Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 5 Oktober ini memperingati hari jadinya yang ke-74 di pangkalan udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Presiden Jokowi hadir sebagai inspektur upacara HUT TNI. Jokowi sempat melakukan inspeksi pasukan menumpang jip, ditemani Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto dan seluruh kepala staf TNI.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi akan mengakhiri periode pertama pemerintahannya pada bulan Oktober ini. Kemudian akan melanjutkan periode keduanya. Jokowi, mantan Wali Kota Surakarta dan eks Gubernur DKI Jakarta ini kembali terpilih jadi Presiden pada pemilihan presiden tahun 2019 ini. Pada 20 Oktober 2019, ia akan dilantik sebagai Presiden bersama dengan KH Ma’ruf Amin, Wakil Presiden terpilih.
Menarik untuk dicermati, siapa yang akan jadi panglima tentara di periode kedua Jokowi. Apakah masih Marsekal Hadi, atau perwira tinggi lain yang bakal jadi orang nomor satu di TNI? Seperti diketahui dalam beberapa hari terakhir ini beredar daftar susunan kabinet Jokowi-Ma’ruf yang disebarkan di media sosial dan grup-grup WhatsApp. Daily News juga menerima daftar kabinet itu.
Dalam daftar kabinet yang beredar saat ini, posisi Panglima TNI tidak lagi dipegang oleh Hadi Tjahjanto. Tapi, posisi Panglima TNI di isi oleh Jenderal Andika Perkasa, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD). Sementara Marsekal Hadi dalam daftar kabinet yang berada akan menempati posisi sebagai Menteri Sekretaris Kabinet, menggantikan Pramono Anung.
Tentu, jika benar Andika yang akan jadi orang nomor satu di TNI, maka rotasi posisi panglima yang digilir setiap angkatan tak berlaku lagi. Harusnya, kalau mengikuti pola giliran antar matra, posisi Panglima TNI bukan untuk jenderal angkatan darat. Tapi milik perwira tinggi angkatan laut. Karena Hadi, adalah panglima dari angkatan udara. Dan panglima sebelum Hadi, yakni Jenderal Gatot Nurmantyo adalah jenderal angkatan darat. Maka, kalau pola pengisian itu berdasarkan giliran antar matra di TNI, yang punya peluang jadi orang nomor satu di militer adalah Kepala Staf TNI AL saat ini Laksamana Siwi Sukma Adji.
Pola pengisian panglima yang digilir setiap angkatan sendiri dimulai di era Gus Dur jadi Presiden. Kemudian tradisi itu dilanjutkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono saat jadi Presiden. Sementara di era Soeharto berkuasa di era Orde Baru, semua Panglima TNI berasal dari matra darat. Tidak ada panglima yang berasal dari matra laut atau udara.
Penentuan siapa yang jadi panglima memang hak prerogatif Presiden sebagai panglima tertinggi militer. Di tangan Presiden, nama Panglima TNI ditentukan. Jika Andika yang dipilih, sesuai dengan daftar kabinet yang beredar, maka giliran angkatan laut memimpin TNI akan terloncati. Andika yang saat ini menjabat sebagai Kepala Staf TNI AD, tak lain adalah menantu dari Jenderal Purn Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara di era Megawati Soekarnoputri jadi Presiden.
Tidak hanya dekat dengan Megawati, Jenderal Hendro dikenal sebagai salah satu jenderal di lingkaran dalam Jokowi, selain Luhut Binsar Panjaitan dan Agum Gumelar. Ketika Andika diangkat jadi KSAD, sempat mencuat isu, bahwa melesatnya karir lulusan Akmil 1987 ini hingga jadi orang nomor satu di angkatan darat tidak lepas dari pengaruh sang mertua, Jenderal Hendropriyono.
Menanggapi itu Direktur Program Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Beni Sukadis menyarankan sebaiknya tradisi menggilir posisi Panglima antar angkatan dalam tubuh TNI dipertahankan Tentu, dengan tak melupakan pemilihan panglima yang selektif. Sehingga didapat sosok panglima yang mampu menjadikan TNI, sebagai tentara profesional dan berkelas dunia.
