Daily News Indonesia | Jakarta –Di zaman Orde Baru dulu masjid-masjid tertentu dikunjungi intel, terutama ketika shalat Jumat atau pengajian. Di zaman Orde Baru pernah Islam ditakuti, karena itu sang intel yang ditugasi harus membuat laporan pandangan mata: apa yang dilihat dan didengar. Masa itu telah berlalu, tetapi tak lama setelah reformasi mematai-matai masjid semakin menjadi-jadi.
Ini yang membuat marah penulis Nasrudin Joha. Ulama dan umat pun kini komplain bahkan membandingkan situasi sekarang dengan di zaman Orde Baru – juga pernah mengawasi masjid dan ulama– yang tidak se vulgar sekarang.
Ustad kini disertifikasi. Materi khobah Jumat diteliti. Pelajaran agama Islam bahkan di sekolah-sekolah Islam pun di ‘waterdown’. Dicuci! Di beberapa sekolah di mana Islam tidak mayoritas anak sekolah berjilbab diminta menanggalkan penutup aurat ini. Majelis taklim kini didaftar, ustad disertifikasi: mana yang direkomendasi dan ustad mana yang tidak disuka dan jangan diundang. Majelis taklim yang selama ini hidup di masyarakat dengan biaya dari umat, kini diiming-imingi dana pemerintah. Hajab nian!
Gejala beruntun yang tidak membuat nyaman umat dan ulama ini yang membuat wartawan Nasrudin Joha naik pitam.
“Pak Idham, Polisi itu tugasnya menangkap penjahat, bukan memata-matai masjid. Sejak kapan masjid jadi sarang penjahat? “ sergah Joha di awal artikel yang viral.
“Anggota DPR saja yang banyak ketangkap KPK, menjadi penjahat yang nyolong uang negara, kantornya tidak dimata-matai polisi. Kenapa masjid di mata-matai ? Kejahatan apa yang dilakukan masjid?”
Anggota parpol saja, banyak yang juga ketangkap KPK, menjadi penjahat yang menggasak uang negara, kantornya tidak dimata-matai polisi. Kenapa masjid di mata-matai ? Kejahatan apa yang dilakukan masjid?, lanjut Joha.
Kami ini ingin ibadah khusuk di masjid, bukan diganggu sama orang dengan seragam polisi, memfoto masjid, jamaah, hingga penceramahnya, tegasnya.
“Sejak polisi masuk masjid, ibadah kami jadi tidak khusuk. Kehadiran polisi di masjid bukan memberi ketenteraman, tetapi malah menimbulkan ketidaknyamanan. Sebenarnya apa yang dipersoalkan dari masjid ? Menebar permusuhan ? Menebar kebencian ? Permusuhan dan kebencian seperti apa ?
“Pak Idham, katanya Pak Idham dekat dengan Islam, menghormati ulama. Coba ditegur itu anggotanya, jangan slanang slonong ke masjid untuk memata-matai!”
Kalau ke masjid itu sholat, ta`lim, ibadah, bukan mencurigai dan memata-matai. Kalau mau jadi polisi yang melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat, jangan memusuhi masjid. Itu tendensius ! Masjid diawasi, tetapi Gereja dan Pura dibiarkan bebas menjalankan ibadatnya. Kami umat Islam juga ingin bebas dan nyaman beribadah, keluhnya.
Banyak yang benci polisi di era Pak Tito, di era Pak Idham ini semestinya polisi berbenah, bukan malah tambah parah memusuhi umat Islam. Ingat Pak ! Semua akan mati, semua akan diminta pertanggungjawaban di akherat kelak, kata Joha mengingatkan.
Masalah negara ini sudah banyak, jangan tambah masalah dengan memusuhi umat Islam. Mengawasi masjid, itu sangat menyinggung perasaan kami. Sejak kapan, kami dituding penjahat sehingga perlu diawasi ?
“Harusnya, polisi awasi 24 jam proses serapan anggaran, baik di pusat maupun di Pemda. Mereka ini, maling yang mencuri duit rakyat. Bukan masjid. Harusnya, polisi awasi perbatasan agar bisa cek peredaran narkoba. Sudah rusak generasi ini oleh narkoba, jangan malah mengawasi masjid yang sedang sibuk membina remaja,” sergahnya mengingatkan.
