Daily News|Jakarta – Salah satu faktor mengapa dalam penanganan Covid-19 Indonesia berada di urutan ke-94 dari 100 negara yang disurvei lembaga internasional adalah kebijakan dan tindakan pemerintah Indonesia tidak didasari oleh pendapat pakar virus dan pandemi.
Covid-19 tiba-tiba menjadi ‘sexy’ sehingga menarik perhatian lembaga-lembaga negara dan pemerintahan untuk ‘campur tangan’ dengan motivasi apapun.
Selain itu, banyak pihak yang tiba-tiba tertarik mencari solusi Covid-19 karena ratusan triliun rupiah ada di situ. Sementara ini, Convid-19 menjadi lahan bisnis.
Itu yang terjadi ketika Badan POM meluncurkan kritisi atas obat Corona yang dimintakan pengujiannya oleh BIN dan TNI AD, kemarin Rabu (19/8).
Kombinasi obat corona temuan UNAIR hasil kerja sama dengan BIN dan TNI AD diserahkan kepada BPOM pada Hasil uji klinis tersebut diserahkan langsung oleh KSAD Jenderal Andika Perkasa dan Wakapolri Irjen Gatot Eddy.
Usai menerima hasil uji klinis tersebut, BPOM akan menempuh sejumlah tahapan sebelum memberikan izin edar untuk obat tersebut.
BPOM sudah memberikan 4 kritikan terkait obat tersebut, berikut ini.
Pertama, jumlah sampel yang diserahkan kurang mencukupi. Kepala Badan Pengawa Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti
menyampaikan beberapa kekurangan dari hasil uji klinis obat corona Unair. Salah satunya proses sampling yang dirasa masih belum valid.
“Ada penilaian dari inspeksi kami belum direspons dalam perbaikan. Jadi, status yang kami nilai masih belum valid. Ditemukan temuan kritis yang ada beberapa yang kaitannya dengan randomization atau (sampling) acak. Suatu research harus melakukan sistem acak sehingga merepresentasikan populasi obat itu diberikan, yakni masyarakat Indonesia,” urai Penny.
Menurut Penny, pasien yang dijadikan subjek penelitian Unair belum merepresentasikan randomization sesuai protokol dan sistem internasional. Padahal hal ini penting untuk menunjukkan validitas research.
“Kemudian ada OTG (orang tanpa gejala) yang diberikan obat, padahal menurut protokolnya tidak perlu diberikan obat. Kita harus mengarah ke pasien penyakit ringan, sedang, dan berat. Tentu dengan keterpilihan masing-masing,” jelas dia.
Kedua, efek samping bukan satu-satunya faktor menolak obat yang diajukan proses pengesahannya. Dalam mengevaluasi obat tersebut, BPOM akan meneliti sejumlah hal, termasuk meninjau kemungkinan adanya efek samping.
Meski demikian, anggota Komnas Penilai Obat, Prof. Rianto Setiabudi, menegaskan kemungkinan efek samping obat corona bukan faktor satu-satunya tim menolak obat tersebut. Sebab, yang dipertimbangkan adalah benefit dari obat itu sendiri.
“Contohnya, obat antikanker itu efeknya dahsyat sekali, tapi, toh, kita setujui. Kenapa? Karena bisa perpanjang umur orang. Mohon dimengerti, efek samping bukan satu-satunya pertimbangan,” kata Rianto dalam keterangan pers mengenai perkembangan uji klinik obat kombinasi baru untuk COVID-19 kerja sama Unair, TNI AD, BIN, di Kantor BPOM.
Ketiga, mengapa OTG dijadikan sampel uji klinis? BPOM mengungkapkan sejumlah koreksi terkait uji klinis obat corona Unair yang disponsori TNI AD dan BIN. Hal itu yang membuat uji klinis sementara dinyatakan belum valid.
Salah satu yang harus diperbaiki adalah pemilihan sampel pasien yang diberikan obat corona yang dirasa masih kurang. Apalagi orang tanpa gejala (OTG) juga diberikan obat kombinasi tersebut.
“Ada OTG yang diberikan obat, padahal menurut protokolnya tidak perlu diberikan obat,” kata Kepala BPOM Penny Lukito dalam jumpa pers virtual dari kantornya, Rabu (19/8).
Keempat, BPOM tegaskan agar obat Corona Unair harus benar-benar valid dan tidak mengutamakan ‘kecepatan’. Obat corona buatan Universitas Airlangga (Unair) yang bekerja sama dengan TNI AD dan Badan Intelijen Negara (BIN) belum dapat direstui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Kepala BPOM Penny Lukito menjelaskan, pihaknya menemukan beberapa temuan kritis (critical finding) dari obat corona Unair, seperti belum menunjukkan representasi subjek yang diberikan terapi obat hingga hal-hal lain yang berkaitan dengan validitas.
“Sekarang bukan masalah cepat-cepatan, tapi pastikan juga kita berusaha secepat mungkin. Tapi aspek validitas jadi prioritas, gimana rekrutmen, menentukan subjek, intervensi dan hal-hal validitas, hasil yang diharapkan dari uji klinik ini,” tutur Penny. (DJP)
Discussion about this post