Daily News|Jakarta – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk akan segera melakukan moratorium pembayaran utang lantaran kewajiban perseroan tembus US$4,5 miliar atau setara Rp70 triliun. Langkah tersebut merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi keuangan perseroan yang berdarah-darah akibat covid-19.
Informasi tersebut disampaikan oleh Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menuturkan Kementerian BUMN sebagai pemegang saham pengendali tengah mempersiapkan proses moratorium utang tersebut. Selama moratorium berjalan, Garuda Indonesia akan menjalankan program restrukturisasi utang tersebut.
Untuk diketahui, moratorium adalah otorisasi legal untuk menunda pembayaran utang atau kewajiban tertentu selama batas waktu yang ditentukan.
“Kami sedang menunjuk konsultan hukum maupun konsultan keuangan untuk mulai proses ini, dan memang harus segera untuk mulai melakukan moratorium atau standstill dalam waktu dekat karena tanpa moratorium maka kasnya akan habis dalam waktu yang sangat pendek sekali,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi VI DPR, Kamis (3/6).
Tiko, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa utang perseroan telah melebihi batas normal keuangan Garuda Indonesia. Sebab, pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) Garuda Indonesia tidak mencapai US$200 juta-US$250 juta. Oleh sebab itu, rasio utang yang aman adalah enam kali dari EBITDA tersebut, atau US$1,5 miliar. Sedangkan, utang perusahaan dengan kode saham GIAA itu menebus US$4,5 miliar.
Karenanya, perseroan harus melakukan restrukturisasi guna mengurangi beban utang tersebut. Dalam hal ini, Kementerian BUMN telah berkoordinasi dengan manajemen Garuda Indonesia, pemegang saham minoritas, hingga Kementerian Keuangan. Targetnya, utang tersebut bisa ditekan pada batas normal yakni US$1 miliar sampai US$1,5 miliar.
“Untuk itu, kalau kami melakukan restrukturisasi yang sifatnya fundamental, utang yang sekitar US$4,5 miliar ini harus menurun di kisaran US$1 miliar-US$1,5 miliar,” ujarnya.
Tiko menuturkan penyebab tumpukan utang Garuda Indonesia adalah permasalahan masa lalu yakni biaya sewa pesawat (leasing) yang melebihi batas wajar. Selain itu, masalah lainnya jumlah pesawat yang disewa terlalu banyak sedangkan banyak rute penerbangan Garuda Indonesia yang tidak menghasilkan keuntungan bagi perseroan. Imbasnya, Garuda Indonesia semakin merugi.
Permasalahan warisan masa lalu itu diperparah dengan pandemi covid-19. Kemudian, dari sisi teknis pencatatan keuangan, implementasi ketentuan pencatatan keuangan baru dimana biaya sewa pesawat dicatat sebagai kewajiban dari sebelumnya tertulis sebagai biaya operasional (operational expenditure/opex).
“Sehingga utangnya yang semula Rp20 triliun jadi Rp70 triliun, secara PSAK dicatatkan sebagai kewajiban, ini membuat posisi Garuda saat ini secara neraca itu insolved karena antara utang dan ekuitas sudah tidak memadai untuk mendukung neraca,” jelasnya.
Ia menuturkan dalam sebulan Garuda Indonesia bisa merugi US$100 juta atau sekitar Rp1,4 triliun. Kondisi tersebut disebabkan biaya operasional maskapai itu mencapai SU$150 juta, namun pendapatannya hanya US$50 juta.
“Jadi setiap bulan rugi US$100 juta. Memang tidak mungkin kami lanjutkan dalam kondisi yang sekarang,” tuturnya. (DJP)
Discussion about this post