“Kita [umat Islam] mayoritas di negeri ini, dan karena kita negeri ini dimerdekakan dengan darah, airmata, bahkan nyawa. Mengapa kita yang dicurigai? Mengapa agama-agama lain juga tidak dipantau? Apakah radikalisme itu hanya dituduhkan pada agama Islam? Apakah kebijakan ini tidak counter-productive yang membuat kecurigaan umat, siapa yang membuat kebijakan ini, kata seorang pembaca menanggapi tulisan Nasrudin Joha.
Banyak pembaca juga merasakan hal yang sama, menanggapi artikel Joha itu.
Dikatakan, situasi sekarang ini mengingatkan ketika PKI sedang berjaya dan berhasil memengaruhi Bung Karno untuk memusuhi Islam. Bahkan ada yang berpendapat kok kita umat Islam yang mayoritas serasa berada di Xinjiang, bernasib seperti etnis Uighur, di matai-matai.
“Sebentar lagi, bisa saja di negeri ini disiapkan kamp konsentrasi seperti yang dibuat oleh pemerintah komunis RRT,” kata yang lain. Ternyata orde reformasi membuat keadaan umat Islam tidak lebih baik. Serius!
“Kok seperti kita tinggal di Xinjiang, di mana rejim komunis melakukan monitoring, persekusi, bahkan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Islam?” tanyanya.
Karena itu, jangan pernah membiarkan komunis naik daun lagi di Indonesia. Partai tak bertuhan hobi kudeta ini memang sedang mencari-cari jalan untuk kembali tampil di dalam politik Indonesia. Dan, jangan lupa RRT kini merasa tidak ada saingan di Komintern, setelah bubarnya Uni Soviet dan komunisme di Eropa Timur.
Para komunis, mantan komunis di negeri ini adalah alat atau instrumen yang siap digunakan oleh Partai Komunis Tiongkok untuk mengusung kepentingan China, dan keyakinan mereka bahwa pertarungan kelas itu tengah berlangsung. Komunis boleh bubar jalan di Eropa Timur. Di Asia tidak!
China kini tidak saja ingin menguasai ekonomi di negara-negara berkembang teapi sudah mulai campur tangan politik dalam negeri. Tidak tanggung-tanggung: Australia, Selandia Baru sudah megap-megap. Bahkan Amerika, Inggeris, Jerman dan Uni Eropa sudah merasakan China sudah berlagak superpower, ingin mengatur politik dalam negeri, seperti yang dilakukan oleh Amerika di mana-mana. Gejala mereka dengan dukungan dana yang besar merasuk ke partai politik sudah tidak aneh, seperti dirasakan kini di negeri tercinta kita.
Kalau dulu di zaman Orba, penggerogotan oleh komunis gelap maupun terang dipandang sebagai tindakan subversif. RRT mengekspor berton-ton narkoba ke Indonesia dan negeri-negeri Asia lainnya bukan saja untuk mencari dana untuk mensponsori tindakan subversif, tetapi juga untuk menghancurkan generasi muda. Ini lebih strategis dan krusial.
Kelakuan superpower atau mantan superpower atau kandidat superpower sama saja. Bedanya, superpower Amerika percaya Tuhan (In God We Trust), China komunis tak pernah percaya Tuhan. Bahkan mereka kini mengkerumus Islam dan agama-agama samawi lainnya. Islam dianggap tantangan baik di China, maupun di Indonesia.
China kini memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa dalam pertarungan ideologi global dengan akhirnya bagi kemenangan komunisme vs. liberalisme inevitable. It’s a matter of time.
Setelah China merasa telah memenangkan Perang Dingin Jilid II, maka lawannya tinggal Islam. Hanya Islam yang mereka perhitungkan akan mampu menegakkan perlawanan sejati. Tidak cukup sekadar mengklaim: “Saya Pancasila, NKRI Harga Mati!” maka urusan selesai.
Penghancuran terhadap akar-akar keislaman dan agama di Indonesia pertama diarahkan untuk memperkuat ‘sekularisme’. Setelah rakyat menjadi sekular, maka Islam akan mudah digerus. Setelah itu: berjayalah komunis yang bangkit kembali. Maka kita pun bersiap-siap untuk dimusnahkan.
Penulis: Haz Pohan, Pemred DNI
Discussion about this post