jalan kudeta dan dilanjutkan dengan penerapan ‘martial law’ atau Undang-Undang Darurat dapat dikategorikan sebagai ‘hard rule’ memang menurun, namun partisipasi militer aktif dalam penugasan di berbagai sektor di semua tingkatan pemerintahan yang disebut sebagai ‘soft rule’ berjalan terus.
Peran militer dalam kategori ‘hard rule’ menimbulkan ‘militarisasi terhadap masyarakat madani’, sementara peran militer dalam kategori ‘soft rule’ telah ‘memasyarakatkan korps militer’. Dampak positifnya, etos dan kehidupan disiplin militer dapat ditularkan ke masyarakat luas, namun dampak negatifnya doktrin militer yang berorientasi ke kondisi peperangan dapat mengesampingkan nilai-nilai demokrasi.
Pro dan kontra mewarnai dominasi militer dalam pemerintahan di Pakistan. sejumlah pengritik malah menyebutnya sebagai intervensi militer dalam tata pemerintahan sipil yang telah diatur oleh undang-undang.
Namun beberapa analis militer menyebut fitnah telah ditujukan kepada satuan militer Pakistan. Menurut mereka dalam kenyataannya para perwira militer dapat menangani tugas-tugas dan permasalahan pada institusi ataupun lembaga sipil secara efektif dan profesional. Para perwira atau personil militer yang ditunjuk untuk posisi pada lembaga sipil dilakukan sepenuhnya berdasarkan sistem merit.
Sejak awal terbentuknya Pakistan, militer memang terlibat secara langsung terhadap berbagai permasalahan dalam masyarakat. Dalam buku otobiografinya ‘Friends Not Masters’, Jenderal Ayub Khan menyatakan: ‘Pakistan’s survival was vitally linked to the establishment of a well-trained, well-equipped and well-led army’.
Selanjutnya dijelaskan bahwa tugas awal yang dilakukan oleh militer, yaitu: membantu menegakkan keamanan dan ketertiban, mengatasi permasalahan terkait perpindahan penduduk dari Pakistan ke India dan sebaliknya, melindungi warga Hindu dan Sikh yang bermigrasi ke India, serta menjaga perbatasan India-Pakistan yang baru terbentuk.
Ketika disetujui berpisah oleh kolonial Inggris pada tahun 1947 untuk menjadi satu negara baru Pakistan, para pemimpinnya dihadapkan pada masalah pelik yang sangat mendasar, yaitu mencari identitas nasional.
Quaid Azam Ali Jinnah sebagai penggagas berdirinya Pakistan memang mendasarkan identitas utamanya adalah Islam, namun mereka ternyata memiliki perbedaan budaya dan bahasa yang sangat berbeda satu sama lain, terutama di antara 6 (enam) kelompok etnis besar, yaitu Punjabi, Bengali, Sindhi, Baluchi, Pashtun dan Mohajir.
Mereka saling menonjolkan ego kelompoknya masing-masing sehingga mempersulit untuk pembentukan karakter nasional sebagai negara kesatuan. Pada saat yang bersamaan, Pakistan sebagai negara baru memiliki berbagai permasalahan dengan bekas negara induknya, India. Satu residu permasalahan yang menjadi ‘Unfinished Agenda’ adalah status wilayah Kashmir.
Ketika berlangsung pemisahan wilayah berdasarkan agama, mayoritas penduduk Kashmir beragama Islam namun penguasanya Maharaja Hari Singh yang menganut agama Hindu mulanya menginginkan seluruh wilayah Kashmir menjadi negara terpisah, namun akhirnya memutuskan bergabung ke India dengan imbalan bantuan pasukan India dalam menghadapi serbuan suku-suku setempat yang didukung bala tentara Pakistan..
Masalah Kashmir menjadi batu sandungan hubungan bertetangga baik antara kedua negara. Sejak pemisahan Pakistan dari negara dominion India pada tahun 1947, sudah terjadi 4 (empat) kali perang besar dan puluhan kali ‘skirmishes’/pertempuran kecil terbatas maupun ‘standoffs’/ketegangan dua pasukan yang siap tempur.
Dalam perang pertama tahun 1947, India berhasil menguasai 2/3 wilayah yang disengketakan yaitu Jammu-Kashmir, sedangkan Pakistan mendapatkan 1/3 wilayah di bagian Azad-Kashmir. Peperangan ke-2 tahun 1965 selama 17 hari melibatkan satuan tank dan kendaraan lapis baja terbesar sejak Perang Dunia ke-II. Perang India-Pakistan ke-3 sebenarnya tidak terkait langsung dengan masalah Kashmir, namun perang ini menjadi kekalahan Pakistan yang menyakitkan karena mengakibatkan terlepasnya wilayah Pakistan Timur yang kemudian memerdekakan diri menjadi Bangladesh.