” Kalau menurut saya sebaiknya tradisi menggilir posisi Panglima TNI dipertahankan, walau memang pergantian Panglima TNI dari tiap angkatan bukan hal yang wajib karena secara tertulis hanya dapat dijabat secara bergantian. Itu ada di ayat 4 UU TNI,” kata Beni pada Daily News.
Artinya lanjut Beni, pemilihan Panglima TNI kembali kepada hak istimewa yang dimiliki Presiden RI sebagai panglima tertinggi. Presiden yang berhak memilih Panglima yang dianggapnya dapat bersinergi dengan Menteri Pertahanan dan memiliki visi TNI yang profesional.
” Hal yang terakhir yang lebih menjadi prioritas menurut saya, dibanding harus otak atik, maka yang perlu itu melihat mana calon Panglima TNI yang lebih serius bekerja untuk meningkatkan profesionalisme TNI,” katanya.
Sementara itu pengamat intelijen dan keamanan, Nuning Susaningtyas Kertopati, mengatakan, semua Kepala Staf di TNI punya probabilitas yang sama. Kecuali tradisi urut kacang seperti jaman Presiden SBY masih akan diberlakukan, maka harus Kepala Staf TNI AL yang mendapat gilirannya memegang posisi Panglima TNI.
” Menurut saya Panglima TNI kedepan harus orang yang mumpuni bukan hanya pada kemampuannya dalam berperang saja, tetapi juga memiliki pengetahuan politik yang baik meski tak ikut berpolitik,” kata Nuning.
Selain itu, kata dia, seorang Panglima TNI, jangan melakukan pencitraan berlebihan. Dan yang bersangkutan harus pandai merangkul semua unsur masyarakat dengan mengedepankan pendekatan humanis secara tepat.
” Dan yang lebih baik lagi, seorang Panglima TNI mesti memiliki visi misi pertahanan yang bisa menjadikan TNI sebagai tentara berkemampuan world class army,” katanya.
Nuning mengakui, bila tradisi bergilir, tak lagi diterapkan, mungkin akan ada resistensi, meski itu tak terlalu signifikan. Sebab, Presiden adalah Panglima tertinggi. Artinya, tentara akan patuh pada apa yang sudah diputuskan Presiden.
Sekali lagi, pemilihan Panglima TNI hak istimewanya Presiden. Presiden yang menentukan siapa calon Panglima TNI. Jika telah ditentukan, maka kemudian calon tersebut diajukan ke DPR untuk dilakukan uji kelayakan. Bila parlemen menyatakan layak, calon Panglima tersebut tinggal dilantik.
Tapi bisa saja Presiden Jokowi misalnya memperpanjang masa jabatan Hadi sebagai Panglima TNI. Langkah ini pernah diambil ketika SBY naik menggantikan Megawati Soekarnoputri salah terpilih dalam pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali di gelar. Ketika itu, SBY memperpanjang jabatan Jenderal Endriartono Sutarto sebagai Panglima TNI. Padahal, sebelum mengakhiri jabatannya, Megawati sudah menyetujui calon panglima lain yakni Jenderal Ryamizard Ryacudu, KSAD ketika itu.
Namun, SBY memutuskan menganulir pencalonan Ryamizard sebagai panglima. SBY lebih memilih memperpanjang jabatan Endriartono, ketimbang menyetujui pencalonan Ryamizard, kawan satu angkatannya di Akademi Militer. Endriartono sendiri kemudian digantikan oleh Marsekal Djoko Suyanto, KSAU saat itu. Djoko Suyanto lantas digantikan Jenderal Djoko Santoso, KSAD kala itu. Baru kemudian Djoko digantikan oleh Laskmana Agus Suhartono, orang nomor satu di TNI AL saat itu. (Supriyatna/Daily News Indonesia)
Discussion about this post