Hari Kamis sore (26/9), Daily News mendapat kabar, aksi demonstrasi mahasiswa di Kota Kendari berujung rusuh. Bahkan, diberitakan, satu orang mahasiswa bernama Randi, mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo tertembak. Diberitakan, Randi telah tewas sebelum dapat perawatan di rumah sakit.
Karena informasinya masih simpang siur, Daily News berinisiatif menghubungi Yogi, seorang wartawan di Kendari. Lewat aplikasi layanan pesan WhatsApp, Yogi membenarkan jika di Kendari, ada satu mahasiwa yang tertembak. Yogi juga membenarkan, jika mahasiswa itu telah tewas.
Tidak hanya itu, Yogi juga mengirimkan video detik-detik saat Randi tersungkur oleh tembakan peluru. Esok harinya, kembali datang berita duka. Masih dari Kendari. Seorang mahasiswa lainnya, M Yusuf Kardawi dilaporkan meninggal, setelah menjalani operasi di rumah sakit setempat.
Kardawi juga peserta aksi unjuk rasa mahasiswa di Kendari pada hari Kamis. Kardawi dilarikan ke rumah sakit karena terluka parah di bagian kepalanya. Sempat menjalani operasi, nyawa Kardawi tak tertolong lagi. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit. Dua orang mahasiswa meninggal di aksi demonstrasi yang sama.
Esoknya, Jumat (27/9), Kapolda Sulawesi Tenggara Brigjen Pol Iriyanto menggelar jumpa pers di markas Polda Sultra. Dalam jumpa pers itu, Brigjen Iriyanto menegaskan seluruh anak buahnya yang mengamankan demonstrasi pada hari Kamis, tidak satu pun yang dibekali senjata api. Senjata yang di bawa hanya tameng, tingkat dan gas air mata. Di dukung mobil water canon.
Namun Iriyanto membenarkan jika Randi, mahasiswa yang tertembak itu, meninggal karena tembakan peluru tajam. Hanya saja, Iriyanto belum memastikan, siapa yang menembak Randi. Katanya, Randi terkapar sekitar 600 meter jaraknya dari gedung DPRD yang jadi sasaran pendemo. Tidak berapa lama, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengeluarkan surat telegram berisi pencopotan tiga Kapolda dari jabatannya. Tiga Kapolda yang dicopot adalah Kapolda Riau, Irjen Widodo Eko Prihastopo, Kapolda Papua, Irjen Rudolf A Rodja dan Kapolda Sultra, Brigjen Iriyanto.
Randi dan Kardawi telah meninggal. Jadi korban saat aksi demonstrasi. Dan, sejarah negeri ini mencatat, beberapa kali aksi demonstrasi berujung tragedi. Sama seperti di Kendari. Tahun 1998, tragedi serupa juga terjadi. Ketika itu, gelombang demonstrasi marak terjadi di berbagai kota di Indonesia. Persis seperti yang terjadi di tahun 2019 ini.
Hanya saja, tuntutan yang disuarakan para demonstran berbeda. Tahun 1998, para mahasiswa turun ke jalan menuntut Soeharto lengser dari kursi Presiden. Awalnya, demonstrasi hanya berlangsung di dalam kampus. Tapi kemudian, meski dihadang aparat, mahasiswa ngotot turun ke jalan. Menggelar aksi parlemen jalanan di luar kampus.
Di Jakarta, tragedi itu terjadi. Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak saat demonstrasi. James Luhulima dalam bukunya,” Hari-Hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan Beberapa Peristiwa Terkait,” mengisahkan kronologis saat empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak. Empat mahasiswa yang tewas tertembak itu adalah Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Heri Hartanto, dan Hafidhin Alifidin Royan.
Ketika itu, tanggal 12 Mei 1998, tulis James dalam bukunya, sekitar pukul 11.00 Wib, ribuan mahasiswa Universitas Trisakti menggelar demonstrasi. Awalnya aksi dilakukan di dalam kampus. Tapi, saat tengah hari, sekitar pukul 13.00 Wib, ribuan mahasiswa Trisakti bergerak keluar kampus.