Adapun perang India-Pakistan ke-4 atau sering dikenal sebagai Perang Kargil karena pertempuran terkonsentrasi hanya di distrik perbukitan Kargil. Meskipun demikian pertempuran ini telah melibatkan pesawat tempur serta berbagai persenjataan berat yang mengakibatkan ratusan tentara terbunuh dari kedua belah pihak.
TANTANGAN PAKISTAN KE DEPAN
Geostrategi Pakistan mendorong negara ini harus membuat kebijakan Keamanan Nasional jangka panjang yang solid. Semua negara yang berbatasan dengan Pakistan menjadi aspek utama dalam formulasi kebijakan keamanannya yang demikian rumit dan menyita perhatian.
Afghanistan dan Iran yang berbatasan di sebelah barat mempunyai hubungan pasang-surut dengan Pakistan. Kelompok-kelompok Islam yang berpaham keras serta kegiatan terorisme yang berasal dari Afghanistan juga beroperasi dan berpengaruh kuat terhadap kelompok-kelompok tertentu di Pakistan yang berafiliasi atau bekerjasama dengan sumbernya di Afghanistan.
Pertentangan faham Suni-Syiah yang tidak jarang menimbulkan bentrokan dan kerusuhan sektarian tidak bisa dilepaskan dari dukungan Arab Saudi dan Iran. India di sebelah Timur merupakan negara yang memiliki permasalahan saling klaim wilayah Kashmir dan oleh karenanya menjadi ancaman dan ‘musuh abadi’ bagi Pakistan.
China yang berbatasan di bagian Utara adalah negara yang dianggap sebagai ‘all-weathered friend’ yang diandalkan Pakistan dalam mengimbangi hubungannya dengan Amerika Serikat yang ‘mood’-nya sering berubah sesuai kepentingan strategi jangka pendek Amerika.
Posisi sulit dialami oleh Pakistan ketika terjadi serangan teror pada Twin Tower di New York tanggal 11 September 2001. Tidak lama kemudian, AS segera meminta dunia internasional mendukung keputusannya untuk melakukan ‘Global War on Terrorism’ (GWOT).
Seruan pilihan retorik Presiden George W. Bush yang terkenal “whether you are with us or against us” pertama kali disampaikan kepada Presiden Pakistan Pervez Musharraf, sebelum ditanyakan kepada negara lain di luar anggota NATO, terutama Mesir dan Saudi Arabia. AS meminta ketegasan 3 negara ini karena dianggap mengetahui langsung atau tidak langsung jaringan kelompok-kelompok radikal pelaku serangan teror 11 September.
Sebagai komitmennya mendukung agenda AS GWOT, Presiden Musarraf melakukan tugas yang tidak mudah untuk melarang organisasi-organisasi radikal yang beroperasi di Pakistan serta menangkap para pemimpinnya, menghentikan sumbangan kepada organisasi sejenis, membersihkan ISI (Inter-Services Intelligence) dari unsur-unsur yang dianggap radikal, serta mencegah wilayah Pakistan digunakan untuk kegiatan organisasi Islam radikal dalam melakukan kegiatan teror termasuk melakukan penyerangan terhadap aparat ataupun obyek-obyek India di Kashmir.
Dengan keberpihakannya pada ‘Coalition Forces’ untuk memerangi terorisme di Afghanistan, AS telah mengguyur Pakistan sebagai satu-satunya negara dari dunia Islam yang memiliki senjata nuklir, dana sebesar US$ 10 milyar sebagai bantuan untuk operasi terkait keamanan dan US$ 4 milyar untuk bantuan keuangan.
Imbalannya, AS selalu menagih ‘hasil bersih’ terhadap agenda GWOT baik di Pakistan maupun di wilayah Afghanistan. Lobi kelompok yang Anti Pakistan di Washington cukup kuat sehingga terus muncul persepsi negatif tentang Pakistan yang selalu dikaitkan dengan radikalisme dan Taliban.
Akibatnya pemerintah AS selalu menekan Pakistan agar berbuat lebih besar lagi “Do More” untuk pemberantasan kegiatan terorisme dan dalam menjinakkan Taliban. Tetapi ada pepatah ‘enough is enpough’, berbagai kalangan di Pakistan sudah merasa gerah dengan tuduhan serta desakan Washington.
