Daily News|Jakarta – Indonesia menyatakan Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) tidak pernah mengakui junta militer sebagai pemerintah resmi Myanmar sejak kudeta terjadi pada 1 Februari lalu.
Hal itu diutarakan Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN, Sidharto R Suryodipuro, saat memaparkan komunike bersama ASEAN tentang hasil pertemuan menteri luar negeri ke-54 yang digelar secara virtual pada Senin (2/8) lalu.
Menurut Arto, komunike bersama AMM ke-54 yang terdiri dari 28 halaman itu tidak bisa dilihat sebagai pengakuan terhadap junta militer Myanmar.
Arto mengatakan komunike bersama menlu ASEAN kali ini diawali dengan frasa keterangan soal pertemuan AMM ke-54 bukan ‘kami para menlu negara ASEAN’ seperti sebagian besar pernyataan bersama blok tersebut selama ini.
“Komunike bersama kali ini tidak bisa dilihat sebagai pengakuan terhadap junta militer. Jadi berbeda dari AMM selama ini, di mana paragraf pembuka dimulai dengan kata-kata ‘We the ministers’, sejak kudeta 1 Februari, setiap dokumen resmi ASEAN selalu dimulai dengan kata-kata ‘the meeting’ bukan ‘the ministers,” kata Arto dalam jumpa pers virtual pada Rabu (4/8).
“Jadi tidak ada pengakuan formal terhadap status kehadiran para menteri (Myanmar),” paparnya menambahkan.
Dalam komunike bersama yang terdiri dari 95 poin itu, negara ASEAN juga menyatakan sepakat menunjuk Menteri Luar Negeri Brunei Darussalam, Erywan Yusof, sebagai utusan khusus blok tersebut untuk isu Myanmar.
Dokumen itu menuturkan Yusof akan melaksanakan tugasnya secara langsung di Myanmar dalam waktu dekat. Salah satu tugas itu mendampingi Myanmar melaksanakan lima poin konsensus ASEAN yang disepakati pada 24 April lalu dalam pertemuan di Jakarta.
“Kami menyambut baik penunjukan Menteri Luar Negeri II Brunei Darussalam sebagai utusan khusus Ketua ASEAN untuk Myanmar, yang akan mulai bekerja di Myanmar, termasuk membangun rasa saling percaya antara masyarakat dengan akses penuh untuk bertemu seluruh pihak,” bunyi kutipan komunike bersama tersebut.
Di dalam dokumen itu, Yusof akan mempersiapkan perencanaan yang jelas dan runut terkait penerapan lima poin konsensus ASEAN berdasarkan garis waktu.
Lima poin konsensus soal Myanmar disepakati negara ASEAN, termasuk junta militer Myanmar, dalam pertemuan pemimpin negara Asia Tenggara di Jakarta pada April lalu. Pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, juga turut hadir dalam pertemuan itu.
Poin konsensus itu terdiri dari mengakhiri segala bentuk kekerasan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya, segera memulai dialog konstruktif antara semua pihak terkait di Myanmar untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre, dan utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu semua pihak terkait.
Sampai saat ini, perkembangan penerapan kelima konsensus ASEAN itu dipertanyakan komunitas internasional. Di Myanmar, aparat keamanan masih menghadapi para pedemo anti-kudeta dan warga sipil secara brutal.
Baru-baru ini, junta militer Myanmar juga memutuskan memperpanjang masa darurat militer dan baru akan menggelar pemilihan umum pada Agustus 2023. Keputusan itu menandakan bahwa junta militer Myanmar mengingkari janjinya ketika melakukan kudeta pada 1 Februari lalu.
Selain isu Myanmar, komunike bersama itu juga membahas berbagai isu kerja sama antara negara ASEAN dan isu global yang menjadi perhatian lainnya mulai dari situasi di Laut China Selatan, Semenanjung Korea, hingga Timur Tengah. (HMP)
Discussion about this post