Ribuan mahasiswa ini rencananya akan menggelar aksi di depan gedung DPR. Tapi, baru saja sampai Jalan S Parman, Grogol, ribuan mahasiswa peserta aksi tertahan. Barisan aparat dari TNI dan Polri menghadangnya. Dalam terik, ribuan mahasiswa coba bertahan. Negosiasi pun dilakukan dengan aparat.
Tapi, negosiasi buntu. Aparat yang berjaga tetap tak mengizinkan ribuan mahasiswa bergerak ke Senayan. Para mahasiswa hanya diizinkan bergerak sampai di depan kantor Walikota Jakarta Barat. Sore hari pun tiba. Ribuan mahasiswa masih terus bertahan di depan kantor Wali Kota.
Karena hari sudah mulai menjelang petang, sekitar pukul 17.00, aparat keamaman meminta mahasiswa kembali ke dalam kampus. Akhirnya disepakati, mahasiswa akan mundur dengan syarat, aparat yang berjaga mundur duluan. Aparat keamanan pun bergerak mundur. Setelah itu, ribuan mahasiswa ikut bergerak menuju kampus Trisakti.
Petang itu, hujan turun. Sekitar pukul 17.20, sebagian besar mahasiswa sudah ada dalam kampus. Sisanya masih ada di luar kampus. Lalu tragedi pun terjadi. Dalam remang petang, saat hujan turun dari arah belakang kampus, tepatnya dari arah depan kantor Walikota Jakarta Barat, serentetan tembakan terdengar.
Tembakan itu langsung menyasar ke arah mahasiswa. Situasi pun langsung mencekam. Para mahasiswa yang belum masuk area kampus, lari lintang pukang masuk ke dalam kampus. Mereka mencari tempat berlindung.
Sebagian ada yang masuk ke halaman kampus. Sebagian lagi, berlari berlindung di kantor Walikota. Di saat itu, aparat yang tadinya sudah mundur, tiba-tiba bertindak beringas. Mereka mengejar dan memukuli mahasiswa yang tak sempat lari menyelamatkan diri.
Aksi brutal aparat pun mendapat perlawanan dari mahasiswa. Dari dalam kampus, para mahasiswa membalas tindakan aparat dengan lemparan batu. Situasi benar-benar kacau dan mencekam. Dilempari batu, aparat kian beringas. Kampus pun dihujani tembakan gas air mata.
Bunyi tembakan tak juga berhenti. Tembakan di arahkan langsung ke area dalam kampus. Menurut James, dalam bukunya, berdasarkan kesaksian para mahasiswa, yang menembak adalah aparat berbaju polisi. Mereka menembaki para mahasiswa dari atas jembatan penyebrangan dan dari atas fly pass Grogol. Kantor berita CNN, sempat melansir rekaman video saat penembakan itu terjadi. Sejarah pun akhirnya mencatat, empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak. Belasan lainnya luka-luka.
Tragedi serupa terjadi tahun 1966. Arief Rahman Hakim, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) tewas tertembus peluru aparat. Ketika itu juga gelombang demonstrasi mahasiswa marak terjadi pasca peristiwa G30S PKI. Saat Arief Rahman Hakim tertembak, ribuan mahasiswa menggelar demonstrasi. Sasarannya adalah Istana Negara.
Ketika itu di Istana Negara sedang digelar rapat kabinet. Saat para mahasiswa sudah memasuki kawasan ring satu Istana, pasukan pengawal Presiden dari Resimen Cakrabirawa coba menghalau para mahasiswa. Tapi para mahasiswa tetap mendesak, bergerak mendekati Istana. Situasi pun jadi kacau. Yozar Anwar dalam bukunya,” Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa,” mengisahkan, di tengah kepanikan, tiba-tiba terdengar bunyi serentetan tembakan yang diarahkan ke arah mahasiswa.
Sontak para mahasiswa tiarap. Yozar mengungkapkan, beberapa mahasiswa bergelimpangan kena tembakan. Namun yang paling parah adalah Arief Rahman Hakim. Oleh para mahasiswa, Arief digotong. Tapi, kondisinya sudah payah. Nyawa mahasiswa UI itu pun tak tertolong. Arief menghembuskan nafas terakhirnya pukul 12.45, sehari setelah dia tertembus peluru. Kini, tragedi serupa terjadi di Kendari. Semoga ini yang terakhir.
Discussion about this post