Muncul suara kuat di Islamabad untuk meninggalkan tugas sebagai ‘cleaning service’ membersihkan remah-remah tindakan radikal bukan saja di dalam negeri tetapi juga di negara tetangga Afghanistan. Berbagai kalangan mengingatkan bahwa ‘war on terror’ bukan merupakan tugas pokok, sehingga Pakistan harus mulai melepaskan diri dari seluruh situasi rumit terkait dengan isu terorisme.
Hubungan ‘ups and downs’ Pakistan dengan AS dalam percaturan global telah mendorong Pakistan untuk mencari pemecahannya. Untuk itu Pakistan telah mengembangkan alternatif geopolitiknya dengan menetapkan China sebagai mitra strategis dan Rusia sebagai mitra potensial. Hal ini sejalan dengan munculnya China sebagai ‘Global Power’ dan cocok dengan program ‘China Pakistan Economic Corridor’ (CPEC) yang merupakan bagian dari kebijakan ‘One Belt One Road’ (OBOR) China.
Dengan penandatanganan proyek mendekati angka US$ 50 milyar untuk peningkatan infrastruktur dan fasilitas tenaga listrik di Pakistan diharapkan dapat meningkatkan kondisi ekonomi yang akan berdampak pada bobot geo-politik Pakistan secara regional. Di pihak lain, kemajuan ekonomi yang berkorelasi langsung terhadap peningkatan kondisi keamanan dan kesejahteraan di Pakistan dan Afghanistan yang menjadi halaman belakang/’backyard’ China sangat diperlukan dalam menyukseskan kebijakan OBOR dan sekaligus mengatasi ‘concern’ utama ‘three devils’ dari negara Adikuasa baru ini, yaitu ‘radikalisme, terorisme, dan separatisme’.
India yang tumbuh menjadi kekuatan regional kurang nyaman dengan upaya China untuk memberdayakan Afghanistan melalui proyek CPEC. Sudah menjadi prinsip India untuk selalu mencegah pengaruh Pakistan yang dalam jangka pendek maupun panjang dapat merugikan kepentingan India. RAW (Research and Analysis Wing) yang merupakan Badan Intelijen Asing India telah ditugaskan oleh pemerintah New Delhi untuk melakukan operasi ‘cold war’ terhadap Pakistan dalam bentuk pendanaan, rekrutmen, pelatihan serta dukungan tenaga dan fasilitas kepada kelompok-kelompok tertentu yang berseberangan atau diarahkan untuk melakukan sabotase maupun kekacauan terhadap kepentingan Pakistan.
India berdalih bahwa operasi clandestin ‘cold war’ ini untuk mengimbangi kegiatan kelompok-kelompok Islam radikal pro Pakistan yang melakukan serbuan terhadap obyek-obyek vital serta kepentingan India. Selain itu India menyadari clash bersenjata atau ‘hot war’ dengan Pakistan berisiko besar karena tentara Pakistan cukup tangguh yang dilengkapi dengan persenjataan konvensional sampai peluru kendali berkepala nuklir. Untuk menghadapi militer India yang jumlah personil dan persenjataannya lebih banyak, Pakistan menerapkan doktrin ‘Minimum Credible Deterrent’.
Tantangan Pakistan dalam pergaulan internasional dapat kita ringkaskan dari pidato Presiden Pervez Musharraf di Sidney, Australia tanggal 16 Juni 2005 yang pada pokoknya mengatakan bahwa Pakistan menghadapi tantangan eksternal yaitu konflik Afghanistan dan pertikaian wilayah Kashmir yang tak terselesaikan, maupun masalah domestik yaitu korupsi dan salah kelola pemerintahan, yang perlu penanganan secara simultan.
Konflik Afghanistan telah membebani Pakistan dengan masuknya sekitar 4 juta pengungsi, serta masuknya kelompok ekstrimis khususnya Al-Qaeda. Masalah Kashmir terkait dengan hak fundamental rakyat Kashmir, oleh karena itu harus diselesaikan melalui cara yang bisa diterima oleh 3 (tiga) ‘stakeholders’, yaitu Pakistan, India dan rakyat Kashmir.
Setelah Perang Dingin berakhir, dunia masih belum aman karena masih adanya perselisihan lama yang belum terselesaikan yaitu masalah Palestina, konflik Kashmir, Afghanistan, Irak, serta munculnya ancaman baru terorisme. Untuk menghilangkan aksi terorisme haruslah diselesaikan akar permasalahannya yang terletak pada pertikaian politik, perampasan/pendudukan wilayah, dan kemiskinan.
Sementara dalam mengatasi masalah domestik, perlu dibangun ‘good governance’ yang akuntabel dan transparan guna menghapuskan praktek korupsi dan salah kelola administrasi pemerintahan.
POS-POS MENANTANG DIPLOMAT KARIR
Uraian pidato Pervez Musharraf di Australia tersebut merupakan kondisi dan tantangan yang dialami Musharraf ketika memegang kendali pemerintahan Pakistan selama 9 (sembilan) tahun sejak melakukan kudeta bulan Oktober 1999 hingga mengundurkan diri pada bulan Agustus 2008. Masalah dan tantangan yang disampaikan oleh Musharraf tahun 2005 tersebut memang masih relevan hingga sekarang.
Selama bertugas 4.5 tahun di KBRI Islamabad dari petengahan 1998 sampai awal 2003, penulis dapat menyaksikan berbagai peristiwa penting terkait dengan pokok permasalahan yang disampaikan oleh Pervez Musharraf. Bulan Juni-Juli 1999 terjadi Perang Kargil yang melibatkan Pesawat tempur dan persenjataan berat di perbukitan Kargil, wilayah Kashmir India dengan ratusan korban di kedua pihak.
Peristiwa yang lebih menegangkan syaraf terjadi ketika kedua negara tetangga ini mengerahkan pasukan besar-besaran di ‘Line of Control’ (LoC) de-facto garis pemisah wilayah Kashmir serta perbatasan kedua negara di Punjab. Mulai Desember 2001 sampai Januari 2002 India dan Pakistan memobilisasi pasukan tempur masing-masing sebesar 500 ribu dan 300 ribu personil beserta Divisi kendaraan lapis baja, tank dan kendaraan berat lain termasuk rudal balistik.
Mengingat keduanya memiliki senjata nuklir, maka ’trigger happy’ oleh salah satu pihak bisa meletus menjadi perang nuklir. Oleh karena itulah Amerika Serikat, Rusia, PBB serta dunia internasional sibuk melakukan diplomasi untuk memediasi agar kedua negara segera menarik pasukannya dari perbatasan dan membujuk kedua pemimpin memulai perundingan damai.
Sementara itu, ketika India dan Pakistan sudah melakukan saling usir diplomat, terjadilah eksodus besar-besaran komunitas diplomatik, perwakilan PBB serta ekspatriat beserta seluruh keluarganya keluar dari wilayah Pakistan. Atas petunjuk Duta Besar, saya sebagai Kepala Bidang Politik bekerjasama dengan Atase Pertahanan telah menyiapkan ‘Contingency Plan’, yaitu rencana pengamanan bertahap oleh Perwakilan RI di luar negeri terhadap aset negara serta warganegara RI apabila terjadi suasana darurat di wilayah akreditasi.
Sambil terus mengirimkan laporan harian perkembangan keadaan serta menyiapkan berbagai kemungkinan terburuk, KBRI terus melakukan komunikasi dengan WNI yang bekerja dan belajar di Pakistan.
Selama era penugasan di Islamabad, saya juga mendapat pengalaman berharga menyaksikan pergantian pimpinan pemerintahan melalui kudeta militer ‘tidak berdarah’, memantau tindakan tegas pemerintah terhadap kelompok-kelompok radikal sebagai bagian dari komitmen Pervez Musharraf dalam ‘war on terrorism’, pengalaman tak terlupakan ketika menyerahkan bantuan kepada ribuan pengungsi Afghanistan di tenda-tenda di kota Quetta, Provinsi Balochistan, serta mendampingi Duta Besar Jack Gaffar menghadiri undangan Markas Angkatan Darat Pakistan berkunjung ke Khyber Pass, tempat paling ujung di Provinsi Pakhtunhwa melewati wilayah FATA (Federally Administered Tribal Areas) yang sepanjang jalan terdapat warung-warung rumahan yang memajang jualannya berupa senjata serbu Kalashnikov rakitan, berbagai jenis pistol genggam, serta beberapa macam senjata lainnya.
Mudah-mudahan masih banyak diplomat muda berjiwa Ranger yang siap menimba pengalaman ‘exited’ di negara-negara ‘hardship posts’ yang penuh tantangan. Semoga.
Bekasi, 8 Agustus 2021.
Discussion